Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 14
Amina menghela napas pelan, menatap papan catur di depannya dengan penuh konsentrasi. Jemarinya melayang di atas bidak kuda sebelum akhirnya menggerakkannya dengan mantap. Dentingan kayu bertemu papan bergema samar di ruangan yang penuh dengan percakapan dan gelak tawa tamu galeri.
Di seberangnya, Felix D’Alembert menatap langkah itu dengan ekspresi penasaran. Bibirnya membentuk senyum kecil, tapi matanya menyipit, menandakan bahwa langkah Amina tak bisa diremehkan.
“Kau lebih tajam dari yang kukira,” ujar Felix, suaranya rendah, hampir seperti bisikan.
Amina hanya tersenyum tipis. “Aku sudah menduga kau akan berpikir begitu.”
Felix terkekeh pelan. Dia menyandarkan punggungnya ke kursi, tangannya memainkan bidak menteri dengan santai sebelum meletakkannya kembali. “Langkah yang menarik. Tapi, Amina…” Tatapannya menajam, suaranya berbisik seperti racun yang merayap. “Apakah kau yakin tidak sedang terjebak?”
Amina tak menjawab. Dia hanya menatap papan catur, membaca pola yang sedang terbentuk. Langkah Felix barusan berbahaya, tetapi tidak sempurna. Ada celah kecil di antara strategi liciknya.
Jantungnya berdetak lebih cepat. Ini bukan hanya permainan catur biasa, ini adalah ujian, tantangan psikologis yang diberikan Felix untuk mengukur kecerdasannya.
Aku tidak boleh jatuh ke dalam jebakannya.
Amina menarik napas dan menggoyangkan kepalanya pelan, mengusir keraguan. Lalu, dengan satu gerakan pasti, dia menggerakkan bentengnya, mengunci pergerakan Felix.
Felix menegang sesaat, lalu mendengus geli. “Huh. Kau benar-benar tidak bisa ditebak.”
“Harus begitu kalau ingin bertahan di dunia seperti ini.” Amina mengangkat alis, menantang.
Felix memiringkan kepalanya, lalu meletakkan bidak terakhirnya di papan. “Skakmat.”
Amina menatap papan. Lalu ia terkekeh. “Benarkah?”
Felix menoleh. Dan saat itu juga, dia melihatnya, sebuah langkah yang terlewat dari perhitungannya. Sebuah jebakan halus yang telah disiapkan Amina sejak beberapa langkah lalu.
Amina menyentuhkan jarinya ke bidak kuda dan menggerakkannya ke posisi akhir. “Sekarang, aku yang menang.”
Felix terdiam. Lalu, alih-alih kecewa, dia justru tertawa kecil. “Aku tidak menyangka akan kalah secepat ini.”
Amina menyilangkan tangan di dada. “Jadi, apakah aku cukup pantas untuk mendapatkan informasi yang kucari?”
Felix menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya mengangguk. “Kau memang menarik, Amina. Aku suka wanita yang bisa mengejutkanku.”
“Sayangnya, aku tidak tertarik untuk mengesankanmu.”
Felix terkekeh lagi. “Baiklah, baiklah. Aku akan memenuhi bagianku.” Dia bersandar ke kursinya dan berbisik, “Lucien Ravenshaw.”
Amina membeku sesaat. Nama itu bukan nama sembarangan.
Lucien adalah legenda di dunia bayangan—seorang ahli racun yang bisa membunuh tanpa meninggalkan jejak. Jika dia benar-benar terlibat dalam kasus ini… maka Amina menghadapi sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang ia kira.
Felix menatap ekspresinya dan tersenyum tipis. “Jangan mati terlalu cepat, Amina. Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa melangkah.”
Amina berdiri dari kursinya. “Terima kasih atas peringatannya.”
Felix mengangkat gelas anggurnya, mengangkatnya sedikit seolah bersulang. “Sampai jumpa lagi.”
Amina tidak menanggapi. Dia berbalik dan melangkah keluar dari galeri, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan baru.
Langkah Amina menggema di jalanan berbatu yang mulai sepi. Udara malam terasa dingin, menyelusup ke dalam mantel panjangnya. Lampu-lampu jalan berkelip redup, menciptakan bayangan panjang yang menari di trotoar.
Ia berjalan cepat menuju sebuah bangunan tua di ujung kota. Rumah apotek itu tampak seperti sisa masa lalu yang terlupakan, dengan papan nama yang sudah pudar dan dinding batu yang dipenuhi lumut. Aroma tajam bahan kimia menyelusup ke hidungnya sebelum ia bahkan mencapai pintu.
Amina berhenti sejenak, merapikan hijabnya, lalu mengetuk pintu kayu besar itu.
Hening.
Dia mencoba lagi. Kali ini, suara langkah kaki terdengar dari dalam.
Pintu terbuka sedikit, menampilkan seorang pria dengan jas laboratorium kusut dan mata hijau pucat yang tajam. Rambutnya acak-acakan, seperti seseorang yang telah terlalu lama tenggelam dalam pekerjaannya.
Lucien Ravenshaw.
Tatapan pria itu menyapu Amina dari atas ke bawah. Lalu, tanpa ekspresi, dia bertanya, “Apa kau datang untuk membeli atau membunuhku?”
Amina menaikkan alis. “Belum tentu keduanya.”
Lucien menghela napas, lalu membuka pintu lebih lebar. “Masuklah. Aku tidak suka berdiri di ambang pintu seperti hantu.”
Amina melangkah masuk, matanya langsung menelusuri rak-rak kayu yang dipenuhi botol-botol kaca berisi cairan berwarna aneh. Ruangan itu memiliki pencahayaan redup, dengan bau khas alkohol dan herbal yang bercampur menjadi satu.
Lucien berjalan menuju meja kayu di tengah ruangan dan menyandarkan tubuhnya di sana. “Jadi, apa yang kau inginkan?”
Amina tidak membuang waktu. “Aku ingin tahu tentang racun yang digunakan dalam pembunuhan di Hotel Beaumont minggu lalu.”
Lucien menghela napas panjang. “Tentu saja. Semua orang selalu datang kepadaku untuk racun.”
“Karena kau adalah ahlinya.”
Lucien menatapnya, lalu tertawa kecil. “Aku lebih suka disebut seniman.”
Lucien mengangkat sebuah cangkir porselen dari meja, meniup uap yang keluar dari dalamnya sebelum menyesap perlahan.
"Apa kau ingin teh?" tanyanya santai, suaranya rendah dan penuh percaya diri. "Aku jamin, tidak ada racun di dalamnya. Setidaknya, bukan yang bisa membunuhmu dalam hitungan detik."
Amina menatap cangkir itu dengan waspada. Uap tipis melayang dari permukaannya, membawa aroma rempah yang samar-samar dikenalnya—adakah sesuatu yang tersembunyi di dalamnya? Ataukah ini hanya bagian dari permainan Lucien?
Lucien tersenyum tipis, ekspresinya setengah mengejek. "Kau terlihat tegang, Amina. Minumlah, ini hanya teh herbal. Aku bahkan sudah menyesapnya lebih dulu," katanya, mengangkat cangkirnya seolah ingin membuktikan.
Amina tetap diam, hanya menatapnya dengan sorot mata tajam. Dia tahu lebih baik daripada percaya pada seorang peracik racun. Bisa saja racun itu bekerja secara perlahan, menciptakan ilusi aman sebelum akhirnya membunuh dengan kejam.
Lucien terkekeh, meletakkan cangkirnya di meja kayu yang dipenuhi botol kaca berisi cairan beraneka warna. "Ah, kau tidak mudah ditipu. Aku suka itu."
Amina menautkan jemarinya, menyandarkan diri sedikit ke belakang dengan tetap waspada. "Aku lebih suka hidup," katanya dingin.
Lucien mengamati Amina dengan mata penuh perhitungan. Wanita di hadapannya ini bukan detektif biasa. Berhijab rapi, sikapnya tenang, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya—ketajaman yang mengancam, seakan bisa menembus lapisan kebohongan mana pun.
"Kalau begitu, ayo kita langsung ke pokok pembicaraan." Lucien mencondongkan tubuhnya ke depan, menautkan jari-jarinya di atas meja. "Aku tahu kau tidak ke sini hanya untuk minum teh denganku."
Amina memiringkan kepalanya, mempertimbangkan langkah berikutnya. Dia harus bermain dengan hati-hati.
"Kau terlibat dalam kematian Dario Fermont," katanya, suaranya datar tetapi menusuk.
Lucien tersenyum lebar, seolah pertanyaan itu adalah hiburan baginya. "Terlibat? Itu kata yang menarik." Dia mengetuk bibirnya dengan jemarinya, berpura-pura berpikir. "Kalau aku benar-benar membunuhnya, kau kira aku akan begitu bodoh meninggalkan jejak?"
Amina menahan dorongan untuk menghela napas. "Mungkin tidak langsung membunuhnya. Tapi kau yang menyediakan racunnya, bukan?"
Lucien mengangkat bahu. "Mungkin. Mungkin tidak. Siapa yang tahu?"
Amina mengetuk meja dengan jarinya, matanya tetap terkunci pada pria di hadapannya. "Aku tahu racun itu tidak biasa. Tidak ada jejak di tubuh korban, tapi ada tanda-tanda perlahan merusak organ dalamnya sebelum akhirnya dia mati. Itu bukan kerjaan sembarang orang."
Lucien menyeringai. "Kau memang pintar, Amina."
"Aku harus pintar, kalau tidak aku bisa mati muda."
Lucien tertawa kecil, tetapi di balik tawanya ada sesuatu yang lain—ketertarikan yang bercampur dengan rasa ingin tahu.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku tidak akan berbohong. Aku memang membuat racun itu. Tapi aku bukan orang yang memberikannya pada korban."
Amina menegang. "Siapa yang memberikannya?"
Lucien memainkan sendok kecil di tangannya, mengaduk-aduk teh di cangkirnya meskipun tidak ada yang perlu diaduk. "Ada seseorang yang memesannya. Seseorang yang cukup berpengaruh. Dan percayalah, kau tidak akan menyukainya."
Amina menahan napas. Jaring ini semakin kusut, semakin dalam.
"Nama," desaknya.
Lucien menatapnya dengan mata berbinar, seolah menikmati situasi ini. "Kau tahu cara kerja bisnis ini, Amina. Aku tidak bisa memberi nama tanpa ada pertukaran."
Amina tahu ini akan sulit, tetapi dia tidak bisa menyerah. Dia berpura-pura berpikir, lalu mencondongkan tubuh ke depan. "Bagaimana kalau aku berjanji tidak menyeretmu ke dalam kasus ini?"
Lucien tertawa pelan. "Lucu sekali. Seolah aku percaya janji seorang detektif."
Amina menatapnya dingin. "Atau aku bisa menyerahkanmu sekarang juga. Polisi sudah punya cukup bukti untuk setidaknya menahankanmu. Dan aku yakin kau tidak ingin itu terjadi."
Lucien terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. "Baiklah, baiklah. Aku akan memberimu sedikit petunjuk." Dia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langit-langit sejenak sebelum kembali menatap Amina.
"Orang yang memesan racun itu... berada lebih dekat denganmu daripada yang kau kira."
Amina merasakan dingin menjalar ke tulang punggungnya.
"Siapa?"
Lucien tersenyum miring. "Kau akan mengetahuinya sendiri, cepat atau lambat."
Amina menggeram dalam hati. Lucien selalu suka bermain teka-teki.
Dia bangkit dari kursinya, merasa tidak mendapatkan cukup jawaban, tetapi tahu dia harus segera pergi sebelum keadaan menjadi lebih buruk.
Saat dia berjalan menuju pintu, Lucien berbicara lagi. "Amina, hati-hati di luar sana."
Amina berhenti sejenak, menoleh.
Lucien menyeringai, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapannya kali ini, keseriusan yang samar. "Ada yang mengawasimu."
Amina tidak bertanya siapa. Dia hanya melangkah keluar, dan begitu dia menutup pintu di belakangnya, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya.
Jalanan sempit di luar apotek tua itu sepi, tetapi dia bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Bulu kuduknya meremang.
Langkahnya cepat, tetapi telinganya waspada.
Lalu dia mendengarnya, sebuah langkah samar di belakangnya.
Amina tidak menoleh. Dia terus berjalan, tetapi detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat.
Langkah itu semakin dekat.
Dia menajamkan pendengarannya, mencoba memperkirakan jaraknya.
Tiga meter di belakang.
Dua meter.
Satu—
Amina berputar dengan cepat, tetapi jalanan kosong.
Namun dia tahu.
Seseorang sedang mengintainya.
Dan mereka tidak akan berhenti sampai dia menemukan kebenaran.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.