Menaklukkan Suami Liar

Beberapa menit sebelumnya.

Dirgantara tidak dapat mengatakan apapun, dapat dikatakan dalam pertemuan ini dirinya hanya sekedar hadir. Matanya menelisik menatap raut wajah kelelahan dari pemuda yang mungkin akan menjadi calon menantunya.

Bagaimana bisa menyerahkan putrinya pada pemuda yang sepertinya tidak memiliki tanggung jawab sama sekali?

Menghela napas kasar, Hazel lebih baik menurutnya. Nilai-nilainya selalu diatas rata-rata, berpenampilan rapi, dengan sikap tatakrama begitu baik, kuliah di bidang bisnis dan management. Sedangkan anak bau kencur ini? Menghela napas kasar kembali, hanya siswa SMU biasa yang kebetulan memiliki orang tua kaya. Sudah pasti kehidupan Neil Hedon, penuh kesenangan serta pergaulan bebas. Seperti asumsi Bianca dan Hazel.

"Lalu untuk acara pertunangannya, kita adakan garden party tertutup, agar bisa dilakukan dalam sehari." Sela terlihat antusias.

"Aku setuju! Yang jelas harus secepatnya. Agar mereka tidak melewati batas, ular akan mencari sarang dan sarangnya sudah kegatalan. Jadilah mesin penghasil bayi mungil. Anakku yang dingin, dengan putrimu yang bersemangat dan aktif!" Yulia berucap begitu cepat.

Sedangkan Dirgantara menghela napas."Omong-ngomong dimana suamimu, maksudku ayah Neil?"

Seketika raut wajah Yulia berubah suram, wanita itu tertunduk. Benar-benar berusaha untuk tersenyum."Kami dalam proses perceraian."

"Pria br*ngsek yang tidak pantas disebut ayah. Ibu tenang saja, cepat atau lambat aku akan menariknya turun dari jabatan CEO. Membeli semua sahamnya, kemudian pria yang bisa membuatku itu, akan menjadi karyawan biasa, tunduk pada putranya dan ibu." Kalimat dari Neil, tersenyum lembut memegang tangan ibunya.

Hal yang membuat Dirgantara merinding seketika. Pada awalnya dirinya mengira Neil anak berandalan biasa. Ternyata lebih dari itu, bagaikan...setan?

"Cheisia, sebaiknya kamu memikirkan ulang untuk menikah dengan---" Nasehat dari sang ayah disela.

"Aku setuju, atau lebih baik kita kirim pembunuh bayaran untuk istri kedua ayahmu." Kalimat keji Cheisia membuat hati Dirgantara retak. Bagaimana putrinya yang lembut dapat berfikir seperti boneka Annabelle?

"Sudah aku bilang, solusi paling tepat, injak telur suamimu sampai pecah. Jika itu aku, aku pasti sudah melakukannya." Sela meyakinkan Yulia.

Tapi kalimat dari istrinya membuat Dirgantara membayangkan sesuatu. Mungkin sepasang telur ayam yang pecah? Hal yang membuat dirinya merasa ngilu. Mungkin karena insting, Dirgantara merapatkan pangkal pahanya, bagaikan merasa itu sudah terjadi padanya.

"Aku tidak setuju dengan pertunangan ini. Ka...kalian seperti psikopat..." Dirgantara terdengar gelagapan.

"Jangan dengarkan dia." Sela terkekeh kembali membicarakan tentang pernikahan anak-anak mereka."Tentang gaun, aku punya rekomendasi butik. Ini kamu boleh melihat contoh-contoh gaunnya." lanjut Sela menyodorkan tab pada Yulia, dimana situs web yang sudah dibuka memperlihatkan berbagai jenis gaun dan tuxedo.

Kala Yulia menatap ke tab, saat itu raut wajahnya kembali ceria. Bagaikan perhatiannya teralih, seketika itu juga Sela menatap tajam ke arah suaminya. Bagaikan peringatan untuk tidak berbuat kesalahan lagi.

Sedangkan Bianca menatap jenuh. Apa yang istimewa dari pemuda berandal ini, selain wajahnya?

Kala itu dirinya mengirimkan pesan pada Elisa (ibu Hazel) karena pesannya tidak mendapatkan balasan dari sang pemuda.

'Tante, apa kak Hazel ada di rumah. Aku cemas karena dia tidak membalas pesanku.'

Dirinya kembali menghela napas menunggu jawaban. Elisa dan Hazel, dua orang yang akan mati-matian mendukungnya. Mengingat hutang budi mereka padanya.

Bagaimana ibu dan anak itu dapat begitu bodoh? Mempercayai hal yang tidak pasti, surat keterangan rumah sakit palsu, serta perhatian yang diberikan padanya. Tapi memang benar bukan? Hal-hal yang terbaik hanya pantas dimilikinya. Bukan Cheisia.

Namun, tidak ada balasan nomornya tiba-tiba diblokir oleh Elisa. Mengernyitkan keningnya, ini benar-benar aneh baginya.

Mencoba menghubungi Hazel juga percuma. Apa yang sebenarnya terjadi? Segalanya masih tanda tanya baginya. Mengigit kukunya sendiri, rencana yang sudah disusunnya, menjadikannya Hazel sebagai senjata untuk menyiksa Cheisia secara mental.

Tapi sekarang? Segalanya kacau balau.

"Bagaimana jika pernikahan nanti setelah kak Cheisia lulus kuliah saja. Jika sekarang bagaimana kakak berkarir nanti, bukankah Neil juga masih SMU. Tidak mungkin dapat menghidupi anak istrinya." Kalimat Bianca penuh senyuman, dirinya tidak akan membiarkan ini begitu saja.

"Benar! Neil belum bekerja jadi---" Kalimat Dirgantara disela.

"Kami tidak kekurangan uang untuk membeli beras dan susu." Yulia mengepalkan tangannya, tidak terima jika putranya direndahkan.

Willem Alexander Niel Andreas, putranya mengorbankan masa mudanya. Hanya bersenang-senang ketika di sekolah, sedangkan selebihnya? Dirinya harus mengawasi beberapa usaha besar milik Yulia. Belum lagi mewakili sang ibu mengikuti rapat pemegang saham.

Bagaimana putranya bisa disebut kurang mandiri? Gadis ini (Bianca) benar-benar cari mati.

"Ayah, ibu aku mau ke toilet dulu." Cheisia menyela pembicaraan menegangkan ini. Dirinya benar-benar sudah tidak tahan untuk ke kamar mandi.

Berlari cepat setelah Sela mengangguk. Kedua wanita paruh baya yang mulai kembali menatap tajam pada Bianca.

"Bu...bukan begitu maksudku." Bianca gelagapan, berusaha tersenyum. Padahal dalam hatinya berfikiran, bagaimana untuk menyingkirkan penghalang jalannya.

*

Suara toilet disiram terdengar, dirinya keluar menatap pantulan wajahnya di cermin."Bagaimana bisa Neil berubah begitu jauh..." gumamnya mengingat sosok suaminya sebelum waktu terulang.

Begitu humoris, romantis dan terkadang bertingkah konyol. Hal yang berlawanan, tapi hatinya masih berdebar pada pria yang sama.

Kala dirinya keluar dari kamar mandi, tangannya ditarik. Tubuhnya dipojokkan, pemuda yang mengacungkan jari telunjuk sebagai instruksi agar Cheisia diam.

Mata Cheisia melirik, mereka tengah bersembunyi di salah satu ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka.

Kala itulah percakapan seorang pelayan dan Bianca terdengar. Mungkin tadi kala dirinya tengah buang air terjadi perdebatan?

Entahlah...

Tapi Cheisia mulai mencerna situasi saat ini. Dirinya menelan ludah, samar terdengar Bianca mengatakan sesuatu pada salah seorang pelayan.

"Berikan ini dalam minuman berikutnya yang disajikan. Pastikan minuman itu dikonsumsi oleh Cheisia. Mengerti?" Tanyanya dijawab dengan anggukan oleh sang pelayan.

Neil mengintip, masih menutup mulut Cheisia menggunakan tangannya. Bubuk putih dalam bungkus kecil? Mungkin itu narkotika sejenis Heroine.

Amplop tebal mungkin berisikan uang tunai diberikan Bianca pada sang pelayan.

"Tapi jika saya tidak berhasil?" Tanya sang pelayan ragu.

"Besok aku akan memberikan ini secara berkala. Setiap minuman yang dikonsumsi Cheisia, taburkan sedikit. Aku hanya ingin dia kecanduan. Ini bukan racun, jadi kamu akan tetap aman." Bianca menepuk bahu sang pelayan yang mengangguk bersedia menerima perintah.

Kala itulah Bianca tersenyum melangkah pergi.

Cheisia mengepalkan tangannya. Jadi semakin dirinya melawan, Bianca akan semakin bertindak melewati batas? Sebelum waktu terulang, hal ini sama sekali tidak terjadi.

Menghela napas kasar dirinya perlahan tersenyum. Baik! Kita lihat siapa yang akan hancur terlebih dahulu, dirinya atau Bianca?

Tapi, hal yang mendebarkan kembali terasa kala sang pelayan dan Bianca pergi. Jantungnya berdegup cepat, dirinya menonggakkan kepalanya, menatap wajah Neil yang berjarak hanya beberapa centimeter.

"Ternyata urusan keluargamu begitu kacau ya?" Bisik Neil dengan suara kecil.

Tapi tidak ada jawaban dari Cheisia, dirinya hanya menatap ke arah Neil. Pemuda yang ingin pergi sejatinya. Dirinya hanya ingin ke toilet membicarakan kontrak pernikahan nantinya dengan Cheisia.

Namun, di tengah jalan malah mendengar percakapan Bianca. Ingin pergi tapi...

Entah siapa yang memulai secara alami mata mereka terpejam. Bibir mereka semakin dekat, beberapa millimeter lagi menyatu tapi.

'Aku ingin begini! Aku ingin begitu! Ingin ini, ingin itu banyak sekali. Semua...semua...semua...dapat dikabulkan, dapat dikabulkan dengan kantong ajaib.' Dering suara handphone Cheisia terdengar dengan nama pemanggil Tantra.

"Siapa?" Tanya Neil sedikit melirik."Kenapa dia menghubungimu malam-malam begini?" Sebuah pertanyaan dengan nada dingin dari orang yang tidak cemburu.