Gendhis Banuwati, wanita berusia 20 tahun itu tidak percaya dengan penyakit yang dialami sang Ayah saat ini. Joko Rekso, dinyatakan mengalami gangguan mental, usai menebang 2 pohon jati di ujung desanya.
Hal di luar nalar pun terjadi. Begitu jati itu di tebang, darah segar mengalir dari batangnya.
"KEMBALIKAN TUBUH KAMI KE TEMPAT SEMULA!"
Dalam mimpi itu, Pak Joko diminta untuk mengembalikan kayu yang sudah ia tebang ke tempat semula. Pihak keluarga sempat tak percaya. Mereka hanya menganggap itu layaknya bunga tidur saja.
Akan tetapi, 1 minggu semenjak kejadian itu ... Joko benar-benar mendapat balak atas ulahnya. Ia tetiba menjadi ling lung, bahkan sampai lupa dengan jati dirinya sendiri.
2 teman Pak Joko yang tak lain, Mukti dan Arman ... Mereka juga sama menjadi gila.
Semenjak itu, Gendhis berniat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan tempat yang di juluki dengan TANAH KERAMAT itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jati Keramat 14
Pria yang terkenal dengan sikap dinginya itu, kini hanya mengabaikan ucapan Gendhis, dan berlalu begitu saja.
'Ada ya orang modelan ke Mas Wira?! Bu Minah dulu ngidam apa, anaknya kaku banget!' Gendhis menatap pria didepanya sambil geregetan sendiri.
Awan putih kini menyelimuti sinar sang rembulan. Dan seketika desa Sendang tampak gelap. Penerangan di jalan belum terlalu banyak. Jadi masih terlihat gelap, saat melewati senggang kebun yang sangat luas.
Awww ....!!! Jerit Gendhis.
Wira yang masih berjalan di depan tadi, spontan berbalik dan langsung menghampiri Gendhis. "Ada apa?"
"Mas ... Itu, itu tadi dahanya goyang-goyang sendiri!" Gendhis meringsut takut, bersembunyi di balik tubuh tegap Wira.
Sementara pria dewasa itu, ia kini mengarahkan senternya kearah pohon mangga, serta berjalan mendekat sambil mengeluarkan sabit yang ia simpan disamping tubuhnya.
"Nggak ada apa-apa! Ini malam 1 suro. Lagian kamu mau kemana malam-malam gini keluar dari rumah?" Tanya Wira dengan wajah datarnya.
Gendhis mendadak gugup. Ia juga bingung harus berkata apa. Tidak mungkin ia mengucapkan niatnya kepada pria dewasa didepanya itu.
"Bagaimana keadaan Ayahmu?" Tanya kembali Wira.
Gendhis mendadak sendu. Ia tertunduk sambil menjawab, "Bapak nggak ada perubahan, Mas! Halusinasinya semakin tinggi. Tapi ..."
Wira memicing, saat Gendhis tidak melanjutkan ucapanya. "Tapi apa?"
"Apa Mas Wira dapat membantu Gendhis, jika Gendhis ceritakan semua kejanggalan ini?!"
Wira hanya mengangguk. Setelah itu Gendhis langsung menceritakan semua yang ia alami dan Ayahnya alami dari awal hingga kini.
Jujur saya Wira tercekat mendengar penyataan Gadis di depanya. Rupanya tidak hanya dia saja yang curiga jika ada yang tidak beres dengan sosok Eyang Wuluh.
"Ayo ikuti aku!"
Gendhis mengangguk. Setelah itu mereka berdua bejalan bersama menuju tempat yang sudah di tuju oleh Wira.
Sejujurnya Gendhis agak khawatir perihal Wira membawanya ke sebuah tempat yang agak jauh dari desa. Tempat itu sebuah pondok kecil yang terbuat dari bambu. Dan tepatnya di wilayah kebun Juragan Wisnu sendiri.
"Mas, ini kita sampai kapan disini? Mas Wira nggak akan jahati Gendhis 'kan?" Gendhis memajukan setengah badanya, menatap Wira yang sedang berjaga di luar.
Wira mendesah lemah. Ia saat ini duduk di batu agak besar, melirik sekilas sambil berkata, "Kamu bukan tipe saya! Jadi jangan ngawur!"
Gendhis mengecam dalam hatinya. Wajahnya mencibir, namun mulutnya mengatup kaku. 'Dasar perjaka tua! Sok-sokan bilang aku bukan tipenya.'
Waktu berputar dengan cepat. Tak terasa Gendhis malam itu tertidur karena saking kantuknya. Dengkuran halus itu sampai terdengar di luar pondok.
Wira bangkit. Ia menyingkap selambu sebagai pintu pondok itu. Dan seketika wajah Wira menatap dengan jengah, "Dasar tukang tidur!" Setelah itu Wira segera membangunkan Gendhis karena malam ini hampir tepat tengah malam.
"Heh! Ayo cepat bangun!" Wira menoel-noel tubuh Gendhis menggunakan ujung kayu yang ia ambil tadi.
Gendhis menggeliat. Ia segera bangkit sambil mengucak matanya. "Iya, Mas! Ini saya juga sudah bangun." Belum juga kesadaran Gendhis kembali sepenuhnya, ia kini tersentak bahkan menggeser tubuhnya kala Wira langsung masuk kedalam begitu saja.
"Geser!" Pekik Wira.
"Iya ... Ini juga sudah mepet, Mas!" Gendhis dengan wajah malas membuat jarak dari pria dewasa itu.
Pondok itu hanya cukup di tempati oleh 2 orang dewasa saja. Dindingnya terbuat dari kayu papan jati, yang biasa Wira gunakan saat memantau karyawan di kebunnya.
Dan tepat jam 12 malam, tiba-tiba langit tampak senyap. Semilir angin malam bahkan enggan sekali berhembus. Tubuh Gendhis yang semula menggigil, kini bahkan terasa gerah nan panas.
Ia berbisik kepada pria disampingnya, "Mas ... Kok senyap banget kaya nggak ada angin sama sekali ya?!" Gendhis sudah ingin menyingkap korden didepanya, namun lenganya langsung di tahan oleh Wira.
"Sudah jam 12 malam! Jangan keluar. Sebentar lagi kamu akan melihat sesuatu," kata Wira menahan. Wajahnya selalu serius, terlihat dingin tanpa ekspresi.
Tap!!! Tap!!!
Tap!!! Tap!!!
Derap langkah terdengar nyaring, memecah keheningan malam. Wajah Gendhis tersentak hingga membuat kedua matanya terbuka lebar, "Mas ... Itu suara apa?"
"Dah, diam!" Bisik Wira.
Sekuat tenaga, tangan Gendhis membekap mulutnya. Keringatnya mengalir disekujur tubuh, merasakan energi panas yang tak berkesudahan.
Wira mengisyarat agar Gendhis ikut mengintip dari celah lubang. "Sini!"
Tubuh Wira melonggar, disaat Gendhis mengintipkan matanya keluar. Dan benar saja, tepat pukul 12 tepat, disana Pak Woyo membawa seekor kambing 3 besar, dan mereka bawa ke sebuah pohon besar.
Selagi Pak Woyo menarik kambing tadi, Eyang Wuluh membawa satu nampan sesaji yang sudah ia letalan dibawah pohon besar itu.
"Apa kamu melihat itu kambing?" Celetuk Wira dengan wajah datarnya.
Gendhis mengernyit. Namun setelah itu ia mengangguk, "Iya Mas, itu kambing!"
Wira menatap Gendhis. "Diam, ambil nafas dalam lalu keluarkan! Maaf," ucapnya segan sambil meraup sekilas wajah Gendhis. "Lihatlah lagi kambing itu!" perintahnya.
Gendhis kembali mengintip. Dan betapa tersentaknya ia, kala melihat ketiga kambing tadi yang sudah terikat di pohon, kini berganti menjadi ke 3 manusia, yang tak lain Pak Joko, Arman, dan Mukti.
"Bap-"
Wira membekap mulut Gendhis kuat, disaat wanita cantik itu sudah akan berteriak. Wajah Gendhis sudah dikalang kabut, ingin menjerit, keluar dan menghampiri kedua manusia itu.
"Tenang! Diam dulu! Jangan kegabah!" Wira bahkan melebarkan tatapanya, menahan tubuh Gendhis sekuat tenaga.
Gadis muda itu sudah menangis, hingga keringat diwajahnya menganak sungai. "Mas, itu ada Bapak. Kenapa bisa mereka ada disana. Bapak tadi di rumah, Mas!"
Wira terdiam sejenak. Ia kembali meraup wajah Gendhis agar gadis itu mulai tenang.
Sementara di sebrang, Eyang Wuluh kini sedang duduk bertapa menghadap seseji yang ia bawa tadi. Dan seketika, angin kencang berhembus. Rambut Eyang Wuluh berterbang, hingga membuat kebaya yang ia kenakan melonggar.
BRAK!
Satu tanda bahwa persembahannya diterima adalah jatuhnya ranting pohon besar tadi. Dan setelah itu angin kencang tadi berhenti dengan sendirinya.
***
Sementara di rumah, Bu Siti saat ini tengah cemas berdiri di teras rumahnya sendirian. Bahkan, hingga pukul 12 malam lebih, Gendhis belum juga pulang ke rumah. Biasanya, Pak Joko sangat di andalkan dalam mengurus kedua putrinya. Namun untuk kali ini, Bu Siti hanya memikirkan itu sendiri.
"Ya Allah, Gendhis kemana kok belum juga pulang?! Mana sudah tengah malam seperti ini." Bu Siti kembali menatap jam dinding yang menempel pada tiang kayu didalam rumahnya. "Hampir jam 1 malam, Ya Allah Gusti ... Putriku ini pergi kemana?" Cemasnya.
Ingin meminta bantuan pada tetangganya, namun Bu Siti segan sebab jam segini tetangganya juga pasti sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Wanita tua itu merasa frustasi hingga kini hanya mampu menjatuhkan tubuh lelahnya diatas bangku kayu diteras.
Sementara di pondok itu, Gendhis tanpa sadar sudah terlelap begitu Wira. Hingga, pagi pun tiba.
Dan ...