Jarang merasakan sentuhan kasih sayang dari suami yang diandalkan, membuat Mala mulai menyadari ada yang tidak beres dengan pernikahannya. Perselingkuhan, penghinaan, dan pernah berada di tepi jurang kematian membuat Mala sadar bahwa selama ini dia bucin tolol. Lambat laun Mala berusaha melepas ketergantungannya pada suami.
Sayangnya melepas ikatan dengan suami NPD tidak semudah membalik telapak tangan. Ada banyak konflik dan drama yang harus dihadapi. Walaupun tertatih, Mala si wanita tangguh berusaha meramu kembali kekuatan mental yang hancur berkeping-keping.
Tidak percaya lagi pada cinta dan muak dengan lelaki, tetapi jauh di dasar hatinya masih mengharapkan ada cinta tulus yang kelak melindungi dan menghargai keberadaannya di dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri Harjanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Setan Apa yang Merasukimu?
Suara berdebum, berderak dan beberapa kali seperti suara benda yang digeser. Seluruh rumah ikut merasakan hawa jahat.
Di sana, di pojok dapur—dekat tangga menuju tempat jemuran—Bram dengan mata liarnya mengacak-acak barang-barang yang tersimpan di bawah tangga dengan penuh emosi.
Mala cepat melindungi Mia, dijauhkannya Mia yang kepo dari Papahnya yang tadi tengah bermain dengannya dan mendadak naik pitam setelah bicara sedikit dengan Mamanya.
"Maya, bawa adik-adikmu ke tempat Kakek, cepat!" perintahnya pada Maya.
Moya langsung menggandeng Mia dengan debaran penuh, mengikuti Maya yang berwajah tegang berjalan cepat keluar rumah menuju rumah orang tua Mala.
"Bagaimana nasib Mama di rumah, Kak?" tanya Moya khawatir.
"Kurasa, Mama bisa menjaga dirinya dengan baik," gumam Maya sekenanya.
***
"Apa yang kaulakukan Bram? Apa yanh sebenarnya kaucari?"
Mala bertanya tapi sudah tahu jawabannya. Mengira jika Bram hanya ingin melampiaskan emosi yang sekonyong-konyong datang seperti virus yang masuk ke dalam otak.
"Akh, tahu apa kamu soal peralatan tukang. Kamu kan nggak peduli kalau aku di luar sana kerjanya berat. Demi uang tambahan sampai kerjaan tukangku kukerjakan sendiri."
Mala memang tahu, Bram sedang menggarap sebuah cafe. Bisnis Bram memang seputar bahan material, tetapi ia juga mempunyai tim pekerjaan bangunan.
Latar belakang pendidikan Bram arsitek. Projek yang ia kerjakan tidak selalu besar, kadang juga kecil. Itu sebabnya Bram tak mau menjanjikan nominal tertentu pada Mala.
Semua tergantung projek yang dikerjakan, atau menurut Mala ... semua tergantung suasana hatinya. Sekecil-kecilnya uang yang dihasilkan Bram, tentunya tetap saja bukanlah jumlah yang sedikit. Namun, Bram memberikan uang bulanan yang teramat kecil. Alasannya macam-macam, begitu juga kalau Mala menanyakan ke mana uang-uang Bram melayang? Kenapa di pekerjaannya yang banyak membangun rumah-rumah, tapi Bram tidak bisa membangunkan rumah untuk Mala.
"Aku nggak tahu benda apa yang kamu cari, tapi ya nggak bikin seisi dapur berantakan begini dong, Bram!"
Mala mulai kesal. Bram sesuka hatinya menciptakan kapal pecah di dapur Mala. Mala kehilangan kesabaran ketika pot-pot kecil, cantik dan estetik miliknya, dijatuhkan tanpa rasa bersalah.
"Kamu juga acak-acak isi tasku!" ujar Bram sewot.
"Oh, jadi karena itu kamu kesal hati, tahu nggak sih, yang kemarin lihat-lihat isi tasmu itu Mia."
Mala memberitahu kejadian sebenarnya, bahwa dirinya justru merapikan yang telah berantakan di meja. Dan di situlah menemukan bukti Bram bermalam di hotel.
"Aku pikir, emosi kamu ini karena tak enak hati kan Bram? Gara-gara kutanyakan soal 'kok kamu bisa tega berkencan setelah pemakaman Mama?'"
Air muka Bram berubah. Merah padam. Jelas tak suka Mala menyinggung hal ini lagi. Masih ada rasa malu karena ketahuan, hingga menutupi rasa malu itu dengan mencari-cari terus kesalahan Mala. Sayangnya, Bram tak menemukan setitik pun kesalahan Mala. Tidak ada hal yang bisa menjadi alasan Bram naik pitam. Tapi rasanya sebal saja pada Mala.
"Lain kali jangan ceroboh meletakkan struk pembayaran saat berkencan, Bram. Masih baik Mia tak tahu apa-apa, bagaimana kalau anak yang lebih besar yang memergoki. Mereka pasti akan sangat sakit hati."
"Kalau kamu?" tanya Bram dengan pandangan yang Mala kurang pahami.
"Jangan memancingku!" ujar Mala.
"Yeah, kamu sih nggak bakal cemburu. Dasar wanita berhati dingin."
Kedua mata Mala membeliak, sungguh heran bukannya menyesal ketahuan nginap di hotel malah makin menjadi gaslighting yang diterapkan.
"Bisa begitu, nuduh aku dingin? Tahu dari mana?"
Mala balik bertanya.
"Kapan sih, kamu bersikap mesra ke aku, ngertiin aku? Bisanya minta duit aja!" cecar Bram. Sekali lagi Mala mengelus dada.
Padahal sekarang ini sudah jarang meminta uang pada Bram. Kalau minta pun untuk keperluan anak sekolah yang anaknya juga. Sedangkan mencukupi kebutuhan sehari-hari justru banyak menggunakan uang konten yang lumayan hasilnya. Lebih dari yang Bram beri.
"Aku sudah jarang kan meminta uang kamu!" Akhirnya Mala tersulut emosi juga. Lama-lama capek hati terus mendiamkan tembakan kalimat mengada-ada yang Bram luncurkan.
"Iya, iya deh ... Mala sekarang kaya, nggak minta uang suaminya lagi."
"Eh, loh! Kok bicara begitu. Serba salah ya... punya uang sendiri di nyinyirin, nggak punya uang terus minta kamu dikatai-katain. Jadi kamu maunya apa sih Bram, cuma mau menindas aku ya?!"
"Berani, ya kamu Mala! Udah berani lawan suami! Mentang-mentang bisa sendiri, ya?"
Huft, Mala putus asa. Benar-benar putus asa. Benar juga seharusnya aku tak mempedulikan semua omong kosongnya, keluh Mala dalam hatinya.
Tengah beradu argumen seperti itu, tiba-tiba ada sebuah bau busuk menusuk. Tambah suara tokek terdengar begitu keras, begitu dekat.
Seketika tubuh Mala merinding. Sekelebat pikiran Mala melayang, melihat Bram yang sibuk mengomel laksana tertutup kabut dengan dengung tak jelas.
Mala merasakan lambungnya bagai meremas seperti mesin cuci yang sedang mengeringkan pakaian.
Daar!
Suara keras seperti benda jatuh menghantam genting rumah. Kepala Mala makin pening. Rasanya berputar-putar. Jemari Mala mencari sebuah pegangan, menemukan kepala kursi dan menyandarkan tubuh pada badan kursi.
"Sudah cukup!" Mala mengerang.
Bram tidak melihat Mala, dia bocah mengamuk yang membanting barang.
Mala makin mual. Pertengkaran dengan Bram kali ini banyak menyedot energinya. Sangat mual dan rasanya ingin muntah. Mendadak semuanya menjadi gelap bagi Mala.
Benar saja, di tengah pertikaian itu. Mala pingsan.
***
Menjelang pagi. Pandangan Khawatir Maya menemani Mala yang lemas. Terbatuk-batuk sedikit, tenggorokan Mala terasa tercekik. Maya menyodorkan minuman. Meneguknya pelan, Mala langsung teringat situasi yang terjadi.
"Mana adik-adikmu?" Suara Mala tercekat.
"Masih di rumah Kakek, menginap di sana," ucap Mala memberitahu.
"Dan kamu ...?" Mala heran Maya di sini.
"Papah mengabari Mamah pingsan, katanya sakit magh."
"Hmm, aku tidak ingat kenapa aku pingsan. Kepalaku sakit." Mala meringis kesakitan memegangi kepalanya.
"Apa yang terjadi, Mah?" tanya Mala heran.
Mala cuma bisa menggeleng. Benar tak tahu apa yang dialami. Hanya saja sekarang ini, punggungnya terasa berat.
Sebuah aroma teh menyeruak. Bram memasuki kamar dengan secangkir teh di tangan. Melihat Mala tengah berbincang dengan Maya. Bram lega, istrinya kembali normal.
Tadi ia sangat ketakutan. Mala berteriak bersuara parau. Menghardik Bram seakan Bram orang lain. Juga berbicara tentang hal aneh lainnya. Menyuruh Bram untuk menjauhi wanita jahat yang ingin membuat Mala celaka.
Apa maksudnya, Bram tidak mengerti.
"Minumlah, Mah. Selagi hangat."
Nanar mata Mala menatap Bram. Apa ini akting di depan anak mereka saja?
Masih diingat percakapan mengenai bukti menginap di hotel di tanggal berduka. Seolah Bram yang tadi tak menampilkan rasa bersalah adalah Bram yang berbeda dengan Bram yang saat ini memberi teh.
"Makan rotinya, ini roti "O" kesukaanmu. Aku beli semalam. Kamu tertidur nyenyak ditemani Maya."
Tangan Mala mengepal sesaat, kemudian meraih kantung kertas roti yang disodorkan Bram. Mereka saling terdiam.
"Sungguh kikuk, suasana ini," gumam Maya.
"Iya, iya ... Ya sudah Papah mau mandi pagi. Papah harus berangkat pagi. Aku ke luar kota ya Mah, benar-benar ada kerjaan. Ini aku izin loh, nanti aku kirimin foto deh biar kamu percaya!" tukas Bram sebelum akhirnya menghilang dari pintu kamar, menuju kamar mandi.
Mala tidak berkomentar apa pun. Mau percaya atau tidak, sudah tak penting lagi. Bukankah Bram telah secara tak langsung mengiyakan berkencan dengan wanita lain, bahkan mengaku kecewa karena Mala tidak cemburu.
Mala menyelidik kedalam hatinya sendiri. Benarkah tidak ada sedikitpun perasaan cemburu. Mala harus mengakui, yang tersisa dari perasaannya untuk Bram hanya rasa malu. Malu mengakui memiliki pasangan yang tak becus sama seperti ayahnya.
"Oh, iya. Apa Kakek tahu Mamah pingsan, Maya?" tanya Mala pada putri pertamanya itu.
Maya mengangguk mengiyakan.
"Tapi Kakek, diam saja. Terus saja merokok. Katanya tak mau ikut campur urusan rumah tangga anaknya."
Mala kaget mendengar penuturan Maya. Rasa kesal timbul tenggelam. Merenungi beberapa tanya.
"Apa Ayah tak khawatir jika putri semata wayangnya, dihajar oleh suaminya sendiri?"
...ΩΩΩΩ...