PENGORBANAN Mantan NARAPIDANA

Kabut kesedihan masih menaungi para penghuni rumah keluarga Wibisono. Sang nyonya, sejak pagi tadi mengurung diri dikamar putri sulungnya.

Sang adik, hari ini mengajukan izin kerja karena terus dihantui rasa bersalah kepada sang kakak. Andai ia kemaren tidak melampiaskan kemarahannya, andai kemarin dia tidak memaksa kakaknya berjanji, pasti sang kakak tidak akan melakukan hal nekat.

Ya, Umbra mengira jika kakaknya sengaja melakukan itu agar dirinya bisa menikah dengan Abian. Mungkin sang kakak mengira jika akan dinikahkan dengan Vinder kalau digrebek, tapi diluar perkiraan justru malah dibuang oleh sang ayah.

Sementara Hendarto, pria keras hati, keras kepala, tegas tapi otoriter, namun nyatanya pria paruhbaya itu jauh lebih sedih. Tampilan luarnya yang terkesan tak perduli, wajah tegas tanpa ekspresi, semua itu hanyalah topeng semata.

Sungguh, Hendarto amat menyesali akan ucapannya kepada sang putri yang sangat ia sayangi. Satu tampar itu, berhasil memberikan rasa yang teramat sakit dihatinya.

Tapi lagi-lagi, keegoisan yang bercampur kekecewaan, tidak akan membuat pria paruhbaya itu meminta putrinya kembali. Apa yang sudah terucap, tak bisa lagi untuk diubah.

Apalagi jika mengingat Vinder, pemuda yang sangat ia benci. Pemuda yang tidak layak menjadi bagian keluarga ningratnya.

Tok tok tok

"Assalamualaikum...!"

Suara itu didengar oleh tiga orang yang berada diruangan berbeda,

Ibu yang beranjak lebih dulu, membuka pintu setelah sebelumnya merapikan penampilannya yang kacau.

"Wa'alaikumsalam."

"Ibu....!" panggil sopan sang calon menantu mencium tangan wanita paruhbaya itu.

"Abian, ayo masuk."

Setelah pemuda itu masuk dan duduk diruang tamu, Umbra muncul berbarengan dengan Hendarto. Duduk bersama dalam suasana yang amat berbeda dari biasanya.

"Pernikahan kalian bisa secepatnya digelar, beritahu orangtuamu Abian. Minta mereka datang kesini untuk mencari hari baik." ucap Hendarto.

"Ayah....!" seru ibu dan juga Umbra.

"Ayah, ini memang kabar yang paling Abian tunggu. Tapi, gimana dengan kakak...? Abian yakin kak Lada tidak mungkin melakukan hal serendah itu."

"Jangan membicarakan orang yang sudah mati, sekarang yang terpenting soal pernikahan kalian." jawab ayah.

Abian menelan ludahnya sembari melihat ibu dan Umbra yang kembali meneteskan airmata. Helaan nafas berat diciptakan Abian, pria itu tidak bisa lagi mengeluarkan kata. Membantah apalagi berdebat dengan sang calon mertua, tentu ia tidak berani.

"Baik lah, lusa Abian akan membawa keluarga kesini yah...!"

"Ya, lebih cepat lebih bagus." jawab ayah bangkit berdiri.

Setelah berjalan tiga langkah, dengan membelakangi ketiga lawan bicaranya, Hendarto berkata "berduka itu boleh saja, tapi jangan berlarut-larut. Cukup hari ini, besok tidak boleh ada lagi yang menangisi orang itu."

Pungkas Hendarto kembali melangkah masuk kedalam kamarnya bersama sang istri.

Tangis ibu dan Umbra kembali pecah. Dengan susah payah Abian menenangkan kedua wanita berbeda usia itu. Tapi sebanyak apapun kata penenang ia ucapkan, sebanyak itu juga airmata yang mereka keluarkan.

Kini diruang tamu hanya ada Umbra dan Abian, karena ibu kembali kekamar sang putri sulung.

"Maafin aku, ini semua terjadi karena aku. Kalau aku tidak mendesak pernikahan dipercepat, Lada masih bersama kita." ucap Abian menatap sendu wajah sembab calon istrinya.

Umbra menggeleng cepat "aku yang salah, kemaren aku marah-marah sama kakak, bahkan aku sampe mengancam mau pergi dari rumah. Kakak janji mau melakukan sesuatu agar kita bisa menikah secepatnya, dan ternyata ini yang dilakukan."

Rinai hujan airmata yang sudah mereda itu kembali deras.

"Besok kita temui kakak, jangan biarkan dia merasa sendiri. Tadi aku coba hubungi nomornya tapi tidak aktif" kata Abian.

Umbra mengangguk "pulang kantor ya...? aku tidak mungkin izin untuk tidak berkerja lagi."

"Iya, aku juga ada jadwal operasi jam sepuluh pagi. Sudah pada makan belum...?" tanya Abian yang dijawab belum oleh Umbra.

Abian langsung membuka layanan gofood untuk memesan makanan. Pria itu juga menyuruh Umbra agar membersihkan diri dan gadis itu pun patuh.

Satu jam kemudian, mereka berempat sudah berkumpul kembali diruang makan. Dengan susah payah mereka menelan makanan yang masuk kedalam mulut.

Tidak ada rasa disana, selain kesedihan, penyesalan bercampur kekecewan dan cemas akan keadaan Lada Anjani Wibisono.