Bayangkan, kedamaian dalam desa ternyata hanya di muka saja,
puluhan makhluk menyeramkan ternyata sedang menghantui mu.
itulah yang Danu rasakan, seorang laki-laki berusia 12 tahun bersama teman kecilnya yang lembut, Klara.
Dari manakah mereka?
kenapa ada di desa ini?
siapakah yang dapat memberi tahuku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mengare, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kalung Rubi
Kamar dengan buku yang tersusun rapi di rak serta sebuah buku dengan pola lingkaran menyala yang tengah terbuka di atas meja. lentera yang menyala memberikan cahaya remang - remang, menjangkau seluruh kamar walau masih tidak seterang cahaya bulan yang masuk dari sela-sela jendela.
Klara menarik nafas dalam-dalam, matanya terpejam sambil merenung, "Kosongkan pikiran, cukup fokus dengan hawa panas di sekitar."
Klara tidak mengalami masalah pada awalnya tapi Konsentrasi Klara terganggu oleh bayangan Danu yang terlintas dari pikirannya. Di mana Klara meringkuk sambil melihat Danu secara perlahan menerima serangan pada bagian tubuh yang dia gunakan sebagai perisai untuk melindunginya. Sehingga meninggalkan luka sayatan serta menguras banyak tenaga Danu.
Klara membentuk inti api pada genggaman tangannya yang dia angkat.
Klara mengalirkan mana pada inti itu yang secara bertahap, menarik butiran kecil tak kasat, dan berkumpul hingga membentuk sebuah kabut berapi kecil, secara perlahan membentuk bola api.
Bola itu memadat, mengeluarkan nyala api yang tidak terkendali disekitarnya.
Klara tetap mencoba menstabilkan bola itu. Namun, bola api itu justru semakin mengganas dan menggelora, Tak peduli dia mencoba mengatur aliran mana disekitarnya atau mencoba cara yang lainnya.
Klara tahu kalau Danu telah sembuh tapi tetap ada perasaan bersalah yang terus menghantuinya.
Klara membuka matanya, memandang kesal pada bola api yang menghembuskan kobaran api secara membabi buta.
"Klara harus lebih kuat" pikirnya sambil menggertakkan giginya.
Klara bertanya-tanya dalam hatinya, kenapa dia harus begitu lemah dan sehingga mencelakai Danu.
Entah dulu sebelum dia sendirian tanpa teman.
Atau saat ada seseorang yang bersama dengan tulus dengannya.
Kemarahan, kesedihan, dan rasa rendah diri terkoneksi dengan kalung yang dikenakannya. Kalung dengan kristal Rubi sebagai hiasan utamanya. Kalung itu bersinar dan mengalirkan energi panas yang bercahaya pada Klara dan secara perlahan menyelimuti tubuh serta area di sekitarnya.
Cahaya itu terserap oleh inti
Bersamaan dengan itu, cahaya dari bola apinya menyala dan berubah menjadi pusaran api panas yang berputar dengan cepat. Pusaran api yang menghembuskan udara panas pada sekitar.
Kamar Klara menjadi terang dengan cahaya merah gelap dari pusaran api berasap hitam itu.
......................
Nyonya Vivi berjalan sambil membawa potongan buah di atas piring. Dia tersenyum riang meski suaminya tidak ada di sana.
"Klara pasti suka rasa buah melon dan apel ini." pikirnya.
Namun, matanya terbelalak saat melihat cahaya merah menyala keluar dari sela-sela ambang pintu kamar Klara.
Dia menjatuhkan potongan buah itu dan berlari menaiki tangga dengan panik hingga mendorong pintu yang terkunci dari dalam.
Dengan penuh kepanikan dia mundur satu langkah dan menendang dengan sekuat tenaga.
Brak
Pintu itu terbuka seketika, memberikan jalan untuk Nyonya Vivi masuk.
"Klara!! Klara!! Sayaaang!" panggilnya dengan panik.
Klara sempat hampir kehilangan kendali atas bola api itu lalu dengan panik menghilangkannya dengan sekejap.
Suasana menjadi hening sejenak sebelum Nyonya Vivi berlari ke arahnya dan memeluknya dengan erat. Takut akan bencana yang hampir mencelakai anaknya.
"Klara.. Mama benar-benar takut.. Hiks" keluh Nyonya Vivi.
Pelukan Nyonya Vivi erat dan penuh kehangatan. Kehangatan itu membuat Klara tak kuasa untuk menahan tangisannya.
Dia merengek dengan keras pada mamanya, membalas pelukannya dan membenam kepalanya ke dalam pelukan itu.
"Mama... A....apa aku pembawa si.." rengekan Klara yang segera disela oleh Nyonya Vivi.
"Tidak! jangan bicara seperti itu! kamu adalah bintang keberuntungan kami !! Bagaimana kamu bisa mengatakan itu?!" protes Nyonya Vivi sambil memandang wajah Klara, membelai wajah yang telah basah dengan keringat dan air mata.
"Ta-tapi, Kak Danu.."
"Susst, ada aku di sini mengerti. Aku adalah mama mu dan akan selalu begitu." bujuk Nyonya Vivi sambil melonggarkan pelukannya, "Klara adalah anak mama, tidak peduli apa yang terjadi jadi jangan berfikir sesuatu yang membuat mama sedih. Mengerti?"
Klara mengangguk pelan lalu membiarkan dirinya dipeluk kembali oleh mamanya.
Mereka berpelukan cukup lama hingga tak terasa kalau air mata di wajah mereka telah kering.
Nyonya Vivi mengusap mata Klara yang sembab dan tersenyum. Dia membujuk Klara, "sudah, mulai besok Klara tidak perlu berlatih dulu sampai pikiran Klara tenang ya."
Klara mengangguk pelan, wajahnya tampak masih murung.
"Baiklah kamu tidur dulu. Mau mama temani?" tawar Nyonya Vivi dengan penuh perhatian.
Klara kembali mengangguk kemudian Nyonya Vivi berdiri sebentar untuk mematikan lentera.
"Ma.." panggil Klara pelan.
"Iya, ada apa sayang?" jawab Nyonya Vivi.
"Jendelanya boleh Klara buka ya..?" tanya Klara dengan ragu. Mata emasnya tampak berbinar sambil meremas lemah ujung bajunya.
Nyonya Vivi tersenyum, dia mengingat dulu sering tidur bersama Klara dengan pintu terbuka.
"Baiklah, tapi mama ambilkan aroma terapi dulu ya? Biar gak ada nyamuk. Sementara itu, Klara tidur dulu yang cantik." jawabnya.
Klara tersenyum dan segera berbaring dengan tenang di atas kasur.
Saat nyonya Vivi pergi keluar dan tidak menampakkan diri dari balik pintu, Klara membuka jendela dan mendapati sebuah aura biru yang menyebar dan cepat dan sangat indah, seperti lautan bintang yang bertebaran.
Klara terpaku dan tanpa sadar mulutnya menganga karenanya. Dia dapat merasakan aura yang familiar dari fenomena itu.
"Klara," panggil Nyonya Vivi dengan langkah agak tertatih, "ayo tidur."
"Iya" jawab Klara sambil berbaring dan membiarkan dirinya dipeluk dengan lembut oleh Nyonya Vivi.
"Kaki mama sakit ya?" tanya Klara.
"Tidak kok, siapa bilang? Ini cuma sakit sedikit karena mama kelelahan, tadi sudah mama kasih salep, jadi Klara tidur saja. Ya." elak Nyonya Vivi.
Klara tidak menjawab dan mendekat pada mamanya. mereka saling berpelukan hingga keduanya secara perlahan terlelap.
...*****...
Di waktu yang sama, sekumpulan ketua pasukan berkumpul, mereka bersiap dengan peta di meja sebagai alat menyusun strategi.
Mereka berkumpul pada sebuah tenda besar, memperhatikan baik-baik lokasi yang tertera pada peta. Hutan dengan pepohonan yang rindang dan sebuah sungai kecil yang mengalir di sisi selatan hutan.
Ada 6 orang di sana, mereka adalah Zen sang pedang petir, Thomas sang Veteran Perang, Bardur dari Guild Red Plain, dan seorang komandan pasukan kota, Amel Ambler. Di sana juga ada Tuan Daniel serta Jarwo sebagai perwakilan dari desa.
"Semuanya telah berkumpul di sini tapi tampaknya perwakilan dari kuil belum datang" gerutu Bardur.
"Hemp, apakah mereka tidak menghargai kita?!" sahut Amel dengan kesal.
"Lebih baik kalian diam dan tidak banyak bicara." protes Thomas.
"Hei pak tua, kamu kira energi hitam adalah hal yang remeh ha? Hanya dengan sedikit gigitan dari makhluk itu, kamu dapat kehilangan kesadaran mu tahu!!" jawab Bardur.
"lalu apa? mau menerjang kesana sendirian?" ejek Thomas.
"Cih orang tua ini, sebaiknya jaga mulut mu!!" perintah Bardur yang ditanggapi dengan remeh oleh Thomas.
Zen merasa malu pada Tetua Jarwo dan Tuan Daniel yang terlihat khawatir dengan keadaan yang mulai memanas karena keterlambatan pihak kuil.
Dia mendekati Thomas dan Bardur lalu melerai mereka. dengan tersenyum canggung dia berkata, "sebaiknya kita tetap tenang, saat ini kita hanya bisa menunggu kedatangan mereka."
"Kamu seorang pemula tahu apa?" Elak Bardur.
Zen merasa tersinggung tapi dia mencoba meredakan emosinya.
"Baik-baik saya mengerti saya pemula tapi bisakah anda tenang." sahut Zen.
"Sudah diam lah! Aku bahkan tidak tahu apa yang hebat dari dirimu." ejek Bardur.
"Bardur, meskipun saya juga kesal dengan ketidakhormatan kuil tapi jangan menimbulkan perpecahan diantara kita." keluh Amel yang merasa Bardur mulai semena-mena.
Keributan itu terdengar hingga keluar tenda yang tengah dijaga dengan ketat oleh beberapa pasukan.
Ada beberapa dari mereka yang mengeluh dalam hati dan pasrah dengan nasib mereka nantinya.
Akan sulit bagi pasukan biasa seperti mereka bertahan hidup apabila pemimpin mereka tidak bisa bekerja sama.
......................
Rangga berada tak jauh dari tenda para pemimpin. Dia sedang mengasah kapaknya dengan ekspresi kesal.
"Ya ampun, sepertinya pertemuan ini tidak menghasilkan kesepakatan yang baik ya." keluh nya.
"Bagaimana kamu tahu." tanya Tina sedang ada di sampingnya.
"Siapapun yang memperhatikan raut wajah para penjaga pasti tahu apa yang sedang terjadi." jawab Rangga.
*****
Tak berselang lama, terdengar keramaian dari ujung perkemahan. Orang-orang tampak berdiri dan mendekat pada keramaian itu.
Rangga mengalihkan pandanganya dan berjalan untuk melihat siapa yang membuat kegaduhan. Namun, langkahnya terhenti saat tahu siapa yang datang.
Seorang gadis cantik, berambut hitam legam, dengan pipi tirus, dan bibir merah alami. Berjalan dengan elegan dengan pembawaan yang mendominasi.
Semua orang membukakan jalan untuknya. Ada beberapa pasukan yang mengawalnya dari belakang.
*****
Sementara itu, di dalam kemah.
Para ketua telah sangat ricuh di dalam kemah, bahkan sampai terdengar keluar. Terutama suara Bardur yang terdengar berat.
"Hei pak tua!! Ayo berduel jika kamu tidak suka" ancam Bardur.
"Sebaiknya kamu hati-hati dengan ucapan mu" jawab Thomas.
"Haaa, hanya seorang veteran perang, kamu kira aku takut?!"
"Bardur!"
beberapa bidak di atas peta bergeser, mereka bergetar karena tekanan dari Bardur dan Thomas yang saling mengancam.
...*****...
"Gawat tampaknya ada yang akan bertengkar di dalam." seru seorang penjaga.
"Cih, apa yang harus kita lakukan?" mereka saling memandang karena bingung tapi ekspresi mereka berubah saat seorang gadis datang.
Mereka memberi jalan pada gadis itu dan membukakan pintu masuk kemah.
Para ketua mengarahkan pandangan pada arah luar tenda membuat suasana menjadi hening sejenak.
"Maafkan kami karena terlambat. Saya Hayako, penerus langsung Kuil Dewi Bulan." Hayako diam sejenak memperhatikan reaksi para ketua yang terdiam, "Jadi, bisa kita mulai rapatnya?"