Laura tidak pernah membayangkan pernikahannya akan terasa seperti penjara. Nicholas, suaminya, selalu sibuk, dingin, dan jauh. Di tengah sunyi yang menusuk, Laura mengambil keputusan nekat-menyewa lelaki bayaran untuk sekadar merasa dicintai.Max hadir seperti mimpi. Tampan, penuh perhatian, dan tahu cara membuatnya merasa hidup kembali. Tapi di balik senyum memikat dan sentuhannya yang membakar, Max menyimpan sesuatu yang tidak pernah Laura duga.Rahasia yang bisa menghancurkan segalanya.Ketika hasrat berubah menjadi keterikatan, dan cinta dibalut bahaya, Laura dihadapkan pada pilihan: tetap bertahan dalam kebohongan atau hancur oleh kebenaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizky Rahm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memulai Kontrak
Max menyerahkan segelas anggur kepada Laura, sementara dirinya duduk di kursi seberangnya. Suasana di apartemen terasa begitu tenang, hanya ada suara dentingan halus saat Max menaruh botol anggur kembali ke meja.
Laura menggenggam gelasnya dengan kedua tangan, menatap cairan merah di dalamnya sebelum akhirnya menghela napas. “Maaf,” katanya tiba-tiba.
Max menaikkan alis, menyesap anggurnya dengan tenang. “Untuk apa?”
Laura tersenyum kecil, sedikit canggung. “Aku… tidak bisa memasak.”
Max hanya menatapnya sebentar, lalu berkata dengan nada santai, “Bukan masalah.”
Jawaban itu begitu singkat, seolah hal itu sama sekali bukan sesuatu yang perlu dipikirkan. Laura tertegun sejenak, lalu mendongak menatapnya. “Serius? Bukankah kebanyakan pria menginginkan wanita yang bisa memasak?”
Max menyandarkan punggungnya ke kursi, mengaduk-aduk anggur dalam gelasnya sebelum menjawab. “Laura, menurutku wanita atau istri bukanlah koki pribadi. Jika dia suka memasak, bagus. Jika tidak, ada ribuan cara lain untuk menikmati hidup bersama.”
Laura menatapnya, sedikit terpana. Kata-kata Max terdengar begitu sederhana, tapi bagi seseorang yang telah lama hidup dalam ekspektasi pernikahan yang kaku seperti dirinya, itu seperti udara segar.
“Kamu benar-benar berpikir begitu?” tanyanya, masih ragu.
Max mengangguk, menatapnya lekat. “Ya. Lagipula, kalau kita lapar, kita bisa memasak bersama. Atau pesan makanan.” Dia mengangkat bahu santai. “Tidak perlu menjadikan hal itu sebagai beban.”
Laura tersenyum tanpa sadar. Sikap Max yang tenang dan cara berpikirnya yang berbeda membuatnya merasa… diterima. Tanpa tuntutan, tanpa tekanan.
“Kamu pria yang aneh, Max,” gumamnya.
Max tertawa kecil, menyesap anggurnya lagi. “Terima kasih, aku akan menganggap itu sebagai pujian.”
Laura menggeleng pelan, bibirnya masih menyunggingkan senyum. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa tidak dalam tekanan beban.
Max bangkit dari kursinya dan berjalan ke dapur dengan langkah santai. Laura mengikutinya, merasa sedikit penasaran dengan apa yang akan pria itu lakukan.
Begitu sampai di dapur, Max membuka salah satu laci dan mengeluarkan sebuah apron. Dengan senyum jahil, dia menyodorkannya pada Laura.
Laura mengernyit. “Aku kan sudah bilang, aku tidak bisa memasak.”
Max hanya mengangkat bahu santai. “Terima saja.”
Laura masih ragu, tapi akhirnya mengambil apron itu, mengenakan apron dengan sedikit canggung.
Max membuka kulkas dan mengamati isinya sejenak sebelum menoleh ke Laura. “Kita memasak bersama. Jangan khawatir, aku yang akan memandumu.”
Laura menatapnya dengan ekspresi setengah percaya. “Aku merasa ini bukan ide yang bagus.
Max tertawa kecil. “Aku yakin ini ide bagus. Dan jangan khawatir, dapurku sudah terbiasa menghadapi bencana kecil.”
Laura mendecak pelan, tapi sudut bibirnya terangkat. Ada sesuatu yang menyenangkan dalam cara Max memperlakukannya—tanpa menghakimi, tanpa tuntutan.
“Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan mencoba.”
Max tersenyum puas. “Itu semangat yang bagus.”
Max mengeluarkan beberapa bahan dari kulkas—telur, keju, tomat, bayam, dan beberapa potong daging asap.
“Kita akan membuat omelet spesial,” katanya sambil meletakkan bahan-bahan di atas meja dapur.
Laura menyipitkan mata. “Kenapa aku merasa ini seperti level yang terlalu tinggi untukku?”
Max terkekeh. “Kita mulai dari yang sederhana. Pecahkan dua telur ke dalam mangkuk.”
Laura mengambil telur dan mencoba memecahkannya dengan satu tangan, seperti yang sering dilihatnya di acara memasak dan yang dilakukan Seila. Tapi yang terjadi malah sebaliknya—telurnya retak tidak merata, dan beberapa cangkangnya jatuh ke dalam mangkuk.
Max menahan tawa. “Tenang saja, chef pemula. Aku akan mengajarkan trik yang lebih mudah.”
Laura mendengus, tapi matanya berbinar penuh semangat. “Aku bahkan tidak bisa memasak omelet dengan sempurna,” keluhnya.
Max mengambil satu telur dan memecahkannya dengan gerakan santai, lalu menuangkannya ke dalam mangkuk. “Maka, anggap ini kelas privat pertamamu,” ujarnya ringan.
Laura menatapnya, sedikit tak percaya. “Kamu serius mau mengajariku, Max?”
Max mengangkat bahu santai. “Kenapa tidak? Setidaknya aku bisa memastikan kamu tidak membakar dapurku.”
Laura tertawa. “Baiklah, tapi jangan salahkan aku kalau ini berakhir jadi telur orak-arik.”
Max mengulurkan spatula ke arahnya. “Tantangan diterima.”
Dengan senyum di wajahnya, Laura mengambil spatula itu, siap mengikuti instruksi Max.
"Sudah berapa lama kamu menikah, Lau?"
Laura menghentikan gerakan spatulanya, matanya sedikit membesar karena terkejut dengan pertanyaan itu.
Dia menoleh ke Max yang masih sibuk mengaduk isian omelet di wajan. Tidak ada nada menekan dalam suaranya, tapi pertanyaan itu datang begitu tiba-tiba hingga Laura merasa tenggorokannya mengering.
Dia menunduk, berpura-pura fokus pada adonan telur di hadapannya. Namun, keheningan yang menggantung di antara mereka terasa begitu berat.
Melihat keengganan di wajah Laura, Max meliriknya sekilas lalu berkata dengan nada lembut, “Kamu tidak harus menjawabnya jika itu membuatmu tidak nyaman. Maafkan aku."
Laura menghela napas pelan. Sebagian dari dirinya ingin menghindari pembicaraan ini, tapi di sisi lain, dia tahu Max bukan tipe orang yang menilai tanpa memahami.
Dengan suara pelan, dia akhirnya berkata, "lima tahun.”
Max tidak langsung menanggapi, hanya mengangguk pelan sambil tetap memperhatikan wajan. Seolah memberinya ruang untuk bicara lebih jauh—jika dia menginginkannya.
Laura menggigit bibirnya, menimbang-nimbang apakah dia harus melanjutkan. Hingga akhirnya, dengan suara nyaris berbisik, dia menambahkan, “Dan selama itu… rasanya seperti lebih lama dari seharusnya.”
Max menoleh, tatapannya lembut namun penuh pemahaman. “Lebih lama dalam arti baik atau buruk?” tanyanya hati-hati.
Laura tertawa kecil, tapi tanpa keceriaan. “Kalau baik, aku tidak akan ada di sini sekarang, bukan?”
Max diam sejenak, lalu dengan nada yang lebih ringan, dia berkata, “Kalau begitu, mungkin ini saatnya untuk menikmati sesuatu yang lebih menyenangkan. Seperti… menyelesaikan omelet kita sebelum berubah jadi sesuatu yang tidak bisa dimakan.”
Laura menatapnya, lalu tertawa kecil. Kali ini, lebih tulus. “Kamu benar.”
Mereka kembali memasak, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Seperti benang tipis pemahaman yang perlahan terjalin di antara mereka.
Suasana dapur masih dipenuhi aroma masakan yang baru saja matang. Laura dan Max duduk berhadapan di meja makan, menikmati hidangan yang mereka buat bersama. Laura masih terkekeh kecil mengingat bagaimana Max dengan sabar menjelaskan setiap langkah memasak tadi, sementara dia lebih banyak membuat kesalahan.
"Pengalaman pertamaku membuat omellet sepertinya gagal," aku Laura, mengaduk-aduk makanannya dengan garpu.
Max menyandarkan tubuhnya ke kursi dan menatapnya dengan mata penuh arti. "Kalau begitu, aku akan mengajarimu lain kali." Nada suaranya santai, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat jantung Laura berdegup sedikit lebih cepat.
Dia tersenyum kecil, merasa aneh dengan kehangatan yang ia rasakan. Ini bukan sesuatu yang biasa ia dapatkan dalam pernikahannya.
Setelah selesai makan, Max mengajaknya ke balkon apartemennya. Udara sore terasa sejuk, dengan angin laut yang berembus lembut membawa aroma asin yang khas. Dari lantai atas apartemen, Laura bisa melihat hamparan kota yang mulai diselimuti cahaya keemasan matahari terbenam.
"Indah sekali," gumamnya, memeluk tubuhnya sendiri saat hembusan angin sedikit lebih dingin dari yang dia perkirakan.
Max memperhatikannya beberapa detik sebelum tanpa ragu melepas jaketnya dan menyampirkannya ke pundak Laura. "Begini lebih baik."
Laura menegang sejenak. Dia bisa merasakan kehangatan tubuh Max yang masih melekat di kain itu, begitu dekat, begitu nyata. Ia menoleh ke arahnya, ingin mengucapkan terima kasih, tapi saat matanya bertemu dengan tatapan Max, kata-kata itu seakan menguap begitu saja.
Mata Max... ada sesuatu di sana. Sesuatu yang lembut, tapi juga penuh kehati-hatian, seakan dia sedang menimbang sesuatu di dalam pikirannya.
"Aku suka di sini," Laura mengalihkan tatapannya. "Rumahmu sangat nyaman."
"Terima kasih."
Suasana apartemen Max terasa begitu hangat, seolah menciptakan ruang yang terpisah dari dunia luar. Laura masih bisa merasakan aroma masakan yang mereka buat bersama, bercampur dengan wangi khas dari jaket yang masih menyelimuti bahunya.
Waktu berjalan begitu cepat. Rasanya baru beberapa saat lalu mereka tertawa bersama di dapur, kini malam telah menyelimuti kota. Lampu-lampu gedung tinggi mulai berkelap-kelip di kejauhan, memberikan pemandangan yang menenangkan sekaligus menyadarkannya bahwa kebersamaan ini harus segera berakhir.
Max melirik jam di pergelangan tangannya sebelum menatap Laura dengan ekspresi lembut. "Sudah malam... Aku akan mengantarmu."
Laura terdiam sejenak. Ada sesuatu dalam dirinya yang enggan meninggalkan apartemen ini, enggan meninggalkan suasana nyaman yang ia rasakan bersama Max. Tapi pada akhirnya, dia hanya bisa mengangguk pelan dan beranjak dari tempatnya.
Saat mereka mencapai pintu keluar, Max membukakan pintu untuknya, memberi ruang agar Laura bisa melangkah pergi. Namun, tepat sebelum melewati ambang pintu, langkahnya terhenti. Entah dorongan dari mana, dia menoleh kembali, menatap pria yang berdiri di hadapannya dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Max menukikkan alis, matanya mengamati Laura dengan cermat. "Ada apa?"
Laura membuka mulut, lalu menutupnya kembali, seolah ragu dengan pertanyaan yang mengendap di benaknya. Tapi pada akhirnya, kata-kata itu meluncur tanpa bisa ia tahan.
"Max, apa kamu menerima klien seorang wanita yang sudah memiliki suami?"
Sejenak, hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Max tidak langsung menjawab, hanya menatap Laura dengan sorot mata yang sulit diartikan. Tidak terkejut, tidak juga tergesa-gesa untuk merespons.
Kemudian, perlahan, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum samar. Senyum yang tidak sepenuhnya hangat, tapi juga tidak terasa dingin.
"Tentu."
Laura menggigit bibirnya, merasa canggung. Dia bahkan tidak tahu kenapa dirinya menanyakan hal itu. Apakah karena perasaan yang mulai tumbuh untuk Max? Ataukah itu pertahanan diri agar tidak jatuh lebih dalam?
Max menghela napas pelan, menatapnya seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. Lalu dengan nada yang tenang, ia menjawab, "Aku tidak pernah menolak klien berdasarkan status mereka."
Jantung Laura berdetak lebih cepat. Laura mengalihkan pandangan, merasa sesak oleh perasaan yang mulai bergejolak. Ini salah. Kebersamaan ini terlalu nyaman, terlalu berbahaya.
Dengan perasaan yang masih kacau, Laura akhirnya melangkah pergi. Namun, di dalam hatinya, ia tahu—untuk pertama kalinya—dia tidak ingin pulang.
"Bi-bisakah kita memulai kontraknya sekarang?"
apakah seila narik uang sepengetahuan Nic?
istri itu hrs patuh sama suami tp patuhnya atuh jangan kebangetan. diselidiki dl kek ntu suami
malangnya Laura