Tidak pernah menyangka pernikahan ketiga Naya Aurelia (32th) mendapatkan ujian yang penuh dramatis.
Ia dihadapkan dengan pilihan yang sulit antara memilih suami atau anak kandungnya.
Berawal dari suaminya Juan Bagaskara (27th) yang tidak mau menerima Shaka sebagai anak sambungnya sehingga Naya dengan terpaksa harus berpisah dengan putri kesayangannya. Ia menitipkan Shaka pada bi Irah asisten rumah tangganya yang diberhentikan dari rumah tersebut.
Bertahun-tahun Naya tersiksa batinnya karena ulah suami yang usianya lebih muda darinya. Apalagi suaminya pun memiliki pekerjaan di luar dugaannya yang membuatnya sangat terpukul. Pekerjaan apa kira-kira?
Disisi lain ia sangat ingin kembali hidup bersama anaknya. "Nak, izinkan mama kembali meraih cintamu..." ucap Naya lirih.
Akankah kebahagiaan berpihak pada hidup Naya selanjutnya?
Ikuti kisahnya!💕
Follow author ya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon FR Nursy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 Dilema
Naya semakin gamang dan ragu. Bagaimana mungkin dia membiarkan Shaka tinggal bersama mantan suaminya sementara mantannya tersebut bukan ayah kandung Shaka. Pikiran Naya semakin tidak menentu.
Naya masih memiliki urat malu jika harus memaksakan kehendak suaminya menemui Dikara untuk menyerahkan Shaka. Dia khawatir Dikara akan menertawainya karena dianggap tidak becus mengurus anak.
"Mas perlu kamu ketahui, sebenarnya Shaka itu bukan anak mas Dikara. Shaka anakku dari pernikahanku yang pertama, ayahnya Shaka sudah meninggal sebelum Shaka dilahirkan," jelas Naya benar adanya.
Hatinya begitu perih mengingat masa lalu yang mengharukan ketika melahirkan Shaka tanpa suami.
Juan tertawa, agak terkejut karena sebelumnya Naya tidak memberitahukan secara detil asal-usul Shaka.
"Oh ya? Itu lebih bagus lagi, Sayang. Biarkan Shaka hidup bersama papa sambungnya yang dulu saja. Karena Shaka lebih merasa nyaman, bukan? Apalagi Dikara memiliki segalanya. Jadi kamu tidak perlu khawatir, Dikara pasti akan menerima Shaka kembali karena ketulusan cinta dan kasih sayangnya yang begitu besar. Percayalah, walaupun kita tidak memberikan Shaka uang buat hidupnya, Dikara pasti akan memberikan yang terbaik buat Shaka. Kamu tenang saja ya!"
Naya kembali menggelengkan kepalanya tanda tidak sependapat dengan pemikiran suaminya yang egois.
"Kalau kamu mau menerima Shaka dengan ikhlas, aku rasa Shaka pun akan merasa nyaman tinggal di sini karena memiliki papi yang tulus menerimanya..."
"Tidak bisa Sayang. Aku tidak perlu mengulangi alasan mengapa aku tidak mau menerima Shaka sebagai anak sambungku. Aku rasa kamu sudah jelas memahaminya."
"Mas!" Naya merasa geram dengan keegoisan suaminya.
"Sudahlah aku capek berdebat masalah Shaka. Aku harap Shaka bisa keluar dari rumah ini secepatnya. Dan ingat aku sudah promosikan kalau kita membutuhkan beberapa orang asisten rumah tangga pengganti bi Irah. Biar bi Irah lebih fokus menjaga Shaka tapi bukan di rumah ini. Biarkan mereka kembali ke Jakarta. Walaupun tidak dikembalikan pada Dikara, aku rasa Shaka akan bahagia bersama bi Irah."
Naya tergugu, bingung harus mengatakan apa. Air matanya mengalir kembali bersama rasa sakit hati mendengar ucapan suaminya yang tidak sesuai harapan. Dia terpekur mengingat masa lalunya bersama Dikara. Keegoisannya yang tidak patuh terhadap suami berimbas besar dalam kehidupannya hari ini. Haruskah pernikahannya ini kandas di tengah perjalanan?
"Tidak. Aku harus bertahan. Aku tidak mau mendapat cibiran dari masyarakat terutama keluargaku karena aku salah memilih suami. Aku ingin menunjukkan kepada mereka kalau aku bahagia bersama Juan walaupun harus sakit hati. Biar penderitaan ini kutanggung sendiri."
Naya memejamkan matanya lalu menatap punggung suaminya yang membuka pintu menuju ruang kerjanya.
xxxx
xxxx
Keesokan harinya di ruang keluarga mereka dikumpulkan.
Ehem...
Suara deheman Juan memecah keheningan di dalam ruangan tersebut.
Shaka selalu tersenyum bahagia, seperti tidak ada beban dalam hidupnya.
Sementara Naya merasa resah gelisah dengan informasi yang akan Juan berikan. Seraya mengusap punggung Shaka dengan lembut. Berharap keajaiban datang untuk membatalkan keputusan Juan meminta bi Irah membawa Shaka pergi dari rumah.
"Gimana Shaka beneran mau bertemu dan tinggal bersama papa Dikara?" tanya Juan langsung pada Shaka yang selalu menunjukkan wajah ceria.
"Ya tentu saja, Pi. Di sini sepi, tidak ada teman bermain. Kalau di sana, Shaka sering di ajak ke taman bermain sama Papa. Papa juga ngebolehin ngajak teman main ke rumah. Pokoknya tidak kesepian Pi," ujarnya polos.
"Memangnya Mamamu tidak pernah mengajakmu bermain?"
"Pernah. Tapi tidak sering kayak Papa. Mama sejak kerja lebih sibuk dengan pekerjaannya. Tahu engga Pi? aku bisa masak telor mata sapi itu diajarin sama papa bukan sama Mama. Mama sih banyak larangan. Engga boleh masak karena aku masih bocil waktu itu. Kalau papa orangnya asik. Apa juga boleh dicobain," kenang Shaka mengalir apa adanya.
Juan mengangguk-angguk dan dia bisa mengambil kesimpulan bahwa kedekatan Naya dengan anaknya memang sangat minim sekali.
"Anakku kelak tidak boleh bernasib seperti Shaka, paham!" bisik Juan tepat di telinga kiri Naya.
Naya bergeming. Ia tidak bisa menyalahkan Shaka begitu saja yang telah membuka keburukannya di hadapan Juan. Dia menyadari kesalahan fatal yang pernah ia alami selama ini. Shaka begitu polos dan jujur.
"Bi Irah..."
"Iya Tuan."
"Aku tahu bi Irah begitu dekat dengan Shaka."
Bi Irah mengangguk pelan namun ia belum bisa menangkap maksud dan tujuan majikannya itu memanggilnya di ruang keluarga.
"Jadi begini bi Irah. Karena Shaka ini pengagum berat papa Dikara, jadi aku minta bi Irah mau mengantarkannya ke rumah papa Dikara..."
"Mas!" potong Naya tidak terima dengan keputusan Juan.
"Kenapa?" Juan melotot. Dia tidak ingin keputusannya dibantah oleh siapa pun.
"Biar aku saja yang mengantarnya," ujarnya lirih.
"Tidak perlu. Kamu tetap di sini. Bukankah pekerjaanmu lebih penting dari segalanya?"
"Tidak Mas. Itu dulu. Besok aku akan cuti beberapa hari demi Shaka."
Naya menatap Shaka dengan rasa bersalah. Ia akan menguatkan dirinya dari cibiran orang-orang yang akan ia temui nanti.
"Oh ya? Coba saja kalau bisa. Yang aku tahu perusahaan tempatmu bekerja tidak boleh ada yang izin. Aturannya disiplin banget, super ketat. Gajinya saja besar. Jadi kamu tinggal memilih. Pekerjaanmu atau mengantar anakmu? Pilihan yang sulit bukan?"
Naya terdiam. Memang benar itu semua pilihan yang sulit, manakala harus dibenturkan dengan karirnya yang sedang mencuat. Naya tidak ingin kehilangan keduanya, sehingga sangat dilema jika ia harus memilih antara anak atau karir.
Juan lantas melanjutkan ucapannya yang belum selesai, "Bi Irah, Sebelum bertemu dengan pak Dikara, aku mohon Shaka tinggal bersama bi Irah di Jakarta. Sekaligus aku harus menghentikan pekerjaan bi Irah di sini untuk selamanya. Bi Irah jangan khawatir, aku transfer 100 juta untuk bekal bi Irah membawa Shaka dari rumah ini. Tolong rawat Shaka dengan baik sebelum bertemu pak Dikara. Bi Irah paham!" Perintah Juan membuat bi Irah bergeming lalu menatap Shaka dengan sendu.
"Baik Tuan. Saya rasa memang Non Shaka tidak tepat berada di rumah ini. Saya dengan senang hati bisa membawa Non Shaka dari rumah ini walaupun sebenarnya saya mengharapkan ada respon dari Nyonya untuk mencegah Non Shaka pergi dari sini," Bi Irah menunduk tidak berani menatap Naya yang menatapnya dengan tajam.
"Aku rasa Nyonya Naya tidak keberatan Shaka pergi, bukan begitu Sayang?" tanya Juan melirik istrinya yang hanya menunduk pasrah.
Bi Irah masih menantikan jawaban dari Naya. Walau bagaimana pun, Naya adalah ibu kandungnya, yang tidak mungkin akan memberikan anaknya begitu saja pada orang lain. Bi Irah hanya berharap Naya yang pemberani pada suami itu bisa terlihat lagi sekarang. Namun ternyata...