NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 14: Reservasi

“Jadi… gimana, Sel?” tanya Vikram terus memastikan agar Selina setuju untuk pergi dengannya.

Setelah obrolannya bersama Baskara tadi, Vikram mengajaknya jalan-jalan berdua. Selina sempat menolak karena dia sedang merasa tidak nyaman berada di dekat Vikram, namun Vikram sepertinya tidak ingin menyerah. Kepalanya juga kosong, tidak ada alibi. Megan dan Tessa juga sudah lulang duluan. Selina sendiri sudah lelah meladeni Vikram sebenarnya. Dia menghela nafas, matanya melirik ke arah lain.

“Gua ada rencana sih malem ini.” Itu sebenarnya bukan jawaban iya, tapi Vikram langsung menepuk tangan sambil tersenyum puas.

“Great. Udah fix berarti. Jam tujuh, gua jemput.”

“Bukan, Vik—”

“Udah… sekali aja. Gua udah reservasi dinner di Hotel Hamilton, sayang banget kalo di-cancel,” ujar Vikram masih meyakinkan Selina.

Jujur, Selina juga sudah lama ingin mencicipi pasta yang viral di Hotel Hamilton itu, tapi dia belum ada kesempatan untuk datang. Dan sekarang kesempatan itu sudah di depan muka, tapi… khusus untuk hari ini dia tidak nyaman kalau harus berduaan dengan Vikram.

“Vik, gau takut lo salah paham sama gua.” Selina mencoba mencari celah untuk menolak halus.

Vikram terkekeh pelan. “Sel… kita cuma dinner. Gua janji gak bakal ngelakuin hal bodoh yang buat lu gak nyaman kayak tadi. Demi Tuhan.”

Kalimatnya terdengar ringan, tapi tekanan halus bikin Selina serba salah. Sisi logisnya bilang jangan, tapi sisi lainnya tidak ada alasan kuat untuk menolak. Ujung-ujungnya, dia hanya mengangguk pelan.

“Well… if you insist. Tapi awas aja lo macem-macem. Gua punya kenalan polisi!” seru Selina. Padahal dia bohong. Emang Selina siapa segala punya kenalan polisi.

“On God. Lo bisa pegang omongan gua,” jawab Vikram sambil menunjukkan dua jarinya ke atas. “Gua anter?” tawar Vikram.

Selina buru-buru menggelengkan kepalanya. “Gak perlu. Nih… gua udah pesen ojol,” ujar Selina sambil menunjukkan ponselnya yang terbuka pada aplikasi ojol.

“Oke. Nanti gua kabarin kalau mau otw kosan lo, ya,” tambah Vikram.

***

Di kosan, Selina merebahkan di karpet bawah kasurnya karena dia belum bersih-bersih badan. Tangannya reflek menutupi wajah—masih tidak percaya dengan kejadian aneh barusan: Vikram tiba-tiba jadi lebih touchy, makan malam dadakan, dan tatapan Vikram yang semakin sukit ditebak. Sebenarnya kalau Selina asal sebut, dia yakin Vikram punya perasaan yang beda terhadap dirinya—dia hanya tidak mau memanifestasi hal itu terjadi, jadi lebih baik membiarkan.

Selina bangkit dari rebahannya untuk memelih baju apa yang harus dipakai. Matanya tiba-tiba kosong. Ingatannya melayang pada sesuatu yang muncul sebentar tadi siang—di tangan Baskara.

Tato gak sih? pikirnya. Potongan jambar hitam dengan ujung yang runcing samat tersembunyi di balik lengan panjang kemeja itu. Anehnya, Selina bahkan merasa sangat familiar, meski tidak yakin dimana dia melihat bentuk ujung gambar seperti itu.

Dia menggelengkan kepala cepat, mencoba menepis rasa penasaran walaupun gambar itu masih menempel di pikirannya, membuatnya semakin sulit nemilih baju.

Butuh waktu lebih dari sepuluh menit, akhirnya Selina memutuskan untuk memakai dress selutut berwarna cream dengan motif bunga-bunga kecil bersama dengan crop cardigan merah yang menjadi pelengkap outfit-nya malam ini. Setelah memilih dia langsung pergi mandi.

Selesai mandi, ia berdiri di depan cermin. Dress ini sangat manis, tapi Selina tidak bisa fokus menilai dirinya—yang muncul di benaknya justru gambaran Baskara ketika dia bukan sedang dalam mode dosen. Itu aneh, tapi Selina tiba-tiba kepikiran… karena dia rasa Baskara… cukup tampan—hanya saja kacamata culun itu yang mengganggu penampilannya.

Belum sempat dia merapikan rambut, suara notifikasi chat masuk.

Vikram: “Gua udah di depan gerbang kos. Gak usah buru-buru, I’ll wait.”

Selina pun langsung bergegas merapikan rambutnya, lalu melangkah keluar dengan perasaan sedikit gelisah.

Udara malam menyambut Selina begitu dia keluar gerbang kosan. Mobil sedan hitam terparkir tepat di seberang jalan, lampu hazard menyala pelan. Vikram menurunkan jendela dan melambaikan tangan.

“Wow… you look good,” puji Vikram saat Selina membuka pintu mobil.

“Thanks,” jawab Selina singkat, menutup pintu mobil.

Mobil mulai melaju meninggalkan jalan sempit. Vikram mulai berceloteh tentang menu dinner, tentang vibes Hotel Hamilton—seperti dia sudah familiar dengan tenpat itu. Selina hanya mengangguk sesekali. Kepalanya masih kepikiran gambar samar di tangan Baskara.

Gua sih yakin itu pasti tato—gak masalah juga seorang dosen tatoan, tapi… gambarnya mirip apa ya… gua kayak pernah liat. Familiar banget. Gua gak masalahin dosen bertato, cuma gua masalahin gambarnya; isi kepala Selina.

“… biasanya sih rame—Sel?” ujar Vikram. Selina langsung menoleh cepat ke arah Vikram.

“Eh—hah? Kenapa?” jawab Selina gelapan.

“Are you okay? Lo begong dari tadi.” Vikram menoleh sebentar dari setir, menahan tawa.

Selina tersenyum lemas. “Ah… nggak. Gua udah mikirin pasta viral itu.”

Vikram tertawa lumayan kencang. “Siapa tadi yang nolak ajakan gua? Sekarang malah paling excited,” ujar Vikram, bibirnya terangkat—menyeringai lebar.

Selina menunjukkan senyum palsunya, lalu mengalihkan pandangan ke jendela sambil memutar matanya. Mereka memang belum kenal lama—kurang lebih baru tiga bulan. Itu juga tidak sengaja bertemu dengan Tessa dan Vikram, yang ternyata mereka teman dari SMA.

Awalnya, Selina tidak punya pikiran apa-apa tentang Vikram, sampai seminggu yang lalu, Vikram seperti sedang mengejarnya. Entah karena perasaan suka atau yang lain. Tapi… perubahannya bisa dibilang drastis—tiba-tiba suka menyentuh, mendekat, dan berkata halus yang bikin Selina merinding. Paling parah kalau dia tiba-tiba kepedean, seperti tadi.

Mobil melaju masuk ke area Hotel Hamilton. Lampu temaram dan halaman depan hotel yang ramai langsung menyambut mereka. Dari balik kaca, Selina melihat betapa elegannya restoran hotel itu—dengan interior kaca tinggi dan pencahayaan hangat.

“Relax. It’s just dinner—bukan booking kamar,” celetuk Vikram yang membuat Selina semakin was-was. Selina tidak menyangka Vikram adalah orang yang seperti ini. Selama ini, dia hanya melihat sisi Vikram yang… biasa saja dan bukan pemaksa atau suka bercanda seperti tadi.

Selina menataonya sinis. “Gak lucu, Vik.”

“Sorry,” ujar Vikram. Nadanya sama sekali tidak merasa bersalah seakan kata itu hanya untuk menyelesaikan perdebatan. “Gua bercanda aja,” tambahnya sambil tertawa kecil.

Bercanda? Selina menahan diri untuk tidak mencakar wajahnya. Kenapa gua nurut ya pas dia maksa? What is wrong with you lately, Sel? Kenapa kamu sekarang sedikit lebih submisive? pikirnya. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Sekarang dia hanya bisa mengikuti alurnya.

Begitu mobil berhenti di depan lobby, seorang valet langsung membuka pintu mobil. Seperti sudah biasa, Vikram langsung menberi valet kunci mobil dan segera turun—lari menuju pintu Selina untuk membukakannya.

“Thanks,” ucap Selina sambil tersenyum tipis.

Vikram menundukkan kepala sedikit, seperti berlaga sebagai gentleman di film. “Anything for you,” jawabnya ringan.

Selina hanya menahan nafas, membenarkan dressnya, lalu melangkah masuk ke dalam lobby bersama Vikram yang memimpin.

Tempat itu lebih mewah dari bayangannya. Lampu gantung kristal menjuntai rendah, lantai marmer memantulkan cahaya kuning lampu, dan aroma wangi ruangan yang menyeruak.

“Gila… ini gua kalo pergi sendiri bisa langsung habis bulanan gua,” gumam Selina dalam hati.

“Suka?” tanya Vikram tiba-tiba, memperhatikan ekspresi Selina yang sibuk menoleh kanan-kiri.

“Lebih ke… lebih mewah dari bayangan gua,” jawab Selina singkat, mengibaskan rambutnya ke belakang.

“Tapi suka kan?” tanya Vikram lagi.

“Biasa aja,” jawab Selina cepat, dia tidak mau memberi harapan apa-apa pada pria itu.

Vikram tertawa kecil. “Bohong lo jelek banget, Sel.”

Selina mendesah pelan, malas menanggapi. Ia terus berjalan, tapi dalam hati masih ada yang mengganggu—bisa kali ya meminta Leonhard untuk mengecek latar belakang Baskara, pikirnya.

Mereka sampai di meja resepsionis, Vikram langsung menyebutkan reservasi atas namanya.

“Dia tajir kali ya…” batin Selina memerhatikan gerak-gerik Vikram yang sama sekali tidak kaku di tempat yang fancy ini.

Pelayan menuntun mereka ke tempat yang lebih privat dengan lilin kecil di atas meja. Musik jazz mengalun pelan, menambah kesan intim yang Selina sendiri tidak terlalu nyaman.

“Kok intim banget ya? Perasaan di video yang viral keliatan restoran hotel biasa aja?” tanya Selina.

Vikram tersenyum tipis, menegakkan punggungnya dengan penuh percaya diri. “Sengaja reservasi di area ini yang… lebih eksklusif.”

Selina mengerjap. Rasanya dia sudah terperangkap muslihat seoranh Vikram. Dia melirik sekeliling, beberapa meja ditempati pasangan yang merasa dunia milik mereka berdua.

Pelayan datang, menaruh menu di meja, lalu oergi dengan senyum ramah.

“Pesen aja apa yang lo mau. The bill is in me,” ujar Vikram santai. “Lo suka seafood kan?” tanyanya lagi, matanya masih melihat buku menu.

Selina baru membuka mulutnya, tapi Vikram sudah menyerobot. “Atau tetep mau pasta yang viral itu?”

Selina menghela nafas pelan. “Tujuan gua emang buat pasta itu sih…” Jawabnya yang diikuti anggukan kecil Vikram.

Pelayan kembali mencatat pesanan sambil menawarkan wine yang kebetulan mereka ambil. Begitu pelayan pergi, Vikram mencondongkan badannya kedepan, kedua tangannya menopang dagu. “Jadi… lo ambil part time dimana?” Pertanyaannya membuat Selina tersentak.

Tidak mungkin dia memberi tahu Vikram duluan, sedangkan Megan dan Tessa juga belum tahu. Lagipula, dia juga tidak ada niatan untuk membocorkan soal bar milik Leonhard.

Selina menyesap wine yang tadi dituangkan pelayan, sekedar menghilangkan pandangan dari tatapan Vikram. “Biasa… di showroom punya sepupu gua,” jawab Selina bohong.

“Showroom mana nih? Gua punya banyak kenalan,” ujar Vikram. Saat ini, Selina benar-benar ingin mengubur dirinya. Dia harus jawab apa?

Selina tersenyum kaku, jemarinya memutar-mutar gelas wine. “Showroom kecil aja… gak terkenal juga. Lo gak bakal tau.”

Vikram semakin terlihat menikmati percakapan ini, tapi tidak dengan Selina.

“Masa? Soalnya dari dulu gua lumayan main di otomotif, showroom kecil juga biasanya gua kenal kalo lo sebut namanya—gua denger walaupun showroom kecil juga mereka punya koneksi gede,” ceroros Vikram tanpa henti.

Selina mengerutkan dahi, kalimat terakhirnya membuat dia penasaran. “Maksudnya?”

Vikram mencondongkan tubuhnya lagi lebih dekat, memerintah Selina untuk ikut mendekat—dengan ragu Selina mendekat.

“Mereka juga main kotor,” bisik Vikram sambil menoleh kanan-kiri takut ada yang mendengar.

“Lo tau darimana?” tanya Selina, terjebak dalam informasi dadakan itu.

“Banyak yang ngomong,” pungkas Vikram sambil mengangkat bahunya. Selina hening sebentar, merasa tidak puas dengan jawabannya.

“Lo kayaknya kenal banyak orang ya? Sampe masalah ginian aja tau—yang geng motor juga kayaknya lo tau,” celoteh Selina, memperhatikan ekspresi Vikram, sinar matanya tiba-tiba meredup tapi ditutup dengan senyuman tipis.

“Ada banyak hal yang harus lo hindari,” gumam Vikram, suaranya sedikit pelan—hanya bisa didengar sendiri. Tatapan matanya menjadi datar, mengejutkan Selina.

“Hah?”

“Oh, nggak… masalah geng motor itu mah emang udah rumor lama.” Vikram mulai menyesap wine-nya.

Selina tidak tahu harus mengeluarkan topik apa lagi, jadi dia hanya mengangguk. Matanya melirik ke sekitar ruangan. Dari tenpat duduknya, dia bisa melihat sebagian area yang lebih terang di dekat jendela.

“Lo kenapa?” tanya Vikram suaranya terdengar tenang.

“Eh… gua izin ke toilet ya.”

“Sure.” Vikram tersenyum.

Selina berjalan menyusuri lorong sempit menuju toilet wanita. Untungnya, area itu agak sepi. Begitu selesai dan melangkah keluar dari toilet, Selina menangkap sesuatu yang membuatnya berhenti—siluet seseorang di meja pojok jendela besar.

Baskara.

Masih memakai kemeja tadi siang, tapi sudah sedikit berantakan. Dosen itu duduk tegap, wajahnya serius sedang berbicara dengan pria yang duduk membelakangi Selina. Dari posisinya, dia tidak bisa melihat wajahnya, tapi suaranya terdengar.

“… pemain malam ini udah siap. Penonton juga udah stand by di bar. Tinggal masalah angka.”

Selina mengerjap mendekati tempat duduk mereka, untung saja ada sekat tembok. Rasa penasarannya kembali muncul.

Baskara mengangguk tipis. “Malam ini harus clean seperti biasa. Pastikan tidak ada jejak. Ngerti kan?”

Suaranya berbeda—lebih dalam dan serius, ada hint dominan yang jelas.

“Untuk perintah bos tadi siang, bawahan saya sudah kirim dokumennya ke kantor,” ucap pria misterius itu. Selina mengernyit. Apa yang sedang mereka bicarakan? Topiknya sangat asing dari lingkungan kampus ataupun materi kelas, bahkan tidak terdengar seperti dosen yang sedang berdiskusi—lebih cocok dengan pembisnis.

“Okay, good. Oh—satu lagi. Jangan sampai ada penggelapan angka pertunjukan malam ini,” suara Baskara terhenti sejenak, nada rendahnya menekan. Dia bersandar dan menatap pria di depannya dengan sorot mata yang tajam. “… big rival malam ini. Kamu tahu konsekuensinya. Jangan sampai bocor.”

Selina menelan ludah. Percakapan itu jelas bukam percakapan antara dosen ke dosen. Dia merasakan bulu kuduknya naik, membayangkan Baskara dalam adegan yang mungkin membahayakan.

Pria misterius itu mengangguk cepat, lalu menyodorkan iPad ke arah Baskara. “Semua sudah rapi. Jangan khawatir.”

Selina melangkah mundur, jantungnya berdebar kencang. Dia merasakan adrenalin di dalam tubuhnya naik—merasa barus mengimpan rahasia ini.

Saat Selina berbalik, lututnya tidak sengaja tersandung tiang sekat di sebelah tembok. Suara keras itu membuatnya panik.

Baskara yang sedang meraih iPad itu langsung menghentikan pergerakannya. Matanya melirik sekilas ke arah sumber suara.

Selina buru-buru mundur, masuk kembali ke lorong toilet. Tangannya sedikit bergetar—rasanya… ngeri-ngeri sedap. Selina suka.

Kepalanya kini teralihkan dari gambar samar di lengan Baskara, menjadi Baskara bukan dosen biasa yang dia pikirkan.

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!