NovelToon NovelToon
Dinikahi Nenek 60 Tahun

Dinikahi Nenek 60 Tahun

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Sablah

Hidup Danu berubah total ketika ia menemukan sebuah amplop misterius di depan pintu kosnya. Di dalamnya, terselip sepucuk surat dengan kertas usang dan bau kayu basah yang aneh.
“Untuk Danu Setyawan. Baca saat sendirian.“
Awalnya Danu mengira surat itu hanyalah lelucon dari dosen atau senior iseng. Tapi rasa penasaran mengalahkan logikanya. Sampai ia benar-benar membaca isinya…
“Kepada Danu,
Aku tahu ini terdengar aneh, tapi kamu telah menjadi suamiku secara sah sejak 7 hari yang lalu.
Aku, Nyai Laras, menyerahkan seluruh harta dan rumahku kepadamu, sebagaimana tertulis dalam surat wasiat ini.
Datanglah ke Desa Pagarjati dan tinggallah bersamaku, sebagaimana janji yang pernah kamu buat,
meski kamu mungkin tidak mengingatnya.
Hormatku,
Nyai Laras.“
***

Lalu, siapakah sebenarnya Nyai Laras? Apakah Danu hanya korban lelucon terencana? Atau justru kebenaran mengarah ke sesuatu yang jauh lebih mengerikan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sablah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

pertemuan kedua

Malam turun perlahan, membawa hawa dingin yang menggigit. Langit bersih tanpa awan, hanya dihiasi ribuan bintang yang tampak lebih terang dari biasanya. Suara serangga malam dan desir angin menari di antara pohon-pohon tinggi yang seolah membentuk dinding alami di sekitar perkemahan.

Nadia duduk di dekat api unggun bersama Ayu, Shafa, Nabila, dan Rani. Mereka mengenakan jaket tipis, sesekali meniup tangan mereka yang mulai dingin.

Tak lama kemudian, suara peluit dibunyikan. Tanda bahwa kegiatan malam akan segera dimulai. Semua peserta dikumpulkan di lapangan tengah untuk acara evaluasi, api unggun, dan permainan ringan.

Namun, tepat ketika acara akan dimulai, angin mendadak berembus lebih kencang. Lampu-lampu petromax yang digantung di tiang bergoyang-goyang, dan satu di antaranya bahkan padam seketika. Kakak pembina panik sesaat, tapi cepat menenangkan peserta.

"Tenang, tenang. Hanya angin. Kita lanjut acaranya ya!"

Setelah beberapa peserta mulai tenang, acara malam pun dilanjutkan. Kakak pembina menyuruh semua peserta membentuk setengah lingkaran mengelilingi api unggun yang sudah mulai meredup.

"Selanjutnya," seru salah satu pembina, "kita akan masuk ke kegiatan Cooking Challenge!"

Sorak-sorai langsung terdengar. Anak-anak tampak antusias. Beberapa bahkan sudah menebak-nebak tantangannya.

"Jadi kalian akan dibagi per kelompok. Tiap kelompok harus masak menu sederhana dari bahan yang sudah disediakan. Nanti akan dinilai dari rasa, kreativitas, dan kekompakan. Tapi ingat, semua harus dilakukan dengan kerja sama!"

Nadia dan teman-temannya masuk dalam kelompok yang sama. Mereka saling lirik, senyum-senyum senang.

Setelah pembagian bahan masakan selesai, para peserta mulai menyusun rencana. Tak ada kompor gas atau dapur lengkap. Hanya alat-alat sederhana dan api dari tungku kecil berbahan bakar kayu.

"Wah... jadi kita harus bikin apinya sendiri?" gumam Ayu sambil menatap potongan kayu dan batu bata yang ditumpuk.

"Iya dong, ini namanya challenge, bukan dapur masterchef," celetuk Rani sambil menertawakan ekspresi teman-temannya.

Shafa mulai meracik bumbu, Nabila menyusun bahan sayuran, dan Nadia mendapat tugas penting yaitu mengambil air bersih di sumber air kecil yang tak jauh dari area perkemahan.

"Kalau nggak salah sih arahnya ke belakang tenda pembina. Dikasih tanda pakai tali kuning tadi," jelas salah satu panitia sebelum menyerahkan wadah air pada Nadia.

"Siap, Kak. aku akan ke sana" ucap Nadia sambil melangkah santai, membawa dua jerigen kecil.

Meski langit sudah gelap, Nadia tak merasa takut. Ia justru menikmati kesunyian yang ditemani suara jangkrik dan aroma malam yang lembut. Langkahnya menyusuri jalur yang ditandai tali kuning. Cahaya senter kecil di tangannya cukup menerangi jalan setapak yang sedikit becek.

Setelah beberapa menit berjalan, Nadia sampai di tempat yang dimaksud. Sebuah pancuran kecil alami di bawah batu besar, airnya jernih dan mengalir tenang. Ia jongkok, mulai mengisi wadah pelan-pelan.

Namun, Nadia tidak sadar bahwa di sela semak dekat kakinya, seekor ular berwarna cokelat kehitaman menggeliat pelan. Kepalanya terangkat, lidahnya menjulur cepat. Ular itu tampak terus mendekat, tak jauh dari betis Nadia yang masih sibuk menampung air.

Saat ular itu hampir menyerang, tiba-tiba…

SRAKK!

Suara langkah anggun dan remang cahaya oranye dari obor memecah kegelapan.

"Jangan bergerak," suara itu terdengar lembut tapi tegas.

Nadia menoleh cepat. Seberkas cahaya datang mendekat. Dan di bawah cahaya obor itu… berdirilah Isabella.

Gaun putih panjangnya seperti berkibar pelan oleh angin malam, rambut panjangnya bersinar halus oleh nyala api obor yang ia bawa. Wajahnya tenang, tapi mata tajamnya memandangi semak-semak di dekat Nadia.

Dengan gerakan tenang, Isabella mengayunkan ujung obornya ke arah ular, membuat binatang itu melingkar, mendesis, lalu cepat-cepat melata pergi ke kegelapan.

Nadia masih terdiam, jantungnya berdetak cepat, belum sepenuhnya sadar akan bahaya yang barusan lewat.

"U–ular..." gumamnya pelan.

Isabella mendekat, meletakkan obor di tanah, lalu berjongkok di sampingnya. "Kamu baik-baik saja?"

Nadia mengangguk pelan. "Iya… terima kasih, Kak."

Isabella tersenyum, lembut dan anggun. "Malam hari di hutan memang menyimpan banyak hal yang tak terlihat. Tapi kamu berani… dan itu bagus."

Nadia tersipu, belum pernah ada orang dewasa yang berbicara padanya seperti itu. Isabella punya cara bicara yang halus, tapi berwibawa.

"Terus terang aku tidak tahu kenapa Kakak bisa ada di sini tepat waktu…" ujar Nadia, setengah bingung.

Isabella hanya tersenyum lagi. "Kadang, kita memang tidak perlu tahu semua jawabannya"

Tanpa menunggu sebuah perintah, Isabella meraih satu jerigen lagi yang masih kosong tergeletak ditanah, ia lalu mencelupkan wadah itu ke dalam aliran kecil yang jernih.

"Biarkan aku membantumu" ujar Isabella tiba-tiba, tanpa menoleh, seolah tahu Nadia masih memikirkannya.

"Makasih, Kak..." Nadia tersenyum gugup seraya memilih berdiri di samping Isabella, memegang satu jerigen yang sudah penuh. Beberapa kali ia melirik ke arah wanita anggun itu, ada rasa penasaran yang sejak tadi mengendap di pikirannya. Cahaya obor menyorot wajah Isabella dengan sangat lembut, mempertegas garis wajahnya yang tenang dan penuh pesona.

Setelah beberapa detik diam, Nadia akhirnya memberanikan diri bertanya. Suaranya pelan, sedikit ragu.

"Kak... em... sebenarnya Kakak itu... siapa, ya? Maksudku... aku belum pernah lihat Kakak sebelumnya di acara ini. Bahkan dari penyambutan camping tadi pagi, Aku rasa tidak pernah melihat Kakak"

Isabella tersenyum. Senyum yang tenang, tapi entah kenapa memberi kesan dalam, seperti seseorang yang menyimpan banyak cerita. Ia menoleh sedikit, menatap Nadia dengan mata yang lembut.

"Aku bukan anggota resmi. Aku hanya tamu di kegiatan ini. Muncul ketika ada hal yang memang sangat membutuhkan" jawabnya perlahan.

Nadia mengerutkan kening, sedikit bingung dengan jawabannya.

"Maksud kakak seperti tadi? dua kali berturut-turut kakak muncul ketika aku dalam bahaya" Tanya Nadia lagi, masih memandangi wanita itu dengan penasaran.

"Aku hanya berjalan melewati jalur ini. Mungkin... sudah waktunya kita bertemu," jawab Isabella pelan.

Lalu ia menoleh ke arah pohon-pohon tinggi. Angin malam berembus pelan, membawa serta aroma dedaunan basah.

"Ayo, sudah malam. Teman-temanmu pasti menunggu," ucap Isabella sambil kembali mengangkat obor dan berjalan lebih dulu, menyinari jalan setapak.

Nadia mengikuti di belakangnya, membawa ember dengan hati yang masih penasaran... dan entah kenapa, juga hangat.

Langkah mereka menyusuri jalan setapak cukup pelan, menyatu dengan keheningan malam yang syahdu. Cahaya obor yang dibawa Isabella menari-nari di tanah lembab, menuntun mereka melewati semak-semak dan akar pepohonan yang menjalar ke jalan. Sumber air mulai jauh di belakang mereka, tapi suara gemericiknya masih samar terdengar.

Nadia sesekali melirik Isabella, lalu akhirnya memberanikan diri lagi untuk bertanya, dengan nada setengah bercanda, setengah penasaran.

"Kak Isabella ini... asli orang sini, ya? Maksudku, pribumi?"

Isabella tertawa kecil, suaranya ringan seperti desir angin.

"Aku... bisa dibilang begitu," jawabnya singkat.

"Tapi wajah Kakak cantik banget. Maksudku, beda banget. Seperti... bukan manusia."

Isabella menoleh perlahan, tersenyum dengan wajah yang tenang dan tidak tersinggung sama sekali. "Manusia atau bukan, itu hanya soal bentuk luar, kan?"

Nadia mengerutkan kening, agak bingung dengan jawabannya. Tapi dia tertawa juga untuk mencairkan suasana. "Kakak ngomongnya kayak... filosofis gitu."

Isabella tidak menjawab, hanya tersenyum dan terus melangkah.

Setelah beberapa saat berjalan dalam diam, Nadia membuka lagi percakapan. "Kakak sering datang ke tempat ini?"

"Cukup sering," jawab Isabella. "Tempat ini sudah seperti rumah. Tapi... tidak semua orang bisa tinggal lama di rumah seperti ini."

Nadia mengangguk pelan, meski tak sepenuhnya mengerti. Mereka terus melangkah, obor di tangan Isabella seolah membuat perjalanan terasa lebih hangat.

Tiba-tiba, di tengah keheningan itu, Isabella berbicara lagi. Suaranya pelan, namun nadanya seperti membawa makna yang lebih.

"Kamu di sini akan baik-baik saja. Tidak perlu terlalu khawatir. Katakan pada abangmu... tidak usah tergesa-gesa datang ke sini. Mintalah dia menjemputmu lusa, setelah camping ini selesai."

Langkah Nadia langsung terhenti. Ia menoleh cepat ke arah Isabella, matanya membelalak.

"Abang?... Mas Danu? Kak Isabella kenal sama Mas Danu?"

Isabella berhenti juga, menatapnya lembut. "Aku hanya... tahu sedikit tentang kalian."

Nadia makin penasaran. "Tapi... dari mana? Aku tidak merasa pernah cerita ke siapa-siapa tentang Mas Danu. Bahkan Mas Danu nggak ikut rombongan. Kakak ketemu dia tadi?"

Isabella hanya tersenyum, tanpa menjawab langsung. Ia menunduk sedikit, mengatur langkah agar tidak tersandung akar pohon, lalu menoleh lagi ke arah Nadia dengan senyum yang tak berubah sejak tadi, penuh misteri, tapi juga entah kenapa terasa menenangkan.

"Ada hal-hal yang bisa dilihat tanpa harus bertemu. Seperti bagaimana langit tahu kapan hujan akan turun, meski kita belum merasakannya."

Nadia terdiam. Jawaban itu bukan penjelasan, tapi... entah kenapa hatinya tenang.

Beberapa langkah kemudian, cahaya dari api unggun dan keramaian perkemahan mulai tampak dari kejauhan. Suara anak-anak terdengar kembali, riuh dengan tawa dan obrolan, seolah dunia nyata menyambut kembali.

Isabella memperlambat langkahnya, lalu menyerahkan kembali jerigen yang tadi dibawakan. "Pergilah ke kelompokmu. Teman-temanmu pasti sudah menunggu."

Nadia menerima jerigen itu dengan tangan lain, tapi keraguannya muncul di wajahnya. "Kakak nggak ikut sekalian? Kan tinggal sebentar lagi sampai.”

Isabella menggeleng pelan. "Ada yang harus aku bicarakan dengan salah satu pembina di tenda seberang. Hal kecil, tapi penting."

Nadia tampak ragu. "Tapi tempat ini gelap…"

"Aku tahu jalannya," jawab Isabella sambil tersenyum. "Lagipula aku sudah terbiasa. Kamu tidak perlu khawatir."

"Kak... boleh nanti aku ngobrol lagi sama Kakak?"

Isabella mengangguk pelan. "Kalau waktunya tepat, kita pasti bertemu lagi."

Nadia masih ingin bertanya lebih, tapi entah kenapa nada tenang Isabella seolah selalu bisa memadamkan segala kekhawatiran. Dia akhirnya mengangguk.

"Oke deh… hati-hati ya, Kak."

Isabella hanya membalas dengan anggukan kecil dan tatapan lembut. "Kamu juga."

Nadia berdiri sejenak, menatap punggung Isabella yang perlahan menghilang di balik pepohonan, sebelum akhirnya ia kembali melangkah menuju tenda dan teman-temannya. Jerigen berisi air bergoyang pelan di tangannya. Langkahnya cepat, tapi sesekali ia menoleh ke belakang, dan saat ia lakukan itu untuk ketiga kalinya, sosok Isabella sudah tidak ada di sana. Seolah menghilang begitu saja ke dalam gelap malam yang tenang.

Nadia menghela napas, perasaan tenang dan bingung bercampur menjadi satu. Di tangannya ember masih terasa dingin, tapi di hatinya ada kehangatan... dan pertanyaan yang belum selesai.

Begitu tiba di area perkemahan, Nadia melihat teman-temannya sudah sibuk mengelilingi peralatan memasak seadanya. Di tengah lingkaran itu, Ayu terlihat sedang menyalakan kompor kecil dengan susah payah, sementara Nabila dan Shafa sibuk mengaduk-aduk bahan masakan yang masih mentah.

"Woy, akhirnya datang juga si pembawa air," seru Rani sambil tertawa, menyambut Nadia.

"Aduh, sorry, tadi agak lama," kata Nadia sambil meletakkan jerigen dengan hati-hati di samping mereka.

"Yang penting airnya cukup nih buat masak," timpal Nabila dengan semangat.

Mereka mulai memasak bersama-sama. Tawa dan celotehan kecil mengisi udara malam itu. Shafa mencoba memotong bawang sambil berakting seperti koki profesional, membuat teman-temannya tergelak.

"Chef Shafa in action! Hati-hati jari lo tuh!" goda Nabila sambil tertawa.

"Heh, jangan ngeledek! Gue ini udah kayak masterchef!" sahut Shafa dengan gaya sok bangga.

Sementara yang lain masih bercanda, Nadia sesekali melirik ke arah jalur gelap tempat ia barusan bertemu Isabella. Ada rasa yang mengganjal... semacam keingintahuan yang tidak bisa ia abaikan. Matanya terus mencari, berharap mungkin Isabella akan muncul lagi dari balik pepohonan.

Ayu, yang memperhatikan gerak-gerik Nadia, akhirnya bertanya dengan suara setengah berbisik, "Nad, lo nyari siapa sih? Perasaan dari tadi noleh ke sana mulu."

Nadia tersentak kecil, lalu buru-buru tersenyum canggung. "Enggak kok… Aku cuma menikmati udara malam saja"

Rani ikut menyenggol bahu Nadia sambil bercanda, "Jangan-jangan lo curi pandang ke kakak pembina itu ya? ngaku aja deh, Nad"

"Aku bukan kamu, Ran. Si buaya betina, Huh!" Nadia berlagak menyindir Rani, seolah sengaja mengalihkan kecurigaan mereka.

Yang lain langsung tertawa, dan Nadia ikut tersenyum, walau pikirannya masih sibuk sendiri.

“Kak Isabella...“ batinnya. “Siapa sebenarnya dia?“

Namun malam terus berjalan. Mereka kembali fokus ke masakan yang mulai mengeluarkan aroma lezat. Rani sibuk mengipas-ngipas lauk yang digoreng, Shafa mencicipi sambal, dan Ayu sibuk mengatur peralatan makan mereka.

Suasana menjadi lebih ramai, tawa mereka membaur dengan suara malam, serangga, desiran angin, dan gemericik air dari kejauhan. Sejenak, Nadia melupakan kegelisahannya dan menikmati malam itu bersama teman-temannya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!