NovelToon NovelToon
Batas Yang Kita Sepakati

Batas Yang Kita Sepakati

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: Princess Saraah

Apakah persahabatan antara laki-laki dan perempuan memang selalu berujung pada perasaan?

Celia Tisya Athara percaya bahwa jawabannya adalah tidak. Bagi Tisya, persahabatan sejati tak mengenal batasan gender. Tapi pendapatnya itu diuji ketika ia bertemu Maaz Azzam, seorang cowok skeptis yang percaya bahwa sahabat lawan jenis hanyalah mitos sebelum cinta datang merusak semuanya.

Azzam: "Nggak percaya. Semua cewek yang temenan sama gue pasti ujung-ujungnya suka."
Astagfirullah. Percaya diri banget nih orang.
Tisya: "Ya udah, ayo. Kita sahabatan. Biar lo lihat sendiri gue beda."

Ketika tawa mulai terasa hangat dan cemburu mulai muncul diam-diam,apakah mereka masih bisa memegang janji itu? Atau justru batas yang mereka buat akan menghancurkan hubungan yang telah susah payah mereka bangun?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Princess Saraah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pulang Bareng

Jujur, kalau setahun lalu ada yang bilang aku bakal sering ngobrol langsung dan pulang bareng Fabian Bimantara, aku pasti cuma nyengir sinis dan bilang "Ya kali. Gak mungkin."

Tapi entah kenapa, hari-hari yang kujalani belakangan ini membuat kami semakin sering berinteraksi. Kami jadi sering bertemu dan mengobrol. Sampai akhirnya, hari ini, di mana aku bahkan satu kelompok bareng dia.

Temanya adalah membuat presentasi untuk tugas Bahasa Indonesia, dan guru kami memutuskan kelompok secara acak, yang artinya takdir sepenuhnya ikut campur. Aku, Fabian, tiga temanku lainnya yaitu Naura, Tania, plus satu anak Berbisa lainnya, Haikal.

Kami memutuskan untuk kerja kelompok di sekolah saja setelah jam pelajaran selesai. Kelas sudah agak sepi, hanya terdengar suara dari kelompok lain yang juga memutuskan untuk mengerjakan di tempat.

Aku duduk di kursi sebelah Fabian, membongkar laptopku dengan santai. "Oke, kita bikin pembagian tugas ya biar cepet," kataku.

Tania langsung mengangguk. "Gue bikin slidenya aja ya, soalnya gue kan cepat kalau urusan power point."

"Gue bagian nyari gambar," sahut Naura sambil membuka tab Google.

Aku menoleh ke arah Fabian. "Lo mau ambil bagian apa, Bian?"

Fabian memikirkan sebentar. "Lo aja kasih gue sama Haikal tugas."

Aku mengerti. Memang anak-anak Berbisa semua memenuhi peringkat terakhir di kelas, jadi wajar saja jika kerja kelompok begini mereka akan sangat pasif bila tidak diberi tugas. "Yaudah, kalau gitu lo sama Haikal buat rangkuman materi ya. Jadi nanti Tania tinggal masukin ke slide."

"Bisa gak, Kal?" Aku menatap Haikal yang dari tadi sibuk main HP.

Haikal cuma melirik sebentar. "Oke oke, bisa, Sya."

Tania menghela napas. "Ya udah, kita kerja aja dulu."

Kerja kelompok berjalan lumayan lancar. Aku bertugas mengecek kembali rangkuman materi dari Bian dan Haikal. Beberapa detail masih salah sehingga harus mereka perbaiki.

Sekitar satu setengah jam kemudian, tugas kami selesai. Naura langsung merapikan barangnya, Tania juga.

"Gue cabut dulu ya. Udah dijemput cowok gue di gerbang," kata Tania.

"Gue juga duluan ya," timpal Naura. "Nanti filenya kirim ke grup aja, Sya."

Mereka berdua pamit duluan. Tinggallah aku, Fabian, dan Haikal yang masih di kelas. Aku memutuskan untuk merapikan buku sambil mengambil ponsel dari tas.

"Lo pulang naik apa, Sya?" tanya Fabian, memecah keheningan.

"Dijemput mami." Aku mulai mengetik chat ke mami.

Beberapa menit kemudian, Naura kembali masuk sebentar hanya untuk mengambil charger yang ketinggalan. Begitu melihatku masih di kelas bersama Fabian dan Haikal, dia langsung nyeletuk, "Sya, mending nebeng Bian aja, lah. Dia kan bawa motor."

Aku langsung menggeleng. "Bian kan pulang sama Haikal. Lagian rumah kami beda arah."

Tapi Salsa malah nyengir. "Ya nggak apa-apa. Kan bisa muter dikit. Biar lo nggak nunggu dijemput lama-lama. lagian udah sore ini."

Fabian yang dari tadi diam, malah mengangguk santai. "Boleh aja. Gue nggak keberatan. Haikal bisa pulang jalan kaki."

Aku menatapnya. "Serius lo? Kesian lah Haikal malah disuruh jalan kaki."

"Serius lah. Rumah Haikal kan dekat, di arah belakang sekolah. Gak jauh lah. Ya kan, Kal?" jawabnya santai.

"Yoi. Gapapa, Sya. Udah sore juga ini. Kalau gitu gue pulang duluan ya. Nanti malam ke markas, Bian," kata Haikal tak kalah santai.

Naura malah makin semangat mendorong. "Tuh kan. Udah, Sya. Hemat waktu."

Akhirnya aku menyerah. Mami kuberi kabar kalau aku pulang nebeng temen.

Perjalanan pulang lumayan hening di awal. Angin sore menyapu wajahku, dan aku bisa mencium samar wangi parfum yang biasa Fabian pakai.

"Kita lurus, belok kanan apa kiri?" tanyanya di pertigaan.

"Kanan. Nanti lurus terus, sampai lapangan basket, belok kanan."

Dia mengangguk, lalu kembali fokus ke jalan. Sesekali kami melewati warung atau anak-anak kecil yang main sepeda di pinggir jalan.

"Lo beneran nggak keberatan nganter gue? Gue agak nggak enak," kataku setelah beberapa menit.

"Kalau gue keberatan, dari awal gue udah bilang," jawabnya cepat. "Lagipula lumayan lah, ada temen ngobrol di jalan."

Aku tersenyum kecil. "Ngobrol? Dari tadi kita diem."

Dia tertawa. "Ya lo bisa mulai ngobrol kapan aja."

Akhirnya aku bertanya, "Gimana hubungan lo sama Erina?"

"Gak gimana gimana," katanya santai.

"Lo nyerah gitu aja?"

"Ya gimana ya. Kalau dideketin ga direspons, ya udah, cari yang lain aja," Dia melirikku sebentar, lalu kembali ke jalan.

Aku mengangguk. "Okey deh."

"Jadi lo ngarep apa? Ngarep gue nangis, kaya lo nangisin Nizan?" gumamnya.

"Ih apaan sih lo. Itu rahasia ya. Awas aja sampai bocor," ancamku.

Fabian tertawa. "Iya iya."

Beberapa menit kemudian, motor berhenti tepat di depan rumahku. Aku turun, melepas helm yang tadi dia pinjamkan.

"Makasih ya, Bian," ucapku sambil menyerahkan helm. "Eh, mau mampir dulu nggak? Minum sebentar. Lagian lo kan belum pernah ke rumah gue."

Fabian sempat menatapku, seolah menimbang, lalu mengangguk santai. "Boleh deh. Lumayan buat istirahat."

Aku mengajaknya masuk. Mami yang sedang duduk di sofa ruang tamu, melirik begitu melihatku datang bersama Fabian.

"Ma, kenalin, ini temen sekolah adek. Fabian," ucapku cepat.

Fabian langsung tersenyum sopan, sedikit membungkuk. "Selamat sore, Tante."

Mami membalas senyum itu. "Sore. Silakan duduk, Fabian. Panggil Mami aja, kalau tante kemudaan banget rasanya."

"Hahaha. Eh, Iya Mi."

"Bentar ya, diambilin minum."

"Terima kasih, Mi," jawab Fabian.

Aku meninggalkan mereka di ruang tamu sambil membawa tas ke kamar di lantai dua. Rencananya, aku cuma mau menaruh barang, cuci muka sebentar, lalu kembali turun.

Tapi sebelum sempat keluar kamar, langkah cepat menghentikan jalanku. Kak Ruby. Dia berdiri di ambang pintu dengan wajah tegang, kedua tangannya menggenggam sesuatu.

Dua gantungan kunci kayu. Yang satu berinisial namaku, yang satunya lagi berinisial namaku dan Nizan.

Aku langsung merasa perutku menciut.

"Lo bilang udah nggak ada perasaan apa-apa sama Nizan." Suaranya datar, tapi aku bisa mendengar amarah di dalamnya. "Tapi ini apa?"

Aku menelan ludah. "Itu cuma kenang-kenangan aja, Kak. Nggak ada maksud lain."

"Kenang-kenangan?" Mata Kak Ruby menyipit. "Kalau memang nggak ada perasaan, kenapa masih disimpan? Lo pikir gue nggak tahu artinya?"

Aku berusaha tetap tenang. "Kak, serius. Itu nggak berarti apa-apa. Gue cuma malas buang barang begitu aja. Udah lama juga nggak gue sentuh."

Kak Ruby menggeleng cepat. "Gue nggak percaya."

Aku meraih lengannya pelan. "Kak, please deh. Jangan ribut di sini. Ada temen gue di bawah. Gue malu kalau sampai dia dengar."

Sayangnya, permintaanku tidak langsung meredakan amarahnya. Nafas Kak Ruby mulai berat, dan aku makin panik membayangkan kalau Fabian di bawah sana sampai bisa dengar suara kami.

Tiba-tiba, pintu kamar diketuk pelan. Suara Mami terdengar dari luar. "Kalian kenapa? Dari bawah kedengeran ribut."

Aku langsung bergerak cepat. Dengan satu tarikan, aku merebut dua gantungan kunci itu dari tangan Kak Ruby, membuka jendela kamar, dan tanpa pikir panjang melemparnya keluar.

Gantungan itu jatuh entah ke mana, mungkin ke semak-semak di halaman samping.

Kak Ruby menatapku, kaget sekaligus marah. "Tisyaaa..."

"Nggak ada apa-apa, Ma!" potongku cepat, mencoba menahan suara agar tidak terdengar panik. "Cuma salah paham."

Mami masuk ke kamar, memandangi kami bergantian. "Salah paham apa sampai harus teriak-teriak?"

Aku buru-buru berjalan ke arah pintu kamar. "Udah, Ma. Nggak usah dibahas. Adek mau anter Bian pulang."

Tanpa menunggu tanggapan, aku melangkah keluar kamar, menuruni tangga dengan cepat. Begitu sampai di bawah, Fabian masih duduk tenang di sofa, memegang gelas teh es yang mami tadi suguhkan.

"Bian, ayo," kataku singkat.

Dia sempat menatapku, sepertinya menyadari ada sesuatu yang tidak beres, tapi tidak bertanya. Dia hanya berdiri, pamit sopan pada Mami, lalu ikut keluar bersamaku.

Begitu pintu rumah tertutup, aku menghela napas panjang. Rasanya seperti baru saja kabur dari adegan memalukan.

1
Asseret Miralrio
Aku setia menunggu, please jangan membuatku menunggu terlalu lama.
Daina :)
Author, kita fans thor loh, jangan bikin kita kecewa, update sekarang 😤
Saraah: Terimakasih dukungannya Daina/Heart/
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!