🌹Alan Praja Diwangsa & Inanti Faradiya🌹
Ini hanya sepenggal cerita tentang gadis miskin yang diperkosa seorang pengusaha kaya, menjadi istrinya namun tidak dianggap. Bahkan, anaknya yang ada dalam kandungannya tidak diinginkan.
Inanti tersiksa dengan sikap Alan, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan selain berdoa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Red Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Harus Pergi
🌹VOTE🌹
AUTHOR POV
Inanti belum beres berkemas, seharian ini hanya tiduran sambil mendengarkan audio al-quran yang di download. Sambil mengusap perut, Inanti berharap bayi-bayi dalam perutnya tidak ikut stres.
Inanti mendapat tamparan. Meskipun itu bukan pertama kalinya, tapi rasanya ini sangat menyakitkan. Dulu Inanti pernah ditampar Bapak beberapa kali, tapi yang ini lebih menyakitkan. Tidak ada yang membela. Jika waktu itu, Ibu memeluknga, menangis untuknya. Sedangkan kali ini, Inanti menangisi diri sendiri.
Kenapa ini terjadi padanya? Inanti bukanlah orang yang kuat.
Ujian yang diberikan Maha Kuasa memang tidak akan melebihi kemampuan hambanya, tapi…. Ini begitu menyakitkan.
"Inanti!"
Inanti mengusap air mata yang menetes, siapa lagi itu?
"Inan."
Dia mengetuk pintu depan. Tahu itu suara laki-laki, Inanti segera memakai baju panjang juga kerudung.
"Inanti."
Ya ampun itu suara Judi.
"Nan?"
"Iya…." Inanti segera bergegas, membuka pintu dan mendapati pria yang nyengir lebar.
Dan senyuman Judi langsung hilang saat melihat wajahku,mata Inanti yang sembab.
"Lu kenapa, Nan?"
"Kamu ngapain ke sini?"
"Lu abis nangis? Kenapa? Siapa yang bikin nangis?"
"Kamu ngapain ke sini." Inanti menutup pintu di belakangnya, takut Judi menyerobot masuk ke dalam dan jadilah fitnah. "Ada apa?"
"Lu kenapa?" Kini nada suara Judi terdengar menahan marah. "Pipi lu kenapa? Kenapa lu nangis?"
"Ga papa, abis sholat jadi nangis."
"lu pikir gue percaya?"
Inanti menunduk mendapatkan tatapan tajam darinya.
"lu ditampar, Nan?"
Air mata Inanti hampir keluar lagi.
"Siapa yang nampar lu? Alan? Vanesa?"
Kini Inanti berani menatap wajahnya lagi. "Kamu kenal sama dia?"
"Si Alan *******! Iya kan?!"
"Tunggu, Judi." Inanti mencoba menahan tubuhnya untuk pergi, Inanti tahu apa yang akan dilakulannya. "Judi, engga bukan Alan yang nampar aku."
"Jangan bohong, Nan, cowok kaya gitu pantes mati. Tenang aja, lu tunggu."
"Engga, Judi, plisss, jangan emosi, ini bukan Alan, tapi Vanesa."
"Vanesa? Cewek itu," gumam Judi seolah sudah mengenalnya lama sekali.
Membuatnya semakin penasaran. "Kamu kenal mereka?"
"Gue bakal--"
"Engga, Jud." Inanti menarik tangannya supaya duduk di kursi yang ada di halaman rumah, bersebelahan dengan kolam ikan kecil dan pohon rindang. "Pliss, jangan emosi, kamu bisa dibawa ke polisi."
"Kapan dia ke sini?"
"Tadi," ucapnya pelan.
"Ngapain? Dia pacaran sama Si Alan?"
"Iya, kayaknya." Inanti masih penasaran. "Gimana kamu bisa kenal mereka?"
Judi menarik napas dalam, dia menyimpan papper bag yang dibawanya di atas meja. "Dulu kita satu SMP."
"Kamu seangkatan sama mereka?"
"Engga, dua taun dibawah Vanesa sama si Alan."
"Terus teman-temannya Alan? Kok kamu pada kenal?"
"Kenal lah, holang kaya mah kenal semua orang," ucapnya yang Inanti yakini bercanda, tapi raut wajahnya serius. Sampai Judi menatapnya lagi, tepatnya pada pipi Inanti. "Mau ke dokter?"
"Apaan, nanti juga sembuh."
"Itu lebam, Nan."
"Nanti di kompres."
"Liat kan, udah ayok pergi, jangan mau disiksa batin sama fisik. Gue bawa lu ke Belanda, gue yakin lu suka di sana. Sama Oma gue, ngurusin kebun tulip, mau?"
"Judi, aku masih istrinya Alan."
"Sialan," gumamnya seolah greget ingin menghantam suami Inanti "Gue yang beresin semuanya, lu tinggal pergi, gue bantu. Mau?"
Inanti menunduk, masa Inanti meninggalkan Bapak?
"Nan, lu itu udah disakitin batin, fisik lagi."
Inanti tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan ini. Maka darinya, Inanti menarik napas dalam. "Kamu ada keperluan apa ke sini?"
"Mulai ngalihin pembicaraan, lu masih cinta sama Si Alan?"
Entah mengapa Inanti merasa tiap Judi bilang nama Alan itu kaya yang benci banget.
"Nan."
"Nanti jadi fitnah, kamu ke sini mau ngapain niatnya?"
"Nomor lu ga aktif."
"Hapenya di silent."
"Mau ngasih itu." Judi menunjuk papper bag di atas meja dengan tatapan. "Temen gue abis buka caffe, itu dia ngasih kue, tapi gue ga suka rasa cokelat, jadi buat lu aja."
Inanti tahu Judi kesal, nada bicaranya, tatapannya enggan melihat.
"Judi…"
"Gue ga habis pikir lu otaknya di mana?"
Inanti menunduk.
"Nan, gue tau lu mau jadi istri yang baik. Tapi kalau lakinya yang ******* gimana?"
Inanti tetap bungkam, haruskah Inanti menerimanya? Tawaran bantuan Judi? Inanti bahkan belum cerai dari Alan, belum ada kata talak dari bibirnya.
"Nan…" Dia menyentuh pundak Inanti, membuatnya tidak tahan untuk menangis. "Cowok ******* macam gitu ga pantes dapetin cewek kaya lu."
🌹🌹🌹
Mata Inanti tidak kuat untuk tidak melirik gaun yang ternyata untuk Vanesa, ada di pojok kamar. Apa yang harus Inanti lakukan?
Tidak kuasa, Inanti mendekatinya lagi, memegangnya lagi dan melemparnya lagi. Astagfirullah, dada Inanti sesak dan ingin marah.
Apa yang harus dirinya lakukan? Apa yang harus Inanti katakan pada Bapak nanti? Bapak di penjara sudah bertaubat, dia menjadi lebih baik, dan Inanti tidak ingin dia sedih.
Ponselnya kembali berbunyi, Inanti kira itu Judi, ternyata Alan. Apakah dia akan marah karena gaun itu?
"Hallo, Assalamualikum."
'Waalaikumsalam, kamu di mana?'
"Di rumah, Kak."
'Saya mau ke sana.'
"Ba--" Belum juga Inanti selesai, Alan mematikan telpon. Inanti menghela napas, menatap kamarnya yang berantakan. Bisnis yang Inanti dalami kini terhenti, tangannya pegal membentuk lucky star. Apalagi beberapa bagian tubuhnya bengkak karena kehamilan.
Gaun milik Vanesa Inanti singkirkan, disimpan saja di dalam lemari. Dan beberapa menit setelahnya, Alan datang.
"Inanti?"
Inanti segera keluar. "Iya, Kak?"
Dia menatapnya lama sekali, entah apa yang dipikirannya, tapi itu membuatnya risih.
"Saya mau bicara." Alan lebih dulu pergi ke ruang tamu, duduk di sofa.
"Ngomong apa kak?"
"Kamu tahu kan besok kamu pergi dari rumah ini?"
Inanti menelan ludah kasar. "Kakak…. sama Inan… mau cerai?"
"Saya ga bilang cerai, saya hanya mau kita terpisah dulu sebelum saya sampai ke pemikiran itu. Rumah ini akan ditempati Vanesa."
Pisah dulu? Jadi dia mau tinggal sama wanita lain disaat masih menjadi suaminya?
"Kenapa ga cerai aja?"
"Kamu lagi hamil."
"Tap--"
"Besok, saya harap kamu sudah nggak ada di sini lagi."
Alan ingin dirinya pergi? Kemana? Dengan status masih menjadi istrinya?
"Buku nikah?"
"Ada sama saya, besok saya kasih ke kamu."
"Baik, Kak."
Inanti melihat, Alan terlihat menahan ekspresi sesuatu. Dia terlihat tidak tenang, bukan menahan marah seperti biasanya, Inanti melihat dia sangat gelisah. Entah apa, tapi Inanti ingin mengetahuinya. Apalagi saat Alan melihat perutnya yang membuncit sangat besar, dia terlihat gatal untuk mengatakan sesuatu.
Namun, rasa penasarannya hilang saat dia berkata, "Jangan berantakin rumah, Vanesa akan ke sini besok."
🌹🌹🌹
Tbc