Hubungan antara Raka dan Jena memang baik-baik saja. Tetapi saat seorang teman kelas Jena memberitahu bahwa Raka sedang bersama seorang perempuan, membuat Jena merasa curiga bahwa Raka menjalin suatu hubungan dengan perempuan itu yang mana perempuan itu adalah sahabat Jena.
Namun kenyataannya, bukan dengan sahabat Jena melainkan dengan seseorang yang bahkan Jena tidak kenal. Dengan begitu, Jena akhirnya memutuskan hubungan dengan Raka dan bahkan Jena membuat kesepakatan dengan seorang lelaki bernama Jevan supaya menjadikan dia sebagai pacar pura-pura Jena.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vina Melani Sekar Asih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Disaat Jevan pulang, aku menyadari bahwa seharusnya aku tidak meminta tolong kepadanya. Dengan mendengar perkataan Jevan, membuatku semakin takut dengannya. Takut jika perasaannya akan semakin besar terhadapku.
"Kenapa? sedih ya kalau Jevan pergi?" canda Mamah.
"Gak kok, Mah."
"Dilihat-lihat kayaknya kamu cocok deh sama Jevan."
"Mamah apaan sih." Aku pergi menuju kamar karena aku tahu bahwa Mamah akan terus berusaha membuat aku agar menyukai Jevan.
Memang niat Mamah baik karena menginginkan agar anaknya memilih lelaki yang baik. Namun karena aku memang tidak menyukai Jevan, jadi tentunya aku tidak mungkin berpacaran dengannya.
Jika aku berpacaran dengan Jevan, tentunya aku akan sangat malu karena sudah dijelaskan sebelumnya bahwa Jevan itu orangnya sangat berisik. Sedangkan tipe lelaki idamanku yaitu lelaki yang terlihat dingin dan tentunya tidak berisik.
Bukan hanya itu saja, Jevan juga memiliki banyak teman perempuan, maka dari itu pastinya aku akan cemburu setiap hari jikalau aku menjadi pacarnya.
Skip
Malam telah tiba, kini aku mulai mengerjakan tugas untuk dikumpulkan besok. Jika tadi pagi Jevan tidak mengajakku untuk pergi ke pemancingan, mungkin aku akan mengerjakan tugas untuk besok karena memang aku sangat malas jika mengerjakan tugas di malam hari.
Trining! Trining!
Ponselku berbunyi dan tentunya pandanganku yang tadinya melihat kearah buku kini berpindah melihat kearah ponselku.
Aku mengambilnya sambil mengamati nomer yang tidak kukenal. Aku ragu untuk menjawab telepon itu karena aku takut jika itu adalah panggilan telepon dari Raka.
Mataku terus memandang kearah ponsel tanpa menjawab panggilan telepon itu dan tak lama teleponnya berhenti berdering.
"Satu... dua... tiga."
Trining! Trining!
Tebakanku benar, pasti orang itu akan kembali meneleponku. Dan sudah ku tebak bahwa orang itu adalah Raka.
Aku memutuskan untuk menjawab panggilan telepon tersebut karena untuk memperingati yang terakhir kalinya supaya Raka tidak menghubungiku lagi.
"Jen, Raka ada di rumah sakit."
Aku mengenal suara itu. Ya, orang yang sedang bertelepon denganku adalah Tasya.
"Jen, cepat kesini!"
"Gue gak peduli! lagipula sekarang gue sama dia udah putus."
Aku mematikan panggilan teleponnya, karena sudah kubilang jika aku tidak ingin bertemu dengannya meskipun aku tahu bahwa nantinya aku juga akan bertemu Raka di sekolah.
...****...
Pagi hari aku dikejutkan dengan kehadiran Jevan yang sudah berdiri didepan rumah. Dengan melihat penampilannya, membuatku berpikir bahwa dia cukup keren dengan jaket hitam yang dipakainya.
"Ayo berangkat!" ajak Jevan.
"Lo gak pamit dulu sama orang tua gue gitu?"
"Ya udah ayo antar gue kedalam."
Aku terdiam sejenak. Kupikir jika aku membawa Jevan kedalam nantinya orang tuaku akan menuduhku menjalin hubungan dengan Jevan. Maka dari itu, aku memilih untuk tidak mempertemukan Jevan dengan orang tuaku.
"Langsung berangkat aja deh. Soalnya udah mau telat."
"Tadi katanya suruh kedalam."
"Gak jadi. Lebih baik langsung berangkat aja."
Skip
Sekarang aku dan Jevan telah sampai di kelas. Dengan cepat, aku bernegosiasi dengan Rendi supaya dia mau bertukar kursi denganku.
Namun sayangnya, Rendi justru menolaknya lantaran dia lebih suka duduk dikursi belakang.
"Emang kenapa pindah sih? musuhan lo sama Raka?" tanya Rendi.
"Gue putus sama Raka."
"Kenapa bisa putus?"
"Jangan pura-pura gak tahu deh."
Rendi terdiam sejenak dan ia mengira bahwa Jena sudah mengetahuinya.
"Tapi kan itu dulu. Siapa tahu sekarang Raka udah berubah."
"Mau itu dulu juga tetap aja gue gak terima."
"Maafin gue. Gue waktu dulu gak berani cerita sama lo karena Raka kan sahabat gue dan gak mungkin gue cerita kejelekan sahabat gue."
Aku memilih duduk di kursi Rendi tanpa menjawab perkataannya. Bukannya karena aku marah, tetapi karena aku tidak ingin teman-teman yang lain penasaran. Karena dari tadi sudah ada beberapa orang yang mendengar pembicaraanku dengan Rendi.
"Lo beneran mau duduk ditempat gue?" tanya Rendi memastikan, karena ia tahu bahwa Jena pasti akan terganggu jika harus duduk bersama Jevan.
"Iya, gue duduk disini."
"Ya udah kalau itu mau lo." Rendi mengambil tasnya dan segera pergi duduk ke tempat barunya.
Jevan menggeser kursinya lebih dekat. "Jadi pura-pura pacarannya mulai kapan?" bisik Jevan.
Aku berpikir sejenak karena jika mengumumkan sekarang mungkin orang-orang akan mengira bahwa Jena berselingkuh dengan Jevan.
"Lebih baik nanti aja deh."
Seseorang datang menghampiriku dengan raut wajah kesalnya. Aku tahu bahwa dia kesal kepadaku karena aku sangat egois sampai-sampai tidak datang ke rumah sakit.
"Raka kecelakaan tadi malam," jelas Tasya.
Tubuhku seketika mematung saat mendengar penjelasan dari Tasya. Aku pikir bahwa Raka sakit demam, tapi kenyataannya dia berada di rumah sakit karena kecelakaan.
"Serius? terus kondisi Raka gimana?" tanya Jevan.
"Dia gak apa-apa sih, cuma luka sedikit di bagian kaki sama tangan," jelas Tasya.
Aku merasa lega setelah mengetahui bahwa luka Raka hanya sedikit. Mungkin jika kondisi Raka sangat parah, aku pasti akan menjenguknya karena bagaimanapun dia temanku.
Tetapi mendengar penjelasan Tasya membuatku enggan pergi ke rumah sakit karena dikhawatirkan jika aku akan luluh gara-gara Raka sakit.
"Pulang sekolah mau jenguk Raka gak?" tanya Jevan.
"Enggak."
"Meskipun lo sama Raka putus, tapi setidaknya lo jenguk dia. Bisa jadi kan dia gak fokus menyetir motor karena kepikiran tentang lo," kata Tasya.
"Kok lo jadi menyalahkan gue. Dia kecelakaan itu karena dia gak hati-hati, bukan karena gue."
Kring! Kring!
Bel berbunyi, dengan begitu aku bergegas pergi menuju lapangan untuk melaksanakan upacara.
"Jen, tunggu gue!" teriak Jevan sambil berlari kearahku.
Aku berhenti berjalan dan menunggu Jevan. Ya, sejujurnya aku malu jika pergi sendiri ke lapangan yang mana pastinya sudah banyak orang yang sedang menunggu untuk kegiatan upacara.
"Marah sama gue ya?" tanya Jevan memastikan.
"Kok lo bisa berpikiran gue marah sama lo."
"Habisnya gue tadi kan yang menyuruh lo untuk menjenguk Raka. Maka dari itu gue mengira kalau lo marah sama gue."
"Enggak kok."
Melihat orang-orang yang berlarian membuat Jevan takut jika nantinya Jena terdorong oleh orang-orang itu. Maka dari itu, Jevan berpindah posisi dengan Jena supaya Jena tidak terdorong.
"Nanti pulang sekolah mau temani gue gak?"
"Kemana?"
"Rahasia."
Mendengar perkataan Jevan membuatku sedikit curiga karena tempat yang Jevan tuju selalu tidak terprediksi olehku. Buktinya saat hari Minggu, kukira dia mengajakku jalan-jalan ke taman tetapi kenyataannya dia mengajakku ke tempat pemancingan.
"Gue gak mau ikut kalau lo gak memberitahu kemana perginya."
Jevan terdiam sejenak karena sejujurnya ia juga bingung mau mengajak Jena kemana. Karena sejujurnya Jevan hanya ingin jalan-jalan kemanapun tanpa tujuan yang jelas.