Seorang dokter jenius dari satuan angkatan darat meninggal karena tanpa sengaja menginjak ranjau yang di pasang untuk musuh.
Tapi bukanya ke akhirat ia justru ke dunia lain dan menemukan takdirnya yang luar biasa.
ingin tau kelanjutannya ayo ikuti kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Malam ketiga perjalanan, rombongan berkemah di tepi sungai. Api unggun menyala, menerangi wajah-wajah lelah. Wu Jing duduk bersama jenderalnya, membicarakan strategi.
Xiaoran duduk tak jauh, pedang peraknya bersandar di pangkuan. Xiumei tertidur bersandar di bahunya, tubuhnya masih rapuh.
Mo Feng mendekat, duduk di seberangnya. “Kau terlihat… semakin terbebani.”
“Aku ratu, katamu,” Xiaoran tersenyum pahit. “Tapi aku merasa seperti boneka yang ditarik oleh langit. Apakah aku benar-benar memilih jalan ini, atau jalan ini memilihku?”
Mo Feng menatap api, wajahnya serius. “Takdir memang memilihmu. Tapi caramu berjalan di jalan itu… itu sepenuhnya pilihanmu. Kau bukan boneka, Xiaoran. Kau pedang. Dan pedang… selalu memilih siapa yang layak dipotong.”
Xiaoran terdiam, merenungkan kata-katanya.
Setelah seminggu perjalanan, mereka tiba di kaki Gunung Kabut. Dari kejauhan, gunung itu tertutup kabut tebal yang berputar-putar seperti naga tidur. Pohon-pohon di sekitarnya kering, tanah retak, dan udara terasa berat.
Shui Ying mengangkat kepalanya. “Kabut ini bukan kabut biasa. Ini kabut yang lahir dari segel yang mulai runtuh.”
“Artinya segel ketiga benar-benar di sini,” gumam Xiaoran.
Wu Jing memberi aba-aba pada pasukan. “Kita akan membuat barisan di kaki gunung. Hanya Xiaoran, Xiumei, dan makhluk-makhluk ilahi yang masuk. Prajurit biasa tak akan tahan di dalam kabut ini.”
Para prajurit mengangguk, meski jelas ada ketakutan di wajah mereka. Mereka tahu, pertempuran yang akan datang bukan untuk manusia biasa.
Xiaoran menggenggam pedangnya erat, lalu menatap Xiumei. “Kau siap, jie jie?”
Xiumei tersenyum pucat. “Bersamamu, aku selalu siap.”
Mo Feng berdiri di samping mereka, auranya sudah mulai bergetar ungu-hitam. “Kalau begitu, mari kita sambut segel ketiga.”
Begitu mereka masuk, dunia berubah. Langit tak terlihat, hanya kabut tebal berputar. Suara bisikan terdengar dari segala arah: suara orang menangis, menjerit, tertawa gila. Bayangan samar berlarian di balik kabut, membuat ilusi menakutkan.
Xiumei berpegangan pada tangan Xiaoran, tubuhnya gemetar. “Ran’er… aku mendengar suara ayah…”
Xiaoran menoleh cepat. “Jangan dengarkan, jie jie! Itu ilusi kabut. Mereka mencoba meracuni pikiran kita.”
Tiba-tiba, tanah di depan mereka retak. Dari dalam muncul sosok tinggi, lebih mengerikan daripada Penjaga sebelumnya. Tubuhnya seperti batu hitam pecah, di punggungnya tumbuh sayap kabut raksasa. Matanya merah menyala.
“Aku Penjaga Segel Barat,” suaranya bergema. “Kalian berdua… keturunan langit… darah kalian adalah kunci. Serahkan tubuh kalian, dan kabut akan bebas!”
Xiaoran menghunus pedangnya, cahaya perak menyala. “Kalau itu yang kau inginkan… maka kau harus meraihnya dengan melewati pedangku!”
Suara raungan Penjaga Segel Barat mengguncang seluruh pegunungan. Kabut berputar liar, menelan pepohonan, menciptakan gemuruh seperti badai. Tubuhnya yang hitam-retak menjulang hingga menyentuh langit kabut, sayap kabut raksasanya mengepak perlahan, setiap gerakan menyemburkan pusaran energi gelap.
Li Xiaoran menggenggam pedang peraknya dengan erat. Aura perak-ungu meledak dari tubuhnya, membelah sedikit kabut di sekitar. Di sampingnya, Xiumei berdiri dengan wajah pucat, namun matanya berkilat penuh tekad. Di belakang mereka, Mo Feng menegakkan tubuh, aura hitam-ungu menyala di tubuhnya, matanya penuh badai—separuh darahnya berasal dari dunia kabut, tapi ia memilih berdiri di sisi cahaya.
Shui Ying, melayang tinggi dengan tubuh panjang berkilauan seperti laut dalam yang hidup. Bulu-bulu Yue Lan menyala dengan api putih murni, sayapnya membuka lebar, menyinari kegelapan. Bai He berdiri tegak, ekornya menyibakkan kabut dengan elegan, tiap hentakan memancarkan cahaya perak seperti bulan. Sementara Ruan Tian, menggeram keras, tubuhnya bagaikan gunung hidup, matanya dingin dan penuh wibawa. Luo Yun memasang perisai pada Li Xiaoran dan Li Xiumei
Mereka bukan sekadar kontrak, bukan sekadar “pengawal.” Mereka berdiri seperti saudara agung yang menjaga sang ratu dan darahnya. Elegan, penuh harga diri, seperti raja dari dunia roh.
Penjaga Segel Barat membuka rahangnya yang hitam, suara seperti ribuan gong pecah menggema:
“Darah langit… serahkan tubuhmu! Denganmu, segel akan hancur. Tanpa segel, dunia akan kembali ke zaman kabut. Kami akan bebas!”
Xiumei menggigil. Tangan Xiaoran meraih tangan kakaknya erat-erat. “Jangan dengarkan,” bisiknya. “Itu hanya racun kabut. Kita yang memilih takdir kita, bukan mereka.”
Namun bisikan kabut semakin dekat, seolah menyusup ke dalam pikiran. Xiaoran mendengar suara-suara samar suara Wu Furen, ibunya, menangis; suara ayahnya, Menteri Li, yang dulu membuangnya, kini memohon.
“Ran’er… kau harus menyerah. Dunia terlalu besar, kau terlalu kecil…”
Xiaoran memejamkan mata, menggenggam pedangnya makin kuat. Cahaya peraknya berdenyut, memotong suara-suara itu. “Aku tidak kecil. Aku pedang. Dan pedang… tak pernah tunduk!”
Penjaga Segel mengayunkan sayap kabutnya. Dari sana lahir ribuan tombak hitam, melesat ke arah mereka seperti hujan mematikan.
“Formasi!” seru Xiaoran.
Shui Ying melingkar di udara, sisiknya menyala biru, menciptakan dinding air yang berputar. Tombak-tombak kabut menabrak air biru itu, sebagian hancur, sebagian lolos. Yue Lan terbang cepat, sayapnya berkilat, melepaskan hujan bulu api putih. Setiap bulu menabrak tombak kabut, menyalakannya hingga lenyap jadi abu.
Bai He, memotong sisa-sisa tombak yang lolos. Ruan Tian mengaum, tubuhnya menerkam, cakar putih bercahaya membanting tanah gelombang cahaya menghempas ke depan, menghancurkan tombak terakhir yang hampir mencapai Xiaoran.
Kabut berguncang, bergetar. Penjaga Segel menjerit marah.
Mo Feng melangkah maju, aura ungu-hitamnya menyala, cakar hitamnya membelah udara. “Kau lupa satu hal, Penjaga. Aku juga darahmu.” Sorot matanya dingin. “Tapi aku memilih melawanmu!”
Dengan teriakan keras, ia menerkam, cakar hitamnya menembus sayap kabut Penjaga. Kabut mendesis, tubuh raksasa itu mundur setengah langkah. Lingkaran Segel
Di tanah di bawah kaki mereka, lingkaran batu kuno mulai bersinar samar. Simbol-simbol kuno berdenyut merah, retakan melebar, dari dalamnya kabut merembes tanpa henti.
Xiumei menatap lingkaran itu, napasnya terengah. “Ran’er… retakan itu hampir terbuka penuh. Kita harus mulai menutupnya sekarang!”
Xiaoran mengangguk, mata tegas. Ia mengangkat pedangnya, menancapkannya ke pusat lingkaran. Cahaya perak langsung menyebar, simbol-simbol kuno bergetar. Xiumei meletakkan tangannya di atas batu, cahaya ungu dari tubuhnya menyatu dengan cahaya perak.
Aura mereka bersatu, menjulang ke langit seperti tiang cahaya. Untuk sesaat, kabut di sekitar mereka mundur, berdesis seolah terbakar.
Namun Penjaga Segel menjerit. “Tidak! Darah itu milik kami!” Ia mengayunkan sayapnya lagi, kali ini membentuk pedang kabut raksasa, menghunus ke arah lingkaran.
Shui Ying meluncur ke depan, melilit pedang kabut dengan tubuh naga birunya. Yue Lan ikut membakar dengan api putih. Bai He melepaskan bulu peraknya, Ruan Tian menghantam dengan cakarnya. Namun pedang kabut terlalu besar perlahan menekan, mendekat.
Mo Feng melesat, tubuhnya berubah sebagian. Tanduk hitam-ungu muncul di dahinya, aura kabut menyatu dengan aura cahaya. Ia menahan pedang kabut dengan cakar keduanya. Tubuhnya terguncang, darah keluar dari bibirnya, tapi ia tak mundur. “Cepat! Selesaikan segelnya!”
Xiaoran dan Xiumei berteriak bersamaan, tubuh mereka bergetar hebat. Cahaya perak dan ungu makin kuat, tapi retakan segel masih menolak.
“Ran’er!” Xiumei menahan tangannya yang berdarah. “Kalau begini… aku harus menyerahkan lebih banyak. Biarkan roh leluhurku—”
“Tidak!” Xiaoran menatap kakaknya, mata berkaca. “Jangan lagi korbankan tubuhmu! Aku yang akan—”
Namun sebelum ia selesai, suara lembut terdengar di benaknya. Suara seorang wanita tua, penuh wibawa.
“Li Xiaoran… cucu kami… darahmu memang pedang, tapi pedang tak bisa sendiri. Izinkan kami berdiri bersamamu.”
Bersambung
btw kbr pangeran kedua dan permaisuri gmn ya? gk dibahas lg ending nya
mana misterius pulak lagi
ngambil kesempatan dalam kesempitan ini namanya, gak mau buang tenaga tapi cuma mau untung nya aja.