Bukan Salahku Mendua

BSM Bab. 13

“Mister mau kue apa?” Rere bertanya dengan wajah sumringah menatap si pelanggan, yang tidak lain adalah Ryan. Sorot matanya berbinar-binar memperhatikan wajah Ryan.

Ryan terhenyak, mengalihkan pandangannya dari Laura segera. Dengan wajah datar tanpa ekspresi ia melihat-lihat deretan kue yang ada di dalam etalase itu. Sejujurnya ia sedang tak ingin makan kue, apalagi di malam hari seperti ini.

Ryan termasuk salah satu orang yang menjaga pola hidup, termasuk pola makan. Ia selalu menjaga batas asupan gula yang masuk ke dalam tubuhnya dalam sehari. Walaupun penampakan kue-kue di dalam etalase itu menggugah selera, tapi ia benar-benar sedang tak ingin. Tapi, karena sudah terlanjur masuk ke toko ini, mau tidak mau ia harus membeli juga.

“Aku mau yang itu.” Ryan menunjuk chocolate muffin. Namun sesekali matanya melirik Laura di seberang yang terlihat tegang.

“Berapa banyak, Mister?” tanya Rere lagi. Sedangkan yang ditanya malah sibuk melirik-lirik Laura yang sudah tak berkutik di tempatnya.

Laura enggan mendekat. Ia biarkan saja Rere yang melayani Ryan. Laura hanya cemas jikalau kedatangan Ryan adalah untuk meminta ganti rugi kerusakan mobilnya. Sehingga ia memilih mematung saja di tempatnya.

“Semuanya. Aku ambil semuanya,” ujar Ryan kemudian.

Maka dengan senang hati Rere pun bergegas menyiapkan kue yang diminta Ryan. Mengemasnya ke dalam kemasan terbaik di tokonya. Tumben-tumbenan malam-malam begini ada yang memborong muffin nya.

“Ini kuenya. Silahkan, Mister.” Setelah mengemasnya dan menaruhnya ke dalam paper bag berukuran cukup besar, Rere lantas menyodorkan paper bag itu kepada Ryan.

Setelah membayar, Ryan pun bergegas pergi. Kepergiannya membuat Laura akhirnya bisa bernapas lega.

“Kenapa sih tegang begitu dari tadi?” tanya Rere setelah Ryan berlalu.

Laura yang berdiri di pojokan akhirnya datang mendekat. Kepalanya celingukan, mengawasi pintu masuk. Ia ingin memastikan jika Ryan benar-benar sudah pergi.

“Ya ampun, Ra. Gaya kamu itu persis seperti orang yang baru melihat hantu saja,” celetuk Rere cekikikan.

“Lagian yang tadi itu bukan hantu loh, Ra. Tapi apa iya sih yang tadi itu manusia?” sambungnya tersenyum-senyum sendiri terbayang-bayang wajah Ryan yang menawan. Menawan hatinya yang sepi, tak berpenghuni.

“Manusia kali, Re. Kakinya napak kan?”

“Sumpah deh, Ra. 25 tahun aku hidup di dunia ini, baru kali ini aku melihat penampakan malaikat dengan mata kepalaku sendiri. Ganteng banget, Ra.”

“Biasa saja, Re. Kamu saja yang terlalu berlebihan.” Mulutnya berkata biasa-biasa saja, tetapi dalam hatinya justru berkata sebaliknya. Laura pun lantas mengibaskan tangannya ketika menyadari ia malah mengagumi ketampanan pria lain selain suaminya. Tidak, tidak boleh ia berbuat seperti itu. Dalam hatinya sudah ada Theo, suami tercintanya. Theo juga tak kalah tampan kok dari orang itu, begitu batinnya berkata.

****

“Aku sudah gila.” Ryan merutuki diri sendiri sambil memandangi paper bag yang ia letakkan di kursi sebelahnya. Dari balik jendela mobilnya yang terparkir sedikit menjauh dari LaRisa Bakery, ia lantas mengalihkan pandangan ke toko kue tersebut.

Dari kejauhan Ryan melihat Laura dan Rere keluar dari toko kue itu setelah menutup tokonya tepat pada jam sembilan malam. Setelah membeli kue, Ryan tidak langsung pulang. Entah mengapa ia enggan meninggalkan tempat itu dan malah menunggu di dalam mobil.

Ryan melihat Rere masuk ke mobil, kemudian mobil yang dikendarai Rere itu bergerak meninggalkan toko. Sedangkan Laura menaiki skuter matiknya. Sejurus kemudian skuter matik yang dikendarai Laura pun melaju pergi.

Dan anehnya, Ryan malah membuntuti Laura secara diam-diam. Rupanya untuk inilah ia sengaja menunggu di dalam mobil. Sulit ia mengendalikan keinginannya yang satu ini. Apa yang terbersit di kepalanya tiba-tiba, langsung ia eksekusi. Tidak lain karena terdorong oleh rasa penasarannya saja.

Beruntung Laura mengemudikan sepeda motornya dengan kecepatan standar, sehingga Ryan tidak kehilangan jejaknya. Posisinya tak jauh di belakang Laura.

“Ryan Antonio, kamu pasti sudah gila sekarang. Di luar sana ada banyak wartawan yang memburumu. Dan sekarang lihat apa yang sedang kamu lakukan. Kamu malah memburu seorang wanita. Wanita yang bahkan tidak kamu kenal.” Lagi-lagi Ryan merutuki dirinya sendiri. Ia sendiri keheranan apa yang terjadi kepadanya. Padahal Laura hanya wanita biasa-biasa saja. Penampilannya sederhana, tanpa pulasan make up tebal, tapi pesonanya mampu membuat hatinya bergetar.

“Kamu sudah gila, Ryan,” umpat Ryan dengan tetap fokus pada jalanan dan punggung Laura di depan sana.

Namun, fokus Ryan tiba-tiba terganggu ketika terdengar dering ponselnya. Nama Paola tertera di layar ponselnya. Sebuah panggilan yang ingin ia abaikan, namun tak bisa. Sebab jika ia abaikan sebuah masalah pun akan menantinya.

Dengan sangat terpaksa Ryan pun menepikan mobilnya. Ia harus merelakan kehilangan jejak Laura.

“Halo,” sapanya begitu menggeser tombol hijau dan menempelkan ponsel ke telinga. Raut wajahnya terlihat kesal.

“Hello my brother. How are you?” Kalimat itu terdengar di ujung telepon.

“Paola Antonieta Gonzales. Akan aku congkel kedua bola matamu kalau sampai kita bertemu. Kamu sudah menggagalkan rencanaku.”

Ryan sedang kesal, namun malah terdengar suara gelak tawa Paola. Ancaman seperti itu bukan baru sekali ini Ryan lontarkan kepada adik satu-satunya itu. Sehingga Paola hanya menanggapinya dengan tertawa. Sebab Paola sudah tahu jika Ryan tidak pernah serius dengan ancamannya itu.

“Katakan ada apa? Kamu sudah mengganggu ketenanganku,” sambung Ryan kemudian.

“Kakakku tersayang, aku punya kabar terbaru untukmu. Coba tebak kabar apa yang ingin aku sampaikan padamu.”

“Pao-Pao aku tidak punya waktu bermain tebak-tebakan. Cepat katakan kabar apa yang kamu punya.”

“Minggu depan aku dan mommy akan ke Indonesia. Mommy ingin membicarakan masalah pernikahanmu.”

“Jangan bercanda, Pao-Pao. Aku tidak ingin menikah sekarang. Lagipula dengan siapa aku harus menikah.”

“Tenang saja kakakku sayang. Mommy sudah mencarikan jodoh untukmu. Yang pasti cantik dan seksi. Dan yang terpenting dia wanita single, bukan istri orang. ” Paola memelankan nada suaranya pada kata terakhir. Kemudian disusul kembali dengan gelak tawa Paola yang terdengar renyah di seberang sana. Membuat Ryan harus meringis menahan kesalnya. Rupanya Paola sudah tahu sepak terjangnya, sehingga hal tersebut kerap dijadikan Paola bahan ejekan.

“Pao-Pao, katakan pada ibuku, aku tidak akan menikah sebelum aku menemukan wanita yang tepat. Dan wanita yang tepat itu baru saja menghilang dari pandanganku gara-gara ulahmu. Awas kalau sampai kita bertemu lagi, akan kucincang kamu sampai ayah dan ibu tidak akan mengenalimu lagi.”

Menutup panggilan telepon, Ryan kesal luar biasa. Adiknya itu memang yang paling usil. Hanya Paola yang berani bercanda dengannya seperti itu. Tetapi meski sering membuatnya kesal, Paola adalah adik kesayangannya. Satu-satunya yang paling mengerti dirinya. Hanya Paola yang bisa ia andalkan disaat ia terpuruk sekalipun.

****

Di malam yang sama, di sebuah ranjang king size sebuah hotel, sepasang anak manusia tengah saling berpeluk di bawah selimut tebal yang menutupi tubuh polos keduanya. Keduanya tampak kelelahan setelah berbagi peluh berdua dalam menggapai kenikmatan duniawi.

“Rasanya aku tidak rela kamu pulang malam ini. Aku ingin kamu jadi milikku seutuhnya,” kata Feli sembari menyusuri dada Theo dengan telunjuknya.

“Fel, apa kamu sadar dengan apa yang kamu katakan? Keinginan kamu itu terlalu berlebihan. Tidak mungkin aku menceraikan Laura dan memilih kamu.” Theo berkata demikian tanpa rasa bersalah sedikitpun telah mengkhianati Laura. Hubungan terlarang yang dijalaninya dengan Feli beberapa bulan belakangan ini tak diketahui oleh siapa pun.

“Kenapa tidak, sayang. Dibanding Laura aku yang lebih memahami keadaan kamu. Hanya sku yang bisa menerima kekurangan kamu. Andai Laura tahu apa yang terjadi sama kamu, aku yakin Laura tidak ingin bertahan dengan kamu. Karena Laura sangat menginginkan kehadiran seorang anak bukan?”

Theo menghela napas berat. Tatapannya berubah sendu seketika. Terlihat jelas dari sorot matanya ada kesedihan yang tak sanggup ia ungkapkan.

“Fel, tolong jangan katakan apa pun pada Laura tentang diriku. Cukup hanya kamu dan aku yang tahu. Aku percaya sama kamu, kalau kamu akan menjaga rahasiaku ini dengan baik,” ujarnya kemudian.

Feli tersenyum. Namun senyuman itu terlihat berbeda.

★