Pura-pura menikah dengan tetangga baru? Tentu bukan bagian dari rencana hidup Sheina Andara. Tapi semuanya berubah sejak tetangga barunya datang.
Davison Elian Sakawira, pria mapan berusia 32 tahun, lelah dengan desakan sang nenek yang terus menuntutnya untuk segera menikah. Demi ketenangan, ia memilih pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggir kota. Namun, hari pertama justru dipenuhi kekacauan saat neneknya salah paham dan mengira Sheina Andara—tetangga barunya—adalah istri rahasia Davison.
Tak ingin mengecewakan sang nenek, Davison dan Sheina pun sepakat menjalani sandiwara pernikahan. Tapi saat perhatian kecil menjelma kenyamanan, dan tawa perlahan berubah menjadi debaran, masihkah keduanya sanggup bertahan dalam peran pura-pura?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rembulan Pagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Penyembuh Luka
Ari keluar ruangan sebentar untuk mengurus administrasi. Di kamar, hanya tersisa mereka bertiga yaitu Davison, neneknya, dan Sheina.
Suasana hening sebentar. Hanya suara alat medis dan musik piano pelan dari lorong luar yang terdengar samar.
Lalu, suara nenek memecah keheningan. Pelan, tapi tegas.
“Dev, Arison akan menikah bulan depan.”
Davison yang semula memejamkan mata perlahan membuka matanya. Sorot matanya berubah. Nama itu membangkitkan sesuatu. Arison, sepupu dari pihak ayahnya, satu-satunya orang yang dulu paling dekat dengannya.
“Dia undang kamu,” lanjut nenek. “Dia minta kamu datang. Dia bahkan tanya, apakah kamu masih mau bicara dengan ayahmu.”
Sheina melirik sekilas. Ia bisa merasakan perubahan di wajah Davison.
“Nenek tahu sejak kejadian itu, kamu nggak pernah berani ketemu ayahmu. Sejak malam itu, semuanya berubah. Keluarga ini pecah. Tapi kamu nggak bisa terus lari, Dev.”
Sheina masih diam. Tapi batinnya tidak.
“Jadi, ini akar semua luka Davison,” pikirnya. “Trauma itu, mulai dari keluarganya sendiri.”
Nenek melanjutkan, nada suaranya melembut.
“Tentang adikmu, Ibumu sudah belajar melepaskannya. Yang berlalu, biarlah berlalu. Tapi ayahmu, dia tetap ayahmu, Dev. Mau seberapa kecewanya kamu, dia tetap orang tuamu. Dan dia, menyesal.”
Davison menutup mata, wajahnya kaku. Tapi tangannya gemetar, dan mata yang barusan terbuka itu mulai memerah.
“Nenek,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Sheina, tanpa ragu, menggenggam tangannya. Sentuhannya pelan, tapi hangat. Genggaman yang tidak bicara banyak, tapi cukup untuk mengatakan 'aku di sini'.
Davison menoleh pelan, menatap Sheina. Untuk beberapa detik, dunia luar menghilang. Yang ada hanya mata itu, mata yang menatapnya tanpa tekanan, tanpa tuntutan, hanya ketulusan.
Kali ini, Davison tidak menepis. Ia membiarkan genggaman itu tetap di sana.
Nenek memperhatikan mereka berdua dari tempat duduknya. Wajahnya melembut, seolah tahu bahwa luka lama cucunya sedang disentuh oleh sesuatu yang baru dan bisa jadi obat.
“Sheina,” ucap nenek pelan, “Terima kasih sudah jagain Davison.”
Sheina hanya mengangguk kecil. Masih menggenggam tangan Davison.
Davison menghela napas panjang. Lalu pelan-pelan berkata, “Aku nggak tahu apa bisa datang ke pernikahan Arison.”
Nenek tidak langsung membalas. Ia hanya menatapnya, lalu berdiri dan menepuk bahu cucunya. “Pikirkan baik-baik, Nak. Kadang memaafkan bukan berarti menyerah. Tapi memberi ruang buat hati sembuh.”
Lalu ia pamit keluar. “Nenek ke Ari sebentar.”
Kini, hanya Davison dan Sheina yang tersisa di dalam kamar itu.
Sheina masih duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Davison yang dingin. Musik piano dari lorong rumah sakit terdengar samar, mengisi keheningan yang tidak sepenuhnya sunyi.
Davison membuka suara lebih dulu. Nada bicaranya rendah dan lambat, seperti sedang menimbang setiap kata.
“Saya kira, saya udah cukup kuat. Sudah selesai sama semua itu.”
Sheina menoleh pelan, memperhatikannya. Ia tidak menyela.
“Ternyata saya cuma nutup semuanya rapat-rapat. Bukannya hilang, malah semakin sesak.”
Ia menatap ke arah langit-langit, pandangannya kosong tapi dalam.
“Kamu pernah merasakan hal itu?” tanyanya, masih dengan suara yang sama pelannya.
Sheina mengangguk sedikit. “Pernah. Kadang yang bikin luka nggak sembuh itu karena kita pura-pura lupa.”
Davison mengalihkan pandangannya padanya. Tatapannya lebih tenang, tapi masih menyimpan banyak hal yang belum terucap.
“Kamu bisa mikir gitu karena apa?” tanyanya pelan.
Sheina tersenyum kecil. “Karena pernah ngerasa hancur, melenyapkan ingatan yang ternyata harus disembuhkan terlebih dahulu.”
Davison tidak melepaskan genggaman tangan itu. Tidak sekarang.
"Kamu tetap nekat yah jagain saya yang sakit kayak gini," ujar Davison sembari menatap langit-langit kamar.
Sheina terkekeh pelan. "Saya udah tanda tangan kontraknya pak, udah dapet duitnya juga. Jadi sekalian aja."
"Oh ya saya lupa transfer uang untuk kamu bulan ini," kata Davison, raut wajahnya yang sedih berubah menjadi khawatir.
"Udah pak, ini aja baru tanggal awal. Santai aja."
"Kalau saya udah berjanji, pasti akan saya nepatin, Sheina Andara."
"Tapi kan janjinya nggak harus dibayar tanggal awal Pak Davison Elian Sakawira."
Davison tertawa pelan, sejenak menikmati momen yang dirinya tidak tahu untuk disebut apa saat ini.
Sheina, berubah menjadi sesuatu dalam hidupnya setelah menyentuh lukanya dengan sangat lembut.
"Sheina," panggil Davison pelan.
"Iya, kenapa Pak Dev?"
"Kalau ada masalah berat dan kamu butuh bantuan, cerita ke saya. Saya usahakan akan bisa membantu kamu."
...****************...
Di lorong rumah sakit, Ari baru saja menyelesaikan urusan administrasi. Ia baru saja berbalik hendak kembali ke kamar ketika seseorang memanggilnya pelan.
“Ari.”
Ari menoleh. Nenek Davison berdiri tak jauh darinya. Ia tersenyum, lembut.
“Sudah selesai?” tanyanya.
Ari mengangguk. “Sudah, Nek. Semua beres.”
Neneknya tersenyum lebih lebar. Sorot matanya hangat, tapi tajam seperti biasa.
“Lebih baik dari rencana yang aku harapkan, Ari.”
Ari mengangkat alis sedikit, lalu ikut tersenyum. Keduanya bertatapan sejenak, seolah menyimpan sesuatu yang tak perlu diucapkan. Sebuah kesepakatan lama, yang diam-diam sedang berjalan tepat seperti yang mereka harapkan.
Nenek Davison menyilangkan tangan di depan dada, lalu melirik ke arah pintu kamar di ujung lorong.
“Sheina bukan gadis biasa, ya?”
Ari tersenyum kecil. “Iya, nggak semua orang bisa bikin Davison ngelepas gengsi. Tapi dia bisa.”
Neneknya mengangguk pelan, puas.
“Kadang, luka yang paling dalam cuma bisa sembuh kalau seseorang datang bukan buat menyembuhkan, tapi buat diam di sampingnya,” ucapnya, pelan.
Ari tersenyum kecil, seolah mengingat sesuatu.
“Nek, saya pernah cerita nggak? Waktu itu anak saya hampir ketabrak motor di depan rumah Dev. Anak saya dititipin ke Dev karena kami ngecek rumahnya Dev. Dev waktu itu ngelamun, nggak sadar anak saya lari ke jalan.”
Nenek Davison langsung menatap Ari, terkejut. “Ya ampun, bagaimana kabar anakmu sekarang? Cucuku itu memang ceroboh kalau soal anak kecil. Dia nggak pernah tahu cara menjaganya.”
Ari tertawa pelan, menenangkan. “Nggak apa-apa, Nek. Untung waktu itu ada Sheina. Dia yang langsung lari, narik anak saya dari jalan. Motor itu cuma lewat beberapa detik setelahnya.”
Nenek menghela napas lega, tapi matanya masih membulat karena syok.
“Dia kayak pahlawan, Nek,” lanjut Ari. “Bukan cuma buat anak saya. Tapi juga buat Dev. Dia nolongin Dev di banyak hal yang dia sendiri nggak sadar dia butuh.”
Nenek terdiam sejenak, lalu tertawa kecil—tawa hangat yang penuh rasa bangga.
“Sheina istri yang baik,” ucapnya pelan. “Dia guru TK. Pasti penyayang anak-anak. Tapi yang paling penting, bukan Sheina yang beruntung mendapatkan Davison.”
Ia menoleh ke arah jendela lorong, senyumnya lembut.
“Tapi Davison-lah yang beruntung bertemu dengan Sheina.”
Ari hanya mengangguk. Tidak ada yang perlu ditambahkan. Karena kalimat itu sudah cukup.
Nenek lalu berbalik, berjalan perlahan kembali ke kamar Davison, meninggalkan Ari sendirian di lorong.
Begitu langkah nenek menjauh, Ari menatap pintu kamar itu sebentar, lalu bergumam pelan pada dirinya sendiri, suara nyaris tak terdengar.
“Ternyata sandiwara ini lebih seru dibandingkan film layar lebar.”