"semua orang memiliki hak untuk memiliki cita-cita,semua orang berhak memiliki mimpi, dan semua orang berhak untuk berusaha menggapainnya."
Arina, memiliki cita-cita dan mimpi tapi tidak untuk usaha menggapainya.
Tidak ada dukungan,tidak ada kepedulian,terlebih tidak ada kepercayaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tulisan_nic, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 Kerja Part Time
"Evan masih nggak masuk ya?" Arina duduk di sebelah Dita,baru saja ia dan Arkan masuk kelas.
"Iya,kenapa belum datang ya...padahal sudah hampir jam pelajaran di mulai"
"Evan kenapa ya? Nggak biasanya dia begini."
"Tapi,seperti ada yang aneh deh"
"Aneh kenapa Dit?"
"Kemarin aku telpon Evan,aku tanya kenapa dia nggak masuk.Dia angkat telpon aku,tapi dia cuma diam saja.Nggak ada ngomong apa-apa"
"Aduh,aku jadi khawatir sama dia"
Wajah Arina cemas, bertanya-tanya"Evan kamu kenapa,aku jadi tidak tenang"lirihnya dalam hati.
Miss Aida masuk kelas,seperti biasa...wajahnya yang teduh namun penuh semangat membuat suasana kelas siap untuk menerima pelajaran dari nya.Namun sebelumnya ia menatap keseluruh kelas.Melihat bangku kosong milik Evan,dahinya mengernyit
"Evan tidak masuk kelas lagi hari ini?"
"Iya Mis" seluruh siswa menjawab serempak
"Tidak ada keterangan,apa salah satu dari kalian ada yang tahu Evan kenapa tidak masuk kelas?"
Hening
beberapa siswa menggeleng,tidak ada yang tahu alasan Evan tidak masuk kelas.
"Baiklah,nanti Miss sendiri yang akan cari tahu.Kita lanjutkan pelajaran kita dari Minggu kemarin"
Miss Aida menjelaskan pelajaran hari ini,tidak ada yang berubah...semua berjalan begitu saja,seolah ketidak hadiran Evan bukan apa-apa.Namun,berbeda dengan Arina...Ia gelisah,hatinya terus bertanya-tanya "Ada apa dengan kamu Evan?,apa kamu sakit?,apa kamu tidak baik-baik saja?,aku merasa kamu sedang ada masalah,dan kamu tidak baik-baik saja"
***
Di bawah pohon rindang Evan duduk mematung,di tangannya ada alat tulis dan juga satu buah buku.Ia duduk di sebuah bangku kayu panjang.Di depannya nampak lalu lalang petani menuju sawah mereka.Angin sepoi dari sawah terasa menenangkan untuknya.
Evan mencoba menuliskan sesuatu di kertas,tapi bukan kata-kata melainkan guratan-guratan tak beraturan.
Tangannya masih bergerak tanpa arah. Pensilnya menari di atas kertas, menorehkan garis-garis acak tanpa pola. Setiap guratan lahir dari sesak yang tak sempat diucap.
Namun saat matanya kembali menatap hasilnya, ia terdiam.
Guratan-guratan itu,yang semula tampak tak berarti membentuk siluet samar seseorang yang sedang menunduk.
Seolah, kesedihan yang ia pendam diam-diam menemukan caranya sendiri untuk berbicara.
"Memang hanya diri sendiri yang bisa di andalkan,hanya diri sendiri yang mengerti seberapa kuat harus berusaha.Arina benar,diri sendiri yang harus di percaya bisa mengatasi kesulitan"
Sudut bibirnya terangkat,membentuk senyuman getir sesaat.Menatap kembali hasil coretan di buku yang ia pegang.
Di dalam mobil,sopir duduk di belakang kemudi.Setia menunggu Evan yang tenggelam dalam guratan pensil.
***
Sepulang sekolah seperti biasa,Arina mengganti seragamnya dengan baju santai di rumah. Membantu Mamak mencuci mangkuk,membersihkan meja-meja dan menyapu kedai Mie Ayam yang menyatu dengan rumahnya.
"Assalamualaikum Arin"
Arina mendongak,di depannya berdiri seorang perempuan cantik...berpakaian rapi,wangi dan terlihat seperti wanita karir yang cerdas.Perempuan yang diam-diam Arina kagumi dan ingin menjadi sepertinya.
"Wa'alaikumsalam Mbak Sinta,duduk Mbak...Mbak mau Mie Ayam?"
"Iya nih,Mbak laper" Sinta duduk di pojok kursi yang mejanya sudah Arina bersihkan.
"Tunggu sebentar aku ambilkan ya Mbak"
"Oke Rin"
Sinta duduk, punggungnya tegak...tapi tangan kanannya terulur ke tengkuk dan bahu lalu memijit nya perlahan.Matanya terpejam menahan kelelahan.
"Ini Mbak Mie Ayamnya"
"Terima kasih Rin"
"Capek banget ya Mbak?"
"Iya Rin,baru pulang kerja rasanya badan remuk semua. Mana nanti pulang kerumah kerjaan rumah sudah menanti"
"Kenapa tidak sewa asisten rumah tangga saja Mbak?"
"Maunya sih begitu,tapi...masih belum ketemu yang cocok"
"Emangnya kenapa Mbak?"
"Aku kan kerja dari jam tujuh sampai jam tiga,aku maunya asisten rumah tangga yang part time aja. Dari jam tiga sampai jam enam sore,pas ada aku di rumah.Mungkin kalau part time gajinya lebih sedikit jadi mereka pada nggak mau"
Arina diam sebentar,teringat ponsel nya yang mati dan tidak ada uang untuk membeli yang baru.
"Mbak,kalau boleh...gimana kalau Arina saja yang kerja part time di rumah Mbak"
"Hah?...serius kamu?"
"Iya Mbak,Aku biasa kok cuci baju..setrika.. beres-beres. Tapi kalo masak Arina masih belum bisa takut nggak cocok di lidah Mbak Sinta"
"Nggak apa-apa Rin,kalau masak Mbak bisa beli makanan matang"
"Jadi aku kerja mulai kapan Mbak?"
"Besok ya,Aku kasih kamu gajih lima puluh ribu setiap kamu kerja dari jam tiga sampai jam enam sore.Gimana?"
"Iya Mbak,Arina mau"
Senyum semangat di wajah Arina nampak berseri."Aku akan kumpulin uangnya buat beli ponsel baru,pulang sekolah langsung kerjain kerjaan kedai,pas selesai langsung ke rumah Mbak Sinta" bisik lirih hatinya.
***
Evan sudah kembali ke kamarnya,menaruh tas ransel di meja belajar. Lalu mengganti seragam dengan kaos dan celana pendek santai.
Ponselnya bergetar,dering telpon dari Mama.
"Evan,apa maksudmu bolos sekolah hari ini?"
suara Mama penuh penekanan
"Aku sedang malas saja,tidak ada maksud apa-apa"
"Miss Aida telpon Mama,kamu tidak ada di kelas...ada apa dengan mu? Kenapa kamu mempermalukan Mama seperti ini?"
"Sudah aku duga Mama hanya melihat diri Mama sendiri"
"Evan,Mama melakukan apapun untukmu"
"Untukku? Tidak salah dengar?"
"CK...kenapa kamu jadi begini?"
"Sudah lah Ma,aku malas bertengkar"
klik Evan memutus sambungan telpon.
Di ruang kantor Rina Mamanya Evan,nampak ia berdiri menghadap jendela besar ruangannya.Tangannya mengepal, menggenggam erat ponsel yang baru saja terputus sambungan telpon nya.
"Evan...Anak ini semakin lama semakin mirip Dirga.Lebih menyukai gadis miskin.Apa dia tidak bisa melihat,status tinggi itu lebih penting"
"Terlebih Arina itu anaknya Fariz,Pria baik yang aku tinggalkan karna aku tidak tahan dengan kemiskinannya.Aku lebih memilih Dirga yang hatinya masih saja wanita si*lan itu yang di pilihnya"
Rina kembali ke tempat duduknya,mendengus kasar.Lalu kembali tenggelam dengan pekerjaannya.
***
Malam ini langit tampak anggun dengan gemerlap bintang,tidak hujan seperti kemarin.
Arina duduk di depan TV menyala,tatapannya seperti fokus tapi sebenarnya tidak.Bayangan bangku kosong Evan masih menari-nari di pikirannya."Evan,kamu ada apa?"
"Apa karena aku marahin kamu?...Andai saja Ponselku tidak mati,aku bisa menelponnya mencari tahu keadaannya"
Arina menghela nafas,lalu meraih Ponselnya yang retak.Mencoba menekan tombol power dengan sedikit berharap."Masih mati,nggak akan ada keajaiban yang menghidupkannya lagi"
Hatinya mengembun,ada rasa sesak menyangkut di tenggorokan...membuat Arina menghelakan nafas berulang.
*
*
*
~Salam hangat dari Penulis 🤍