NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:54.4k
Nilai: 4.9
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Rapat yang tegang

Cahaya pagi menelusup melalui kaca patri tinggi, menumpahkan warna-warna hangat ke lantai batu dan meja kayu tua di ruang kerja eksperimen. Bejana tembaga tua bergolak perlahan di atas bara arang. Uap tipis mengepul, membawa aroma getir dari akar kering dan resin yang dilarutkan dalam air suling.

Suasana sunyi, hanya diisi suara gemericik ramuan dan gesekan bulu pena di atas perkamen.

Tabib Alana mencondongkan tubuh, matanya tajam memperhatikan perubahan warna cairan ungu-keperakan dalam tabung kaca ramping. Di sebelahnya, Vanessa—yang kini mengenakan apron dari kain lenan kusam di atas gaun istananya—sedang menghitung jumlah tetes ekstrak leiryn yang baru ditambahkan.

“Warnanya stabil…,” bisik Alana pelan. “Tidak menggumpal. Tidak menghitam.”

Vanessa mengangguk, mencatat. “Ini dosis ke-9. Tujuh sebelumnya berakhir dengan reaksi toksik. Tapi kali ini… komposisinya mendekati sempurna.”

Mereka saling bertatapan. Untuk sesaat, senyum tipis muncul di wajah keduanya—bukan euforia, tapi harapan.

“Lady Mirelda benar. Ramuan ini punya potensi, tapi terlalu mentah,” ujar Vanessa. “Kita harus menyesuaikan pH alami akar purnama dengan resin leiryn. Dan… mengimbangi reaksi senyawa pengikatnya dengan getah asphodel.”

Alana mengerutkan kening. “Asphodel bisa memicu demam tinggi jika kadarnya salah.”

“Tapi juga bisa menstabilkan senyawa pembawa,” balas Vanessa tenang. “Aku sudah mengujinya kemarin malam.”

Alana terdiam sejenak, lalu mengangguk pelan.

Lucien masuk beberapa saat kemudian, membawa nampan kecil berisi segelas cairan bening dan kertas laporan.

“Dua kelinci yang diuji semalam menunjukkan suhu stabil dan nafsu makan kembali normal dalam dua jam. Tidak ada kejang, tidak ada pendarahan organik.”

Tabib Alana menoleh cepat. “Berarti… ini bisa masuk tahap awal uji manusia?”

Vanessa tidak langsung menjawab. Matanya menatap cairan ungu-keperakan dalam botol kristal itu, lalu berpindah ke catatan pengamatan yang tergeletak di meja. Tangannya meremas ringan lengan baju, seperti sedang menimbang antara keyakinan dan bahaya.

“Belum di sini,” ucapnya akhirnya, suara itu terdengar pelan tapi tegas. “Kita belum bisa mengujinya di istana. Belum… sampai ramuan ini terbukti tidak hanya stabil, tapi juga menyelamatkan.”

Alana mengerutkan kening. “Lalu… di mana?”

Vanessa menarik napas dalam-dalam.

“Desa Rousanne,” katanya lirih. “Ada laporan tentang wabah demam berat di sana—serupa dengan gejala yang kita teliti. Mereka kekurangan tabib, dan sebagian besar pasien hanya dirawat dengan air rebusan daun sirah.”

Lucien mengangkat wajahnya, tercengang. “Anda ingin ke desa itu sendiri?”

Vanessa mengangguk. “Kita akan membawa ramuan ini ke sana. Hanya satu dosis. Hanya untuk satu pasien. Kita amati reaksinya, secara langsung.”

Tabib Alana tampak ragu. “Tapi bagaimana dengan protokol kerajaan? Ini akan dianggap sebagai tindakan di luar wewenang…”

“Dan justru karena itu kita harus melakukannya diam-diam,” potong Vanessa lembut. “Jika ramuan ini gagal, maka tak ada satu pun bangsawan yang akan mencatatnya. Tapi jika berhasil… kita tak hanya punya bukti, kita punya harapan nyata.”

Lucien menunduk, sejenak tak berkata-kata. Ia tahu betul konsekuensi dari seorang permaisuri yang menyusup keluar istana, apalagi untuk uji medis yang belum diakui.

“Saya akan siapkan kuda dan penyamaran,” ujarnya akhirnya. “Tapi kita hanya punya satu malam sebelum penjaga distrik mencium sesuatu yang janggal.”

Vanessa mengangguk mantap, lalu menoleh pada Tabib Alana.

“Kau ikut, atau tidak?”

Alana menatapnya beberapa detik… lalu menarik tali apron-nya dan menggulung lengan bajunya.

“Saya akan membawa peralatan pengukur. Dan beberapa ramuan penawar, kalau-kalau dosisnya terlalu kuat, yang Mulia.”

Mata Vanessa melunak.

“Terima kasih.”

Dan ketika mereka mulai mengemasi botol kristal kecil itu ke dalam kotak kulit berlapis kain wol, tak satu pun dari mereka tahu—bahwa seseorang di balik dinding, telah mengetahui rencana ini. Dan informasi itu, akan sampai ke tangan yang salah.

——

Langit mendung menggantung rendah di atas menara istana, dan cahaya abu-abu yang menembus jendela kaca patri besar memberi kesan muram pada ruang sidang agung. Di tengah meja melingkar dari kayu hitam, Kaisar Maxime duduk dengan bahu tegak dan wajah tak tergoyahkan, mengenakan jubah kerajaan berhias bordir singa bersayap emas—lambang kebesaran Aragon.

Di sekelilingnya, para anggota dewan berkumpul. Ada Tuan Verdan dari distrik timur, Lady Milcette dari utara, Kanselir Guaire yang tua dan nyaris tak tersenyum, serta beberapa bangsawan berpakaian mencolok yang lebih sibuk menatap satu sama lain ketimbang menyimak isi rapat.

Guaire membuka suara terlebih dahulu, suaranya rendah namun menggema.

“Yang Mulia, laporan dari distrik selatan menyebutkan ketegangan antara rakyat dan para pemungut pajak. Mereka mulai mempertanyakan kredibilitas istana… terutama saat kerajaan belum juga menunjukkan tanda-tanda lahirnya pewaris takhta.”

Keheningan jatuh sejenak. Lalu satu per satu, beberapa bangsawan mengangguk pelan, seolah sekadar mengamini tanpa menyatakan pendapat pribadi.

Tuan Verdan menambahkan, dengan nada pura-pura bijak,

“Tentu, kami semua tahu betapa mulianya sang permaisuri. Namun… telah lima tahun berlalu sejak pernikahan. Beberapa penasihat kesehatan kerajaan bahkan—secara pribadi—mulai mempertimbangkan kemungkinan adanya kendala biologis.”

Beberapa tangan yang menyentuh cawan mulai mengetuk pelan, tanda ketegangan memuncak.

“Dan dengan segala kerendahan hati kami,” lanjutnya hati-hati, “Rakyat Aragon memerlukan jaminan kesinambungan darah kerajaan. Kiranya… Yang Mulia mempertimbangkan untuk mengangkat—”

“Selir?” potong Maxime tajam, suaranya membelah ruangan seperti pisau.

Tak ada yang langsung menjawab. Beberapa wajah pucat. Beberapa mencoba menyembunyikan senyum licik.

Maxime berdiri perlahan dari kursinya. Matanya menyapu seluruh ruangan.

“Menarik,” ucapnya dingin. “Kalian duduk di sini, mengaku memikirkan kestabilan kerajaan, namun yang kalian perdebatkan… adalah ranjang tidurku.”

Guaire membuka mulut, mencoba meredakan suasana.

“Yang Mulia, kami hanya mengkhawatirkan masa depan—”

“Masa depan?” Maxime menyela, matanya menatap lurus. “Kalian khawatir pada masa depan kerajaan, tapi apa yang kalian lakukan saat sekarang dibiarkan membusuk? Berapa banyak pengaduan dari rakyat tentang panen yang gagal akibat pupuk yang dicurangi? Atau proyek jembatan distrik Belleroux yang menghabiskan tiga kali lipat anggaran—dan tidak pernah selesai?”

Suasana menegang. Beberapa dewan saling pandang, pucat.

“Aku mendengar laporan. Aku tahu siapa yang menyelewengkan dana, siapa yang mengancam pedagang untuk keuntungan pribadi, siapa yang menjual obat palsu ke desa-desa hanya demi mengisi kantong mereka sendiri. Tapi kalian duduk di sini, dengan mulut yang sibuk meragukan istriku—perempuan yang bahkan kalian tak cukup layak untuk sebut namanya.”

Suara Maxime kini naik satu oktaf.

“Ratu kalian adalah perempuan paling cerdas dan paling tabah yang pernah duduk di sisi seorang Kaisar. Dan bila Tuhan belum mengizinkan kami memiliki keturunan, itu bukan urusan kalian—dan bukan alasan untuk mengusulkan wanita lain ke istana seperti barang dagangan.”

Tangan Maxime mengepal di atas meja, nadanya tajam tapi tak kehilangan kendali.

Suasana ruang sidang masih mencekam ketika seorang bangsawan tua berdiri perlahan—Tuan Roderic dari Distrik Eiderhall. Wajahnya keriput namun licik, matanya menyipit tajam ke arah Kaisar, dan suaranya terdengar seperti orang yang merasa dirinya “cukup tua untuk tak perlu takut lagi”.

“Kami semua menghormati keberanian Yang Mulia dalam membela permaisuri…” katanya perlahan, sengaja menyusun kata. “Tapi mohon izinkan saya berbicara tanpa selubung.”

Maxime menatap lurus. “Bicara, jika kau sanggup menanggung akibatnya.”

Roderic tersenyum tipis. “Bukan maksud kami mencampuri ranjang istana. Tapi tak bisa dimungkiri—dulu, saat Ratu Vivienne baru dinobatkan, ia kerap bersikap kasar terhadap pelayan, bahkan pernah membuat salah satu di antaranya melompat dari balkon dapur karena ketakutan.”

Beberapa bangsawan lain tampak pura-pura terkejut, seolah mereka tak tahu.

Roderic melanjutkan, nada suaranya semakin berani.

“Belum lagi laporan bahwa ia sering mengabaikan surat-surat kenegaraan selama berbulan-bulan, dan menyibukkan diri dengan perhiasan serta pesta malam. Itulah yang membuat sebagian dari kami… sangsi.”

Ia memberi jeda, seolah ingin semua orang mencernanya. Lalu kalimat berikutnya meluncur, licin namun mematikan.

“Lagipula, banyak dari kami memperhatikan betapa seringnya Yang Mulia terlihat bersama seorang pelayan cantik—Selene, kalau tak salah namanya. Ramah, lembut, dan cantik. Mungkin, jika takdir mengizinkan, garis darah Aragon bisa diteruskan… melalui wanita yang meski sederhana, terbukti mampu mencuri perhatian Anda, Yang Mulia.”

Ruangan membeku. Bahkan suara nafas pun terdengar terlalu keras.

Maxime tak menjawab seketika. Ia menatap Roderic lama… sangat lama, sampai pria tua itu mulai goyah berdiri. Tapi ketika akhirnya Maxime berbicara, suaranya bukan teriakan. Justru sebaliknya—dingin, tenang, dan jauh lebih menakutkan.

“Kau bicara seolah tahu isi hatiku… padahal bahkan hatimu sendiri penuh dengan kebusukan.”

Roderic mencoba membalas, namun Maxime mengangkat tangannya—dan ruangan kembali sunyi.

“Perempuan yang kucintai bukan malaikat. Ia pernah berbuat salah, sama seperti kita semua. Tapi ia tidak pernah berkhianat.”

“Dan jika kau mengira aku akan menyerahkan takhtaku kepada siapapun hanya karena ia cantik dan pandai merayu, maka kau lebih bodoh dari kelihatannya.”

Beberapa anggota dewan menunduk. Roderic mulai pucat, tapi Maxime belum selesai.

“Satu hal lagi…” katanya perlahan. “Kau sebutkan nama pelayan itu satu kali lagi… dan aku bersumpah, gelar ‘Tuan’ akan dicabut dari namamu sebelum kau sempat meninggalkan ruang ini.”

Ia melangkah satu langkah maju, kedua tangannya masih berada di belakang punggung, tatapan tajam bagaikan pedang.

“Ratu Vivienne bukan sekadar permaisuri. Ia adalah penjaga martabat takhta ini. Dan siapa pun yang berani menyebutnya tidak layak… berarti menganggapku tidak layak pula sebagai suaminya.”

Ia menyapu seluruh meja dewan dengan tatapan dingin.

“Kalau itu yang kalian pikirkan, maka barangkali kalian harus mulai mempertanyakan siapa yang seharusnya duduk di ruangan ini… dan siapa yang pantas dikeluarkan.”

Beberapa anggota dewan menahan napas. Roderic berdiri kaku seperti patung batu, tak lagi berani membuka mulut. Tapi Maxime belum selesai. Justru kini, nada suaranya merendah—dan karenanya, semakin mematikan.

“Tiga minggu lalu, kau menandatangani izin pengalihan pasokan gandum untuk distrik Eiderhall… ke tangan perusahaan dagang milik cucumu—yang bahkan belum terdaftar secara resmi di dewan perniagaan.”

Bisik-bisik kecil mulai terdengar. Roderic membuka mulut, tapi Maxime mengangkat tangan lagi—dan semua kembali diam.

“Enam minggu sebelum itu, kau memecat tabib distrik karena menolak mengganti isi peti obat untuk tentara dengan bubuk kapur dan teh tua. Dan ketika anak seorang penjaga mati karena luka infeksi yang tak diobati dengan benar… kau tutupi laporan otopsinya dengan emas.”

Maxime melangkah pelan, mengitari meja, suara sepatunya menyentak lantai batu marmer.

“Kau bicara soal garis keturunan, Tuan Roderic, tapi bahkan keluargamu sendiri mulai menjual nama Eiderhall untuk menikah dengan saudagar dari luar kerajaan. Demi tanah. Demi emas.”

Ia berhenti tepat di samping kursi Roderic. Menunduk sedikit, suaranya begitu rendah—hanya cukup untuk didengar seluruh ruangan.

“Dan sekarang kau ingin memberiku nasihat tentang kesetiaan, kehormatan, dan siapa yang pantas berada di sisi seorang Kaisar?”

Roderic mulai gemetar.

Maxime mengangkat tubuhnya perlahan.

“Kau tidak berdiri di ruangan ini karena kehormatan. Kau berdiri karena kelalaianku yang terlalu lama membiarkan ular hidup di taman istana.”

Ia kembali ke posisi semula, lalu menatap seluruh dewan sekali lagi.

“Mulai hari ini, setiap tindakan dan kekayaan para anggota dewan akan diaudit ulang. Surat keputusan akan ditandatangani sebelum matahari terbenam.”

Beberapa bangsawan menegang. Lady Milcette bahkan tampak hampir pingsan.

Maxime merapikan kembali manset bajunya, lalu berkata tenang:

“Jika kalian takut… maka mulailah jujur. Jika kalian bersih… maka kalian tak akan gentar.”

Ia berbalik, berjalan menuju pintu besar berlapis logam di ujung ruangan. Namun sebelum keluar, ia berhenti dan menoleh sekali lagi.

“Oh, dan Tuan Roderic…”

“Pecat semua pelayanmu sebelum malam. Aku tak ingin ada satu pun dari mereka yang membawa surat ancaman lagi kepada permaisuriku.”

Pintu terbuka. Maxime melangkah keluar tanpa menoleh.

Dan untuk beberapa detik yang menggantung lama, tak ada suara apa pun. Hanya napas berat dan wajah-wajah pucat… menyadari, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka tak hanya duduk di hadapan seorang Kaisar—

Mereka berdiri di bawah bayang-bayang amarahnya.

——

Roderic menghentakkan pintu hingga hampir lepas dari engselnya. Wajahnya merah padam, urat di leher menegang.

“Kau. Menyuruhku mengatakannya di hadapan Maxime,” geram Roderic, suaranya serak menahan amarah. “Kau meyakinkanku—bahwa itu akan menggoyahkan pikirannya. Bahwa menyebut soal keturunan dan pelayan kesayangan-nya akan membuat dia goyah!”

Selene tidak bergeming.

“Dan bukankah kau sendiri yang lemah? Gentar hanya karena tatapan mata seorang lelaki?”

“Lelaki?” Roderic menyeringai miris. “Dia bukan lelaki biasa! Dia Kaisar! Dan kau menjebakku seolah aku ini pion yang bisa dibakar demi ambisimu!”

Ia menghantam meja kayu di sampingnya, cangkir perak jatuh pecah.

“Seluruh dewan menatapku seperti tikus busuk! Reputasiku hancur! Aku dipermalukan karena mengikuti rencana-mu!”

Selene melangkah maju, mendekatinya perlahan, seperti ular mendekati mangsanya.

“Rencana kita,” bisiknya. “Kau tidak menolaknya saat aku menyusunnya. Kau bahkan bersedia… menyentuhku, menyentuh tubuh ini malam demi malam, bersama teman-temanmu yang menjijikkan—karena kau pikir kau sedang menaklukkan istana.”

Sorot mata Selene berubah tajam.

“Kau pikir aku melakukan semua itu karena aku menikmati? Tidak. Itu bagian dari rencana. Tubuhku… adalah bagian dari taruhan.”

“Dan sekarang taruhan itu kalah,” katanya datar, “karena kau pengecut .”

Roderic menggertakkan gigi.

“Kau perempuan murahan.”

“Mungkin,” Selene menyeringai. “Tapi bahkan seorang perempuan murahan lebih cerdas darimu.”

Ia mendekat lebih lagi, hingga suaranya berubah menjadi bisikan penuh racun di telinga Roderic.

“Kalau kau pikir harga diri laki-laki sepertimu cukup mahal untuk dijual demi rahasia kerajaan, maka biar kuingatkan… aku punya catatan. Surat. Nama. Wajah. Semuanya.”

Roderic mundur satu langkah, rahangnya mengeras.

“Kau mengancamku?”

“Tidak,” Selene membalikkan badan perlahan, berjalan ke arah pintu. “Aku mengingatkanmu. Kita belum selesai.”

Tapi belum sempat ia menyentuh gagang pintu—

Suara dalam dan berat memotong keheningan ruangan:

“Justru karena kalian belum selesai… aku datang.”

Klik.

Suara langkah masuk perlahan dari lorong batu di belakang. Seorang pria berjubah hitam panjang, tanpa lambang, wajahnya teduh namun suram, berdiri di ambang pintu. Rambutnya panjang dan keperakan, mata tajam berwarna gelap nyaris hitam, dengan aura dingin yang tak bisa dijelaskan dengan logika biasa.

Dialah Lord Haldegar Cendervale.

Tak ada suara saat ia melangkah masuk, hanya tekanan atmosfer yang perlahan menyesakkan ruangan.

Selene dan Roderic membeku.

“Kalian bertengkar… karena satu rencana gagal?” tanyanya datar, nyaris tanpa emosi. “Seperti anak-anak yang saling menyalahkan setelah membakar mainan mereka sendiri.”

Ia berhenti di tengah ruangan, memandangi mereka berdua. Tatapannya ke Selene seperti pisau yang sedang mengiris pelan, dan ke Roderic—seolah ia sudah tahu berapa lama pria itu akan hidup.

“Kaisar mengamuk. Ratu tetap hidup. Dan kalian pikir… kemarahan bisa menggantikan kendali?”

Roderic mencoba bicara.

“Tuan Cendervale, saya hanya—”

“Diam.”

Satu kata. Tapi cukup untuk membuat leher Roderic menegang seperti dicekik dari dalam.

Lord Haldegar melanjutkan, tenang namun penuh ancaman:

“Kita tak sedang bermain politik istana. Kita sedang menulis ulang struktur dunia. Dan jika kalian gagal memahami peran kalian… maka kalian akan digantikan.”

Ia menatap Selene.

“Kau terlalu cepat. Terlalu percaya diri. Dan terlalu bernafsu ingin menjatuhkan ratu, padahal kau bahkan belum bisa membuat rakyat membencinya.”

Selene menggigit bibir, matanya bergetar menahan rasa dipermalukan.

“Tapi aku punya renc—”

“Rencana yang lemah tidak menarik minatku,” potong Haldegar, masih tanpa emosi. “Yang menarik… adalah pemanfaatan kehancuran.”

Ia berbalik perlahan, jubahnya berdesir ringan. Lalu ia berbicara sekali lagi, tanpa menoleh:

“Fokuskan kekacauan pada distrik medis. Bangkitkan kemarahan rakyat atas perempuan yang bermain dengan obat-obatan berbahaya. Bukan karena dia jahat… tapi karena dia sok tahu.”

“Dan saat dia tergelincir di mata rakyat… singgasana akan mulai retak dari dalam.”

Ia berjalan menuju pintu. Tapi sebelum keluar, ia berkata tanpa menoleh:

“Ratu adalah simbol. Dan simbol… hanya perlu satu tusukan untuk roboh. Pastikan tusukan itu datang dari dalam tubuhnya sendiri.”

Klik.

Pintu tertutup. Dingin. Hening. Dan meninggalkan dua sosok yang sadar… mereka hanya bidak kecil dalam permainan yang jauh lebih tua dari kekuasaan Maxime sendiri.

1
Ester Natalia
ok tetap semangat ratu
Vlink Bataragunadi 👑
sakit hati bgttt jadi Vivi/Sob/
Ita Xiaomi
Jd sedih😢
Wiliam Zero
Novelnya bagus 👍
Ita Xiaomi
Seandainya Theo tau klo Vivienne telah tiada.
Suryani Tohir
up
Ita Xiaomi
Hati-hati patah loh batang gelasnya😁.
Dewi hartika
thor jangan sampai kaisar terjatuh perangkap helena,moga ada yang menggambarkan kepada Vanessa bahwa raja tidak baik-baik saja,agar cepat di obati,panessa cepat di hukum lanjut thor semangat...
Qori Hasan
waduh.. ngeri ngeri sedap.. smoga... catatan smua tetsimpan di otak saja
Suryani Tohir
next
Suryani Tohir
up
Era Simatupang
ayo thor buat Maxim cemburu guling2 , loncat2 sampai bengek
nacho hong
cinta luar bisa
Era Simatupang
AQ sulit mencerna nya " peluang datang dari kebodohan"
nacho hong
ok
Ivo shaka
alurnya menarik dan membuat penasaran, sehingga tidak bisa berhenti membaca.
luar biasa
neen
ih gemes sama selene.. semoga max dan vivi bisa menghadapi bersama
Siti Amalia
kerennnnnnn bangettt novelnya thorrr....up yg banyak thor semoga happy ending
MiaCoxk
Menarik.. penuh intrik.
semangat Thor.. up selanjutnya kami tunggu 😊❤️
syh 03
ceritanya bagus apa lg cara nulisnya dan kata2nya halus banget..enak di cerna 🥰
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!