Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 14
Karyawan toko tersenyum geli. Sepertinya dia mulai paham kalau mereka guru dan murid. "Dia memang sering belanja ini di sini Pak," imbuh karyawan itu menjengkelkan. Shana menoleh seraya mendelik.
"Jadi kamu sudah terbiasa minum itu? Biasa mabuk-mabukan? Sepertinya kamu perlu di evaluasi sebagai murid di kelas ku."
"Bukan Pak." Shana memilih mengoreksi. Tangannya terangkat menyangkal tuduhan negatif gurunya. "Bukan saya. Itu bibi saya yang beli. Saya tahu Bibi saya tidak mabuk saat minum itu. Makanya saya bilang itu tidak memabukkan," jelas Shana agak panjang.
Karyawan itu menahan senyum geli.
"Jangan tertawa," sembur Shana Karyawan toko yang tak lain adalah tetangganya itu sungguh iseng. Pak Regas terdiam.
"Dia memang membelikan untuk bibinya pak. Saya tetangganya di komplek perumahan di sana. Bibinya mungkin seumuran Bapak." Akhirnya pria itu bicara dengan maksud membantu Shana lepas dari tuduhan.
...***...
Meski masalah soal minuman beralkohol selesai karena kalimat karyawan sekaligus tetangganya tadi, tapi Shana masih harus menghadapi wejangan dari Pak Regas di depan toko. Untung saja keadaan halaman parkir toko sepi.
"Aku masih menunggu kamu mengaku pernah bertemu denganku di cafe itu," ujar Pak Regas yang mendadak membahas lagi soal itu. Padahal sejak tadi yang ada hanyalah wejangan khas orang tua.
Kalau soal ini Shana menyerah. Ia tidak bisa bertingkah. Meskipun mulutnya berbicara lain, tapi bola matanya tidak bisa menyembunyikan kebenaran.
"Maaf Pak. Saya ... sudah katakan bahwa saya tidak pernah bertemu Bapak. Itu ... tidak mungkin." Shana wajib menyangkal meski kalimatnya tersendat.
"Meskipun aku sudah punya bukti akurat bahwa memang kamu yang ada di depanku waktu itu?" Kalimat Pak Regas terdengar bersungguh-sungguh. Mata pria itu tak bergetar sedikit pun ketika mengatakannya.
"Eh, tentu saja," ujar Shana gugup. Regas diam sejenak. Entah apa yang ada dalam pikiran Regas karena masih tidak mau mengungkap bahwa kartu pelajar milik Shana ada di tangannya. Sepertinya ia tertarik mengikuti drama bocah tengil ini.
"Jadi rumah kamu di sekitar sini?" tanya Regas mengganti topik pembicaraan seraya melihat ke sekeliling. Ia yakin sudah membaca alamat pada kartu pelajar gadis ini, tapi ia rasa bukan di sini letak daerah rumah Shana.
Kepala Shana hanya mengangguk. Sebenarnya ia bisa langsung pamit pulang, tapi itu tak di lakukannya. Karena bisa saja pria ini mengikutinya dari belakang. Ia masih tidak ingin pria ini tahu rumahnya meskipun itu tidak mungkin. Bukankah dia adalah wali kelasnya?
Namun alamat sekolah yang ia pakai masih alamat rumah bapak. Ia merasa masih aman.
"Baiklah. Jangan keluyuran lagi dan cepat pulang."
"Ya Pak." Kepala Shana mengangguk.
"Juga siapkan staminamu karena kamu harus terus membantu ketua kelas untuk urusan kelas. Karena itu hukuman buatmu karena tidak memperhatikan ketika pelajaran berlangsung." Malah ada tambahan pengingat soal hukuman itu. Shana hanya mengangguk.
Pak Regas siap menyalakan motornya. Ia merasa tidak asing dengan motor itu, tapi ia berusaha abai. Pasti itu tidak ada hubungan dengannya.
Terasa agak lain melihat pak Regas yang memakai kaos oblong dan mengendarai motor. Terlihat fresh dan ganteng! Apa-apaan pikiranku. Fokus, usir Shana merasa terjebak sejenak dengan ketampanan pria ini.
"Salam untuk bibi kamu, jangan pernah menyuruh anak kecil untuk membeli minuman beralkohol. Itu contoh yang buruk," pesan Pak Regas.
"Baik Pak." Tidak bisa ia bayangkan kalau Pak Regas tahu bahwa si pembuat rencana pertemuan kencan buta adalah bibinya juga, beliau pasti tidak bisa berkata apa-apa karena begitu syok mendengarnya.
...***...
"Aku ketemu sama pak Regas." Shana langsung curhat sesampainya di rumah. Raisa yang tadi gembira ketika keponakannya datang mengerjap bingung. Tangan Raisa yang tadinya antusias menerima sodoran kresek ramah lingkungan dari minimarket melemah.
"Pak Regas?" tanya Raisa yang mendadak tidak ingat nama itu.
"Iya." Shana menjauh dari pintu masuk lalu melemparkan tubuhnya di atas sofa bed di ruang tengah. Raisa yang mengikuti langkah keponakannya masih bingung.
"Pak Regas siapa ya?" tanya Raisa bingung.
"CK! Masa lupa sih! Pria kencan buta!" pekik Shana gusar.
"Oh, pria tampan yang jadi wali kelas itu." Raisa mengangguk senang karena akhirnya dia ingat. Shana mencibir kesal. "Jadi dia tahu rumah ini?"
Shana membalikkan tubuhnya menghadap Raisa. "Enggak, tapi dia sudah tahu aku berada di area ini, juga ... Dia masih kekeuh maksa aku mengaku tentang kencan buta itu."
"Wah, gigih juga guru itu." Kepala Raisa menggeleng kagum.
"Dia bilang punya bukti akurat yang menunjukkan bahwa aku adalah perempuan yang datang menemuinya di cafe."
"Oh ya? Kenapa enggak langsung kasih buktinya supaya kamu enggak bisa mengelak?" tanya Raisa heran.
"Aku tidak tahu." Shana menggeleng dengan enggan. Itu juga aneh menurutnya.
"Hihihi ..." Tiba-tiba Raisa cekikikan membuat Shana menoleh cepat.
"Kenapa?"
"Seru juga orang itu. Pasti ada hal lain yang bikin guru mu itu memilih kamu mengaku sendiri daripada menangkap basah."
"Apaan yang seru?" Kening Shana mengerut tidak setuju.
"Mengerjai kamu dong pastinya. Hahahaha ...." Raisa tertawa mengejek.
Pemikiran bibi Raisa tidak salah, karena tadi saja beliau mengingatkan soal hukuman di sekolah. Padahal itu sedang ada di luar jam sekolah.
...***...
Langit cerah siang ini membuat Shana berapi-api menceritakan kisah tadi malam. Bebi dan Mila mendengarkan dengan baik. Sungguh seru melihat wajah Shana yang berubah-ubah menunjukkan kekesalannya.
"Jadi Pak Regas tahu kalau rumah kamu daerah situ?" tanya Bebi.
"Ya."
"Kenapa pak Regas enggak tancap gas aja ngintilin kamu sampai rumah. Lalu laporan ke bibimu kalau kamu sudah menipu dia. Kan katanya sudah punya bukti akurat." Mila berkata benar. Pemikiran yang bagus.
"Aku tidak tahu. Yang pasti itu menguntungkan aku bukan? Pokoknya jangan sampai tahu kalau perempuan yang kencan buta dengannya itu adalah aku. Bisa membahayakan," pungkas Shana. Mereka sudah sampai di depan kelas mereka tepat sebelum berbunyi. Sengaja kaki mereka melamban karena serunya cerita Shana.
"Selamat pagi." Mendadak suara Pak Regas menggema di kelas. Jam pagi ini adalah pelajaran beliau. Padahal baru saja Shana meletakkan tasnya di bangku. "Rangga ambil buku paket di ruang guru."
Rangga berdiri. "Baik Pak. Apa saya perlu mengajak Shana?" tanya Rangga langsung membuat wajah gadis ini kecut. Bebi dan Mila tersenyum seraya melirik. Mereka tentu sedang menertawakan temannya.
Pak Regas yang baru mau duduk di kursinya menoleh. Bola matanya melihat Rangga lalu pada Shana di bangku belakang. "Ya, tentu saja. Beberapa hari ini kamu akan di bantu dia. Jadi kamu bisa bergantian dengan wakil kelas ketika ada tugas. Tidak perlu kalian berdua yang turun. Cukup salah satu dari kalian. Suruh dia melakukan apa saja ketika ada tugas kelas."
Shana merasakan semua mata melirik ke arahnya serempak tanpa komando. Itu respon natural ketika ada pengumuman soal siapa yang jadi bulan-bulanan pria ini karena kesalahannya sendiri. Tentu di barengi dengan senyuman lucu di bibir mereka.
Sip! Aku akan sibuk terus kedepannya, geram Shana dalam hati. Ia udah memproklamirkan diri akan di sibukkan oleh hukuman itu. Dia harus siap.