Sungguh kesialan bagi gadis yang bernama Lestari karena dia harus menikah dengan gurunya sendiri yang bernama Mattew. Guru killer yang sangat di benci Lestari.
Semua itu berawal saat mereka kepergok bermesraan oleh seorang pria paruh baya di dalam mobil saat hujan deras. Pria paruh baya itu tidak lain adalah Paman Lestari sendiri.
Lalu bagaimana kisah mereka selanjutnya?
Mengingat Mattew juga mempunyai kekasih yang sangat di cintainya, di tambah lagi Lestari masih sekolah. Akhirnya mereka sepakat untuk menyembunyikan pernikahan tersebut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lena linol, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pindah Kamar
Mattew menatap tajam 15 siswa yang terlibat pengeroyokan Lesta. Dia tidak akan melepaskan para siswa tersebut yang sudah membuat istrinya terluka. Saat ini mereka semua berkumpul di ruangan guru. Dan tentu saja, semua guru di sana juga turut menyaksikan sesi introgasi tersebut.
“Jelaskan kepada Bapak sejujur-jujurnya! Kenapa kalian mengeroyok Lesta?” tegas Mattew, menuntut penjelasan.
“Lesta yang mulai duluan, Pak! Dia sudah mengganggu Evelyn!” sahut salah satu siswa sambil menunjuk Lesta yang berdiri di dekat Sam.
“Apa benar begitu, Lesta?” Mattew menatap Lesta dengan lekat.
“Aku melakukannya karena untuk membela diri, karena selama ini Evelyn dan hampir semua murid di sekolah ini mem-bully aku!” jawab Lesta balik menatap Mattew dengan tajam.
Mattew segera mengalihkan pandangannya, lalu menggaruk pelipisnya dengan salah satu jarinya, mendadak salah tingkah saat di tatap tajam oleh istri kecilnya. Tapi, dia juga sangat geram dan emosi saat mendengar penjelasan dari Lesta. Jujur saja, Mattew selama ini tidak tahu kalau Lesta sering mendapatkan bullyan.
“Bohong! Yang di katakan Lesta bohong!” seru para siswa yang kompak membela diri.
“Bisa di cek CCTV, Pak, kalau ingin tahu kebenarannya!” sahut Sam.
Mattew mengangguk, setuju dengan usul Sam, karena di setiap sudut sekolah tersebut di lengkapi dengan CCTV, kecuali di dalam toilet.
“Bubar semuanya!” titah Mattew kepada semua muridnya yang ada di sana.
Mattew menghela nafas kasar ketika semua muridnya sudah keluar dari ruangan guru. Kemudian ia menatap satu-persatu guru yang ada di sana. “ke ruangan meeting sekarang juga, dan jangan lupa panggil kepala sekolah!” tegas Mattew.
“Baik, Pak,” jawab semua guru yang ada di sana dengan kompak.
Mattew adalah pemilik sekolahan swasta tersebut, jadi tak khayal jika para guru bahkan kepala sekolah takut dan hormat kepada Matttew.
*
*
“Kira-kira kita akan dapat hukuman atau tidak?” tanya Sam kepada Lesta yang berjalan beriiringan dengannya.
“Tidak, kita tidak akan dapat hukuman,” jawab Lesta dengan mantap.
“Dari mana lu tahu? Bukankah selama ini para guru lebih pro ke Evelyn dan padra kacungnya?” Sam menatap Lesta dari samping.
“Kan, ada rekaman CCTV sebagai bukti kalau kita nggak salah,” jelas Lesta, memberikan alasan yang tepat.
“Oh, benar juga.” Sam menganggukkan kepalanya berulang kali bertanda kalau dia paham dan setuju dengan penjelasan Lesta.
“Kamu yang menyarankan kepada Pak Mattew untuk mengecek CCTV, tapi kamu juga yang terlihat ragu,” sahut Lesta sambil terkekeh lalu menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat tingkah Sam.
“Emh ... Sam, tawaran kamu masih berlaku nggak?” Lesta mengubah topik pembicaraan.
“Tawaran yang mana?” Sam berjalan pelan mengikuti langkah kaki Lesta di koridor sekolahan tersebut.
“Ih! Dasar pikun! Katanya kamu mau ngajak aku jalan!” jawab Lesta sedikit kesal pada temannya yang mendadak menjadi pelupa.
“Lu mau?” tanya Sam dengan wajah yang berbinar.
“Mau, sebagai ucapan terima kasih karena kamu sudah menolong aku dari peristiwa pengeroyokan itu.” Lesta menatap Sam yang kini melakukan selebrasi dengan cara mengepalkan tinju di depan dada sambil bersorak ‘Yes! Akhirnya!’.
*
*
Mattew menatap rekaman CCTV sekolah dari laptopnya. Setelah selesai ia menatap semua guru yang sudah duduk di ruangan meeting.
“Jadi selama ini kalian sudah tahu kalau Lesta di bully sama teman-temannya, tapi kalian diam saja?! Mata dan hati nurani kalian di mana?!” geram Mattew, kesal dan marah bercampur menjadi satu di dalam dada.
“Maafkan kami, Pak, kami salah. Tapi, kami juga tidak bisa berbuat apa-apa karena kedua orang tua Evelyn adalah donatur tetap di sekolahan ini,” jawaban kepala sekolah sebagai perwakilan para guru yang ada di sana.
“Bapak di pecat!” Mattew tidak main-main saat ini, dan dia sudah tidak mentoleransi guru yang masih cuek dengan kasus bullying di sekolah, apalagi membedakan kasta. Di tambah yang di bully adalah istrinya sendiri, jelas dia tidak terima.
Kepala sekolah itu terdiam dan keringat dingin mulai muncul membasahi telapak tangannya, ia melirik beberapa guru yang ada di dekatnya, berharap mendapatkan bantuan, akan tetapi semua guru itu diam, dan tidak ada yang membelanya.
“Siapa lagi yang mau bernasib sama dengan Kepala sekolah?! Jika masih mau mengajar di sini, maka ikuti aturan. Mau orang tuanya donatur atau orang berpengaruh di negara ini, jangan jadikan alasan untuk membela para pembully! Apakah kalian tidak memikirkan mental dan psikis si korban bulliying ini?” geram Mattew menatap satu persatu para guru yang tertunduk.
“Jangan rusak citra sekolahan ini dengan sikap sampah kalian!”
“Baik, Pak, Maafkan kami,” jawab semua guru dengan kompak.
*
*
Jam sekolah telah habis, semua para murid berhambur keluar dari kelas masing-masing. Mattew pulang lebih dulu setelah urusannya di sekolah selesai.
“Loh, kok kamu balik lagi? Katanya mau ke Paris?” Melisa menatap putranya dengan keheranan.
“Aku membatalkan penerbanganku karena mendapatkan kabar dari sekolah kalau Lesta di bully sama teman-temannya,” jelas Mattew langsung berlalu melewati ibunya yang tampak terkejut.
Sampai di tengah tangga, ia berpas-pasan dengan Bi Darmi.
“Bi, pindahkan semua barang-barang Lesta ke kamarku!” titah Mattew membuat Bi Darmi terkejut.
“Ta-tapi, Tuan ...”
“Jalankan perintahku jika masih mau bekerja di sini!” tegas Mattew sekaligus mengancam Bi Darmi, kemudian ia melanjutkan langkahnya menapaki anak tangga menuju lantai atas.
Mau tidak mau akhirnya Bi Darmi memerintahkan beberapa pelayan agar memindahkan semua pakaian dan buku sekolah Lesta ke dalam kamar Mattew.
Lesta memarkirkan motornya di garasi rumah mewah tersebut. Lalu segera memasuki rumah, tempat yang dia tuju sekarang adalah dapur, dia ingin mengambil air minum untuk meredakan rasa dahaganya.
“Lesta!” seru Melisa kepada Lesta yang sudah selesai minum di dekat kulkas yang ada di dapur.
“Iya, Nyonya ...” Lesta segera menghampiri mertunya dengan langkah cepat.
Melisa terdiam saat melihat ujung bibir Lesta terluka dan pipi gadis itu juga terlihat merah.
“Tidak jadi! Sana istirahat!” Melisa berkata ketus seraya mengibaskan tangannya.
“Baik.” Lesta patuh dan segera menuju paviliun, akan tetapi saat sampai di sana dia terkejut saat Bi Darmi memerintahkannya pindah ke kamar Mattew.
“Nggak mau! Aku mau di sini saja!” rengek Lesta pada Bi Darmi yang tetap mengusirnya dari sana.
“Lesta, jangan membuat Bibi susah. Tuan Mattew akan sangat marah dan akan memecat Bibi kalau kamu tidak mau menurut,” mohon Bi Darmi kepada Lesta.
“Tapi, Bi ...”
“Sudah sana, ke kamar Tuan Mattew sebelum dia mengamuk!” Bi Darmi membalikan badan Lesta agar segera keluar dari paviliun tersebut.
Dengan terpaksa, Lesta melangkah gontai menuju kamar Mattew. Lesta berdecap sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada ketika mengingat betapa mesumnya suaminya itu saat berada di ruangan UKS.
“Ada di dalam UKS saja mengerikan apalagi di dalam kamarnya sendiri, bisa jadi tempe penyet aku!” gerutu Lesta merasa takut.