JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK KALIAN🙏🏻
Ekonomi membuat Rian yang sudah memiliki istri bernama Elsa, menghalalkan segala cara untuk bisa menafkahi istri dan anaknya yang masih balita.
Rian mengaku memiliki job di luar daerah, dan jarang sekali pulang ke rumah. Pada nyatanya, Rian hanyalah seorang mainan dari seorang wanita kaya, yang memintanya untuk menjadi teman tidurnya.
Apakah Rian akan terus melakukan hal ini, atau kembali kepada istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aisyah az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Rian
“Elsa, apa kamu tidak punya telinga? Kalau kamu mendengarku, kamu harus keluar sekarang juga! Keluar, Elsa!” teriak Rian lagi.
“Tuh, dia benar-benar setan,” sinis seseorang.
Elsa yang berada di dalam kamar mandi begitu mendengar suara teriakan Rian yang membabi-buta langsung keluar setelah mengenakan daster hitamnya. “Ada apa Mas Rian itu teriak-teriak di luar. Apa dia tidak bisa masuk saja?” tanya Elsa pada dirinya sendiri.
Langkahnya buru-buru berjalan ke depan dan membuka pintu, seketika kedua mata Elsa membulat melihat pemandangan di depannya. Rian sudah berdiri di tepi teras dengan tatapan menyala dan kedua tangan yang terkepal seperti hendak memberikan tonjokan pada wajah Elsa. Wanita itu jelas terkejut dengan tingkah Rian kali ini. Lebih dari itu Elsa juga baru sadar bahwa banyak tetangga yang menonton mereka, bahkan beberapa ada yang mengarahkan kamera seakan mereka berdua tengah shooting film.
“Mas, wajah kamu kenapa? Kamu habis berantem atau bagaimana? Masuklah, aku akan mengobati luka kamu,” kata Elsa dengan penuh perhatian. Ia mengulurkan tangannya hendak meraih pipi Rian, memastikan jika lelaki itu baik-baik saja, tetapi Rian terlebih dahulu menepis tangannya seakan Elsa adalah najis yang harus ia jauhi.
“Jangan sok suci kamu,” teriaknya.
Elsa makin tak mengerti. “Kamu ngomong apa, sih, Mas? Lagi pula kamu datang-datang ke sini langsung teriak-teriak seperti orang gila. Padahal kamu bisa masuk dan ngomong baik-baik, apa kamu tidak malu sama tetangga yang lihat kita,” lirih Elsa seraya menarik lengan kanan suaminya, sedikit menariknya untuk masuk tetapi lagi-lagi hanya penolakan yang didapat.
“Tidak malu, karena tindakan kamu yang lebih memalukan,” balas Rian dengan sinis.
“Tidak perlu sok perhatian, pencuri. Kamu tidak tahu ya, kalau kamu telah melakukan tindakan yang jahat. Kamu tidak seharusnya mencuri makanan di rumah Mak Ratih. Semua tetangga sudah mengetahui tingkah buruk kamu yang merupakan seorang pencuri. Kamu memang miskin, kita memang miskin, tapi tidak seharusnya kamu berbuat seperti itu. Lihat, tetangga-tetangga yang sedang menonton kita adalah mereka yang menggunjing kita habis-habisan,” teriak Rian, meskipun sudut bibirnya terluka dan perih untuk digunakan berbicara, tetapi ia tak peduli lagi karena ada emosi yang harus diungkpkan.
Elsa mundur beberapa langkah, lagi-lagi ia terkejut dengan apa yang dikatakan oleh suaminya yang menuduh dirinya dengan tiba-tiba. “Apa maksud kamu, Mas? Aku tidak pernah mencuri di rumah Mak Ratih. Mak Ratih sendirilah yang sering memberiku makanan. Kenapa kamu tidak percaya padaku?” bantah Elsa.
“Orang-orang sudah tahu semuanya, tapi kamu masih membantah juga?”
“Biarkan saja, mereka tidak tahu kenyatannya. Kamu harus percaya padaku bahwa aku tidak pernah mencuri di rumahnya. Aku sadar aku siapa. Lagi pula aku tahu bahwa mencuri itu dosa, maka dari itu aku tidak pernah melakukannya. Aku masih takut pada Tuhan,” kesal Elsa. Ucapannya seakan tak didengar oleh Rian, bahkan suaminya sendiri tak percaya dengan kejujuran yang ia punya.
“Semua orang sudah tahu, katanya mereka juga punya buktinya. Kamu mengaku saja kalau kamu memang mencuri dari rumah Mak Ratih,” desak Rian.
“Hei Rian, kamu tidak perlu pura-pura mendesak istrimu agar mengakui kesalahannya karena pencuri memang tidak akan mengaku kalau dirinya telah mencuri. Lagi pula kamu juga pasti sudah bersekongkol dengannya, kan? Tidak usah pura-pura suci dengan memberi istrimu nasihat, padahal kamu sendiri juga salah.” Seorang pria empat puluh tahunan angkat bicara.
“Ini bukan urusan kamu,” sentak Rian.
“Sudahlah, Mas, mending masuk dan jangan bikin kegaduhan di sini. Kamu tidak perlu percaya dengan apa yang mereka katakan. Aku sudah jujur padamu kalau apa yang aku lakukan benar, aku tidak mencuri. Jadi masuklah sekarang.” Kali ini Elsa menarik lengan tangan Rian, tetapi ia menepisnya lagi.
Kali ini Rian mengangkat tangannya dan hendak melayangkan pukulan pada istrinya yang sudah menghindar, tetapi ia langsung menghentikan dan menggugurkan niatnya saat ia telah tersadar bahwa tak seharusnya ia memperlakukan Elsa seperti itu.
“Sial. Semuanya bajingan!” maki Rian entah pada siapa, setelah itu ia langsung masuk ke dalam rumahnya tanpa mempedulikan Elsa yang masih terdiam di teras, masih mematung terlampau tak percaya dengan apa yang akan Rian lakukan beberapa detik lalu.
BERSAMBUNG....
Tambahan extra part kak👍👍☺️☺️