NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Basement, Sapu Tangan, dan Sebuah Tatapan..

Langit malam di atas gedung perusahaan raksasa Atmadja Holdings gelap, tapi lampu - lampu parkiran memantulkan cahaya dingin yang menyilaukan lantai beton. Suara langkah Rania pelan. Sepasang haknya tak terdengar seperti biasanya... hari ini langkahnya lunglai, seolah bebannya lebih berat dari tubuhnya sendiri.

Sampai di mobilnya, Rania hanya berdiri mematung. Napasnya berat. Tangannya memegang kunci, tapi tak kunjung membuka pintu. Akhirnya, perlahan - lahan ia bersandar pada mobil itu, lalu tubuhnya turun, jatuh terduduk di lantai parkiran yang dingin. Kepalanya menunduk dalam, bahunya mulai bergetar. Tangis itu akhirnya pecah, bebas dan tak terbendung.

Air matanya mengalir deras, hingga suara langkah lain terdengar.

"Rania...?"

Rania terkejut, buru - buru menyeka air mata, tapi tak sempat menutup luka yang sudah terlanjur menganga. Ia menoleh cepat. Seorang pria muda berdiri dengan plastik sampah kafe berdiri tak jauh, tertegun melihatnya.

"Naren?" gumamnya pelan.

Naren segera mendekat, hati - hati, tak ingin membuatnya merasa malu. Ia jongkok, lalu perlahan duduk di samping Rania, menjaga jarak.

"Aku... maksudku.. saya... Ah sudahlah." Ia mengusap tengkuknya canggung. "Aku nggak bermaksud mengganggu, Rania. Tapi... apa kamu baik - baik saja?"

Rania tak menjawab. Ia kembali menunduk, mencoba menahan isaknya. Tapi usahanya sia - sia.

Naren membuka saku kemeja seragamnya, mengeluarkan sapu tangan bersih. Ia menyodorkannya pelan. "Ini... "

Rania menerimanya dengan tangan gemetar. "Makasih..." bisiknya.

"Kalau... Kalau ada yang bisa aku bantu..." lanjut Naren dengan suara hati - hati, "...atau kalau cuma butuh ditemani... aku bisa duduk disini semalaman."

Rania mengangguk tanpa suara. Ia menyeka matanya, lalu akhirnya bersuara, suaranya parau dan pelan.

"Aku nggak tahu kenapa aku nangis di tempat parkir begini. Dan ternyata ada kamu disini." Ia tertawa pendek... pahit dan lelah. "Tapi rasanya... semuanya menyesakkan. Nggak ada ruang buat bernapas."

Naren menatapnya dalam diam. "Kamu nggak harus cerita kalau nggak mau."

"Tapi aku mau," jawab Rania cepat, lalu matanya kembali memanas. "Suamiku... dia memalsukan tanda tanganku. Dia korupsi. Dan aku... aku dijadikan kambing hitam."

Naren terdiam.

"Mertuaku tahu. Tapi mereka minta aku yang bertanggung jawab di depan Pak Askara. Katanya, demi nama baik keluarga. Karena Niko, suamiku, katanya harus tetap kerja... harus tetap punya reputasi bagus." Rania menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang tercekat. "Mereka nggak peduli bagaimana nasibku di tangan Pak Askara. Mereka bilang itu semua karena aku terlalu banyak menuntut, terlalu banyak minta... jadi Niko terpaksa korupsi. Mereka bilang semua salahku."

Naren mengernyit, ekspresi wajahnya sulit disembunyikan. "Itu... keterlaluan, Rania."

Rania menarik napas dalam - dalam. "Yang paling gila.. aku hampir setuju. Aku hampir iyain semua, karena aku pikir... semua demi Ibra, anakku... aku bisa terima semua."

"Hampir?"

"Ya. Sampai ibu mertuaku dapat telepon dari perempuan itu. Dari mantan istri suamiku. Mereka ketawa - ketawa, ngobrol manis... seolah aku ini cuma pengganggu."

Naren menunduk, lalu berkata pelan, "Kamu terlalu baik buat mereka."

"Bukan baik," potong Rania cepat. "Bodoh. Aku bodoh. Tapi malam ini... cukup."

Naren menatapnya, dan saat itu matanya tidak berisi kasihan. Hanya pengertian. Rania sadar, ia sedang bicara pada orang yang tidak punya kepentingan apa - apa padanya. Dan itu yang aneh, Rania merasa lebih nyaman bicara pada orang asing dibanding pada Kakak - Kakaknya, Ibunya... apalagi suaminya sendiri.

"Maaf... aku terlalu banyak ngomong. Gak seharusnya aku menceritakan ini pada orang yang baru aku kenal."

Naren tersenyum. "Nggak apa - apa... aku bisa menjadi pendengar yang baik, meskipun mungkin aku nggak bisa ngasih solusi apa - apa."

Rania menatap langit - langit parkiran di atas. Udara dingin menyusup ke balik kemejanya.

****

Suara langkah - langkah berat dari roda kendaraan terdengar memantul di dinding parkiran basement. Mobil hitam mewah itu melaju perlahan, diapit dua kendaraan lain yang membentuk rombongan. Platnya tak biasa. Sopir berjas duduk tegak di balik kemudi, sesekali melirik spion tengah.

Di kursi belakang, Askara bersandar tanpa suara. Matanya tertuju pada dua sosok di sisi kanan mobil. Seorang perempuan duduk bersimpuh di lantai parkiran, dengan seorang pria yang mendampinginya. Dari sorot matanya yang tajam namun diam, jelas siapa perempuan itu.

Rania.

Sapu tangan masih berada di tangannya, digunakan untuk menyeka sisa air mata yang belum sepenuhnya reda. Rambutnya sedikit berantakan. Bahunya naik - turun, menandakan bahwa tangis belum sepenuhnya usai meski suara isaknya telah tenggelam. Pria di sampingnya... Naren, Askara sangat mengenalnya... terlihat menjaga jarak namun siaga, seperti seseorang yang berdiri di sisi jurang dan tak tahu harus menarik atau melepaskan.

Sopir Askara berdehem kecil. Suaranya pelan namun jelas di ruang sunyi mobil yang ber-AC.

"Apa saya harus turun dan menolong Nona itu lagi?" tanyanya, sambil menatap Askara melalui spion tengah.

Askara menggeleng perlahan. "Tidak usah." Namun tatapannya tak beranjak dari Rania. Sesuatu dalam dirinya menolak untuk berpaling. Ia tak tahu kenapa. Ia hanya perlu melihat. Perlu memastikan bahwa perempuan itu masih bisa menangis. Masih hidup. Masih mampu bertahan, walau di titik terendah.

Sopir itu menoleh sejenak ke arah luar kaca, lalu kembali berbicara dengan nada ragu.

"Kalau boleh jujur, Tuan... sebelum saya tahu Nona itu sudah menikah, saya sempat berpikir, mungkin dia jodoh Tuan."

Askara tidak menjawab. Hanya diam. Tapi detak jantungnya tiba - tiba menjadi tak teratur.

Sopir itu melanjutkan, "Karena entah kenapa, setiap kali Nona itu dalam kesulitan, Tuan selalu muncul. Waktu mobilnya mogok di tepi jalan tol, Tuan yang pertama berhenti. Di rest area, waktu Nona Rania menangis sendirian di minimarket, Tuan juga yang melihatnya. Dan sekarang... " matanya mengarah ke kanan melihat Rania, "... Nona Rania ada di situ. Menangis. Dan Tuan melihatnya lagi."

Askara masih diam. Matanya menajam, menahan sesuatu yang tak ia mengerti,

"Tuan percaya pada kebetulan?" tanya sopir itu pelan, tak berharap jawaban.

Askara mengalihkan pandangannya, akhirnya. Bukan karena ia tidak ingin melihat Rania lagi. Tapi karena terlalu lama menatapnya terasa seperti membuka ruang yang selama ini ia tutup rapat.

"Jalan," Titah Askara datar pada sopirnya.

Mobil pun perlahan kembali bergerak, meninggalkan dua sosok yang masih duduk lantai parkiran. Tapi detak jantung Askara belum juga kembali normal. Kata 'jodoh' yang dilempar sopirnya masih menempel seperti gema - pelan, tapi mengusik.

Entah kenapa, setelah tangisnya perlahan surut, Rania merasa... dilihat. Bukan oleh Naren yang duduk di sampingnya, karena Naren sudah diam sejak tadi. Tapi ada sesuatu... semacam getaran samar di udara. Tatapan asing yang tak menyentuh kulit, tapi terasa di tulang belakang.

Ia mengangkat wajah perlahan, menoleh ke sekeliling parkiran. Sunyi. Lampu - lampu mobil menyala redup, sebagian mulai bergerak meninggalkan basement. Salah satu mobil hitam yang melintas pelan membuat matanya sempat terpaku, tapi kaca filmnya terlalu gelap untuk melihat siapa pun di dalam.

Rania menarik napas pendek. Mungkin hanya perasaannya saja.

(Bersambung)...

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!