Menyukai seseorang tanpa tahu balasannya?
tapi dapatku nikmati rasanya. Hanya meraba, lalu aku langsung menyimpulkan nya.
sepert itukah cara rasa bekerja?
ini tentang rasa yang aku sembunyikan namun tanpa sadar aku tampakkan.
ini tentang rasa yang kadang ingin aku tampakkan karena tidak tahan tapi selalu tercegat oleh ketidakmampuan mengungkapkan nya
ini tentang rasaku yang belum tentu rasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asrar Atma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
perjalanan Sore
Pov Daniza
Hari sudah cukup sore sekarang ini dan angin berhembus cukup nyaman untuk bersepeda menuju ke rumah Winda sebelum pulang. Mungkin tidak apa pikirku, jika aku sedikit terlambat hari ini. Selama Lani tidak ada di rumah nya maka orang rumah tidak akan terlalu kawatir seperti jum'at lalu waktu kerja kelompok dadakan, Mama langsung cari tahu ke rumah Lani. Dan Lani selalu bawa Hanphone untuk mengabari orang rumah seperti untuk agenda satu ini yang tidak terencana.
Jalanan mulai sepi, mungkin karena hampir semua anak sekolah sudah pulang. Untuk kerumah Winda yang juga berdekatan dengan rumah Aca kami perlu berbelok melewati jalan kotak hilir mudik ke sebelah Timur. kata Ayah nama jalan di kampung Tepat itu, Sama seperti nama mata angin, kecuali jalan kami karena punya tikungan dari jalan Barat.
"Itu rumah Han"Aca menunjuk satu rumah yang terbuat dari beton bercat coklat, rumahnya cukup besar dan bagus. Halaman nya juga luas dan terlihat rindang dengan beberapa pohon flamboyan ditiap sisi.
Jantungku seketika berdebar kencang, hal yang tidak dapat ku mengerti apa ini. Aku hanya melihat rumah tempat orang yang ku suka bernaung selama ini,bukan orangnya. Bagaimana kalau lihat orangnya kalau begini Bisa-bisa sepeda ku oleng mungkin.
"Han tinggal bareng paman sama keluarga Bibi nya, mereka berlima dirumah itu"
Aku baru tahu rumah Haneul,Selama ini aku tidak tahu apapun tentang Haneul meskipun aku menyukainya. Itu karena aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku tahu banyak tentangnya. Selain menatapnya dari jauh dan dalam diam menggemakan rasa.
Aku panjangkan leherku sedikit saat melewati rumah Haneul tapi pintu yang terbuka lebar itu tidak menunjukkan adanya seseorang yang ku cari. Dikit aja padahal, kuku kaki nya juga nggak apa-apa. Namun pintu yang sudah selebar itu mengnga masih menyembunyikan Haneul dari pengelihatanku. Namun saat tatapan mataku jatuh pada tangan kanan ku yang merasakan hangat telapak tangan Haneul, aku seketika merasa malu sekaligus takut. Dan berharap tidak bertemu dengannya di jalan Timur ini.
"Aku dengar dari temannya-teman Rina katanya paman Han itu adik dari ayahnya Han"
Tidak mengira akan secepat ini mendengarkan cerita tentang Haneul setelah tadi baru saja mengeluh tidak tahu apapun tentang nya kecuali bermain teka teki tentang perasaan dan sikapnya padaku.
Dan aku perlu tahu lebih banyak lagi, kebetulan semacam ini jarang sekali terjadi-dimana aku bisa mendengar cerita harian tentang Haneul
"Jadi anak lelaki yang diantar waktu itu adik sepupunya berarti"aku mencoba bertanya, hal yang belum pernah aku lakukan meski ingin tahu banyak tentang Haneul. Itu karena aku harus terus menahan diriku agar tidak tampak pada siapapun tentang perasaan ku.
"Oh..yang kamu lihat itu Fazar, anak bungsu bu Fatwa"
"Tapi aku heran kok,bisa Han betah tinggal disana. Jadi guru aja yang ketemu nya cuma 3 jam seminggu udah puas, apalagi kaya Han yaa"
"namanya juga keponakan sama bibi ya pasti bedalah perlakuannya, bu Fatwa kalau disekolah itu profesional kalau dirumah kan aslinya jadi diri sendiri bisa saja orangnya lembut" lalu tidak lagi terjadi percakapan. Semuanya terdiam, membuatku urung untuk bertanya lagi tentang Haneul. Kawatirnya mereka curiga lalu memberitahu Haneul dan lalu bagaimana jika itu membuat Haneul muak, setidaknya beri aku persiapan kan?, sebelum benar-benar ditolak dan dijauhi.
"Itu rumah Winda" tunjuk Aca pada rumah beton dengan cat putih yang terlihat megah. Halaman nya luas dengan dominasi bunga melati Jakarta yang tertata rapi. Didalam rumah itu sendiri telah ramai oleh suara anak-anak yang datang beserta walinya.
"Yang itu rumahku" kali ini Aca menunjuk rumah kayu yang terbuat dari ulin dengan halaman yang lebih kecil dari tempat Winda. Tidak ada tanaman yang ada hanyalah padang rumput hijau yang rapi.
"Ini pertama kali kalian mampirkan ?"
"Ya iya kan nggak ada alasan kenapa kemari, main juga ngga pernah diajak" Aca terkekeh, kami berhenti dirumah Aca yang hanya berjarak satu rumah dari rumah Winda.
"Aku sama Winda juga nggak tahu tuh rumah kalian berdua padahal dari kecil udah saling kenal,satu kampung lagi"
"Impas lah berarti" Ujarku seraya tersenyum lalu menurunkan standar sepedaku.
"Impas doang ngga ada tawaran memangnya ?" Aca memasang wajah manyun.
"Boleh kalau ada acara dirumah" Aca berubah antusias demi mendapatkan kepastian dari Lani
" kapan?" Namun langsung manyun saat jawaban itu tidak sesuai harapannya.
Dari rumah Aca kami berjalan untuk menuju rumah Winda, diteras Ali melambaikan tangannya seraya tersenyum- girang sekali.
"Baru nyampe, tepat waktu kalian"Winda datang dari dalam segera menyambut kami, mempersilahkan masuk.
Tapi seseorang dibelakangku mendorong pelan punggungku, aku menoleh dan memberi tatapan tajam pada Ali."oke-oke"seraya tertawa dia mengangkat kedua tangannya keatas, bagai menyerah.
"Ayo dimakan"Ibu Winda menawarkan setelah menghidangkan dua piring lontong dihadapan ku dan Lani
"Kalian dua ini satu ruangan juga sama Winda"
"Benar bu, cuma pas SMP yang beda" Lani yang menjawab, aku cuma pelan-pelan memotong nasi lontong dan telur lalu hati-hati mengunyah nya
"Yang satu ini pacar siapa?"ibu Winda menunjuk Ali yang langsung menggaruk tengkuk nya.
"Lagi pendekatan dulu, Bu" Winda datang dengan membawa dua piring lontong lainnya lalu menyerahkan masing-masing pada Aca dan Ali.
"Yang mana ceweknya ?, ada tiga disini loh" aku menegang, takut sekali Aca bawa-bawa namaku. Karena sedari awal hanya dia yang paling senang menggoda ku seperti itu.
"Kalau aku ngga mungkinlah Bu, aku udah punya pacar"ibu Winda mengangguk sambil tersenyum.
"Yaudah...ayo dimakan, Ibu tinggalkan dulu nemu Ibu-ibu yang lain"
"acara nya mau selesai ini Win?" Tanyaku pada Winda seraya mengedarkan pandanganku pada sekitar, dimana anak-anak sudah mau pulang.
"Padahal tadi masih rame, pas kami baru sampe rumah Aca" dan mataku jatuh pada pemandangan diteras saat salah satu bocah laki-laki menendang sepatuku, kurang ajar sekali.
"oh..itu,tadi itu udah bagian akhir nerima bingkisan"beruntung ibunya bertanggung jawab, memperbaiki lagi tapi tidak memarahi anaknya. Kalau Mama yang disana, setidaknya Mama memberi pelototan sambil menyuruh untuk mengambil sepatu itu lagi
"namanya hampir telat ini Win, bukan tepat waktu lagi" Lani disebelah ku menyenggol lenganku, aku menoleh dan mulai melanjutkan makan ku.
" tepat waktu kok Lan, buat makan. Kalau rame kan susah kalian makannya. Aku juga hampir telat, datang-datang udah potong kue tadi"
"Daniza..kamu celemotan" aku mendongak dan melihat Ali yang menunjuk lingkaran mulutnya, lalu suara'cie..'datang dari Aca yang tersenyum penuh ejekan sambil berkata"bersihkan lah Ali, jangan cuma lihat doang."aku segera mengusap mulutku dengan lengan seragam sekolahku, hingga kain putih itu kotor oleh kuah lontong-Mama pasti marah kalau lihat meskipun aku yang cuci.
Aku melambaikan tangan pada Aca dan Winda seraya mengayuh sepeda, setelah makan kami memang langsung pulang karena hari yang semakin sore.
"keponakan Winda lucu kan Dan..?" aku mengangguk membenarkan pertanyaan Lani, bertamu dirumah Winda itu seru sebenarnya apalagi melihat kelakuan keponakan Winda yang baru bisa bicara. Hanya saja menjadi membosankan saat Ali terus-menerus membuntuti seperti sekarang, dibelakang sana mau saja mengendarai motornya lambat.
"Kamu juga punya adik kecil kan Dan ?,rumahmu juga pasti seru. Kalo dirumahku itu sepi Dan, namanya juga anak tunggal. Pengen punya saudara lain tapi Mama sama Bapak itu kata nya cukup satu doang, biar aku ke urus" dibelakang sana Ali memberi klakson, Lani menoleh dan menyuruhnya duluan.
"Ganggu sekali kan Dan?, disuruh duluan malah nyengir"
"Iya ngeselin bangat, dia sok akrab padahal dulu engga tuh. Aneh.."
"Gimana Dan..?"
"Apanya?"
"Punya banyak saudara?"
"Rame..tapi kadang juga bikin emosi kalau udah mulai nakal. Dan pembagian jajan jadi sedikit karna harus berbagi belum lagi kalo Delia udah besar. Dan yang paling nye.."ucapan ku menggantung, saat mataku tanpa sengaja melihat Haneul duduk di teras rumahnya.
Rambutnya masih basah dan itu masih menetes sampai baju kaos polos berwarna hitam itu ikut basah. Tatapannya yang terasa tepat dimataku, membuat tanganku gemetar dan lutut ku melemas hingga sepedaku oleng dan..Brukk
"Daniza..."
sial namaku juga rina/Facepalm/
aaaaaaa aku tak sanggup menungguuuu