Rembulan Adreyna—seorang wanita muda yang tumbuh dari kehilangan dan kerja keras, hidupnya berputar di antara deadline, tanggung jawab,dan ambisi yang terus menekan. Hingga satu hari, langkahnya membawanya ke Surabaya—kota yang menjadi saksi awal pertemuannya dengan seorang pria bernama Bhumi Jayendra, CEO dingin pemilik jaringan hotel dan kebun teh di kaki gunung Arjuno.
Bhumi, dengan segala kesempurnaannya, terbiasa memegang kendali dalam segala hal—kecuali ketika pandangannya bertemu Rembulan untuk pertama kali. Di balik sorot matanya yang dingin, tersimpan sunyi yang sama: kehilangan, tanggung jawab, dan kelelahan yang tak pernah diucapkan.
Pertemuan mereka bukan kebetulan. Ia adalah benturan dua dunia—teknologi dan tradisi, dingin dan hangat, ambisi dan rasa takut. Namun perlahan, dalam riuh kota dan aroma teh yang lembut, mereka belajar satu hal sederhana: bahwa cinta bukan datang dari siapa yang lebih kuat, melainkan siapa yang lebih berani membuka luka lama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 Perjalanan keselatan
Jumat sore tiba dengan langit keemasan yang lembut. Awan berwarna oranye pucat menggantung rendah di atas kota Surabaya, dan udara mengandung aroma hujan yang tertahan — seperti sore yang belum memutuskan hujan akan turun atau tidak. Suara klakson mobil, teriakan porter, dan derit roda koper memenuhi udara di sekitar Stasiun Gubeng.
Di tengah riuhnya para penumpang, Bulan dan Liora berjalan berdampingan menuju peron, masing-masing membawa koper kecil dan secangkir kopi takeaway.
“Gue masih gak percaya lo akhirnya mau naik kereta lagi,” ujar Liora sambil menyeimbangkan kopinya.
“Why?” tanya Bulan, sedikit tertawa.
“Karena terakhir kali kita naik kereta, lo ngeluh kursinya keras, AC-nya dingin, dan lo lupa bawa jaket.”
Bulan tersenyum kecil. “Itu sepuluh tahun lalu, Li. Waktu gue masih jadi mahasiswa kere.”
Liora tertawa keras. “Dan sekarang kita udah naik kelas jadi korporat kere.”
“Eh,” Bulan menatapnya tajam tetapi geli, “lo CEO, Li.”
“CEO yang masih suka masak mi instan kalau lembur. Jangan lupakan fakta itu.”
Ucapan liora mengingatkannya akan masa lalu sepuluh tahun yang lalu, dimana ia berjuang untuk dirinya sendiri dan untuk Lintang yang saat saat itu masih sekolah dasar. Kerja sambil kuliah dan setiap weekend selalu ambil job freelance dimanapun. Karena itu saat ini Bulan menjadi pribadi yang mandiri dan gak gampang goyah.
Teringat tentang Lintang, Lintang saat ini sedang disibukkan dengan kuliahnya yang memang baru masuk semester awal dan juga ia masih disibukkan dengan pekerjaan endorsement yang harus ia selesaikan sebelum jatuh tempo.
Bulan melangkah naik ke dalam gerbong, langkah sepatunya beradu pelan dengan lantai logam yang dingin. Aroma khas pendingin udara bercampur wangi karpet baru memenuhi udara —
bau yang entah mengapa terasa menenangkan, seperti tanda awal sebuah perjalanan yang akan panjang.
Lorong sempit di antara kursi dipenuhi suara koper yang digeser, bisik-bisik penumpang, dan pengumuman lembut dari pengeras suara yang samar bercampur dengan denting rel di kejauhan. Lampu di langit-langit kereta menyala kekuningan, memberi kesan hangat yang kontras dengan udara dingin dari AC.
Bulan menuruni lorong itu bersama Liora, sampai akhirnya menemukan tempat duduk mereka di sisi jendela — dua kursi empuk berwarna abu tua yang menghadap pemandangan luar. dia meletakkan tas di rak atas, lalu duduk dengan gerakan hati-hati, menatap ke luar kaca besar yang sedikit buram oleh embun sore.
Beberapa menit kemudian, peluit kondektur terdengar. Kereta Jayabaya bergetar pelan, lalu mulai bergerak — perlahan meninggalkan peron. Getar halus rel di bawah kursi terasa ritmis, seperti denyut lembut yang menenangkan. Suara roda besi yang bersinggungan dengan rel menciptakan irama monoton, tak-tak-tak-tak, dan dalam hitungan detik, suasana di dalam gerbong berubah menjadi orkestra kecil yang damai:
desis AC, langkah kondektur di lorong, suara lembar majalah dibuka, dan tawa kecil dari kursi belakang.
Bulan menyandarkan punggungnya, menatap pemandangan di luar yang perlahan berubah —
gedung-gedung kota berganti menjadi hamparan hijau dan atap rumah-rumah yang mulai mengecil. Ada perasaan aneh tetapi menyenangkan di dadanya; campuran antara tenang dan nostalgia yang sulit dijelaskan.
Sementara di sampingnya, Liora sudah sibuk membuka bekal camilan dan powerbank, seolah siap menempuh perjalanan jauh dengan semangat yang tak pernah padam.
Di luar jendela, pemandangan kota perlahan berganti — gedung-gedung tinggi berganti perkampungan, lalu sawah, lalu perbukitan hijau di kejauhan. Sinar matahari sore menembus kaca, membingkai wajah Bulan yang sedang menatap ke luar dengan tatapan tenang.
Liora, di sisi lain, sudah setengah rebahan sambil membuka bekal camilan.
“Gue udah bilang belum, kalau perjalanan naik kereta itu salah satu hal paling romantis di dunia?” katanya sambil mengunyah biskuit.
“Romantis?” Bulan menatapnya geli. “Lo saja yang terlalu sering nonton drama Korea.”
“Enggak, Bul. Beneran. Lo duduk di jendela, ngeliatin pemandangan, terus... mikirin seseorang.”
Bulan memutar matanya pelan. “Gue mikirin laporan, bukan seseorang.”
Liora tertawa kecil. “Uh-huh. Laporan bernama Bhumi Jayendra?”
Bulan menahan tawa, menatapnya dengan ekspresi “gue males nanggepin tetapi lo bener”.
“Li, tolong deh, dua jam ini kasih gue kedamaian tanpa analisis romantis.”
“Oke, fine,” jawab Liora pura-pura menyerah. “tetapi kalau nanti lo senyum sendiri di tengah jalan, gue foto, terus gue kirim ke Pak Bhumi.”
“Liora.”
“Ya, ya. Diam.”
Mereka tertawa lagi. Kereta melaju stabil, membawa mereka makin jauh dari hiruk-pikuk kota. Di sela canda dan obrolan ringan, Bulan menatap ke luar jendela, melihat cahaya matahari yang menurun di balik siluet pegunungan jauh — dan tanpa sadar, pikirannya melayang ke seseorang yang kini mungkin sedang melihat langit yang sama.
*
Di waktu yang hampir bersamaan, di rel yang sama namun arah waktunya berbeda tiga puluh menit, kereta Arjuna Express melaju stabil meninggalkan Surabaya menuju Malang.
Gerbong eksekutifnya tenang, hanya diisi suara roda besi yang beradu dengan rel dan dentingan lembut sendok kopi dari gerbong restorasi. Cahaya matahari sore menyelinap lewat jendela besar, memantulkan warna jingga ke kursi kulit berwarna cokelat. Beberapa penumpang sibuk membaca, sebagian menatap keluar jendela —
dan di kursi nomor 6A, duduk seorang pria berjas biru tua yang tampak lebih tenang dari luar, tetapi pikirannya sedang berlari jauh.
Bhumi Jayendra.
Di tangannya ada tablet untuk melihat laporan kantor, tetapi sudah hampir setengah jam hingga layar tablet itu menghitam, ia hanya mengabaikan tablet itu. Tatapannya kosong, mengarah ke luar jendela — ke bentangan sawah yang diselimuti cahaya oranye keemasan. Di kejauhan, bayangan gunung Arjuno terlihat samar, menjulang dalam siluet lembut yang menyatu dengan langit.
Udara di dalam gerbong terasa hangat, tetapi pikirannya tidak. Setiap kali dia mencoba fokus pada angka dan grafik di depan mata, suara lembut itu selalu muncul kembali, seakan memantul di kepalanya.
“Tidak ada sistem yang benar-benar aman, Pak Bhumi. tetapi setidaknya sekarang kita bisa tidur lebih nyenyak.”
Nada tenang, pasti, dan entah mengapa… menenangkan. dia masih bisa mengingat bagaimana Bulan mengucapkannya — dengan keyakinan profesional, tetapi ada sesuatu di balik cara dia menatap. Bukan tatapan menantang, melainkan tatapan seseorang yang memahami apa itu tanggung jawab yang berat.
Bhumi bersandar di kursinya, menatap langit jingga di luar jendela yang mulai berubah warna keemasan. Angin dari ventilasi lembut menerpa wajahnya, dan tanpa sadar, dia bergumam pelan, nyaris seperti bisikan,
“Rembulan...”
Nama itu meluncur begitu saja dari bibirnya, seperti napas yang akhirnya lepas setelah terlalu lama ditahan. dia menutup wajahnya sejenak dengan telapak tangan, menarik napas panjang.
“Ya Tuhan... mengapa selalu kepikiran dia,” pikirnya dalam hati.
Di luar, kereta terus melaju menembus sore yang makin lembut. Lembah, sungai, dan pepohonan berganti-ganti di jendela, tetapi tak ada satu pun yang bisa mengalihkan pikirannya dari satu bayangan: seorang perempuan dengan mata teduh yang entah bagaimana... meninggalkan gema di kepalanya.
**
Sementara itu, di belakang sana, kereta Jayabaya melintas di jalur hijau di antara hamparan kebun teh. Bulan menatap langit yang sama dari balik jendela, matahari mulai turun, awan berwarna oranye muda membingkai cakrawala.
Liora tertidur di kursinya, dan Bulan akhirnya bisa menikmati heningnya sore. dia menatap awan di kejauhan, lalu tersenyum kecil tanpa alasan.
“Malang...” gumamnya pelan.
“Kota yang selalu bikin gue ngerasa nyaman.”
Yang tidak dia tahu, di atas sana, seseorang yang juga sedang menuju kota itu,
baru saja memikirkan hal yang sama.
*
Kereta Arjuna Express melambat pelan ketika memasuki Stasiun Malang Kota Baru. Suara gesekan roda dengan rel berpadu dengan pengumuman petugas yang bergema lembut di antara hiruk pikuk penumpang yang bersiap turun. Udara di luar terasa berbeda — lebih sejuk, lebih lembap, dan mengandung aroma khas tanah pegunungan yang baru saja disiram hujan sore.
Bhumi berdiri dari kursinya, merapikan jasnya sebelum mengambil tas kecil dari rak atas. Langkahnya mantap menuruni tangga gerbong, sepatu kulitnya menjejak lantai peron dengan suara halus yang tenggelam di antara langkah-langkah lain.
Begitu keluar dari pintu stasiun, hembusan angin dingin langsung menyapa wajahnya.
Langit sudah berwarna jingga keabu-abuan, dan aroma bunga kemboja dari taman depan stasiun bercampur dengan bau kopi yang menguar dari kios kecil di sudut jalan. Bhumi berhenti sejenak di bawah kanopi, matanya menyapu sekitar — memandang bangunan tua stasiun yang cat kremnya mulai pudar, tetapi tetap membawa rasa yang sama setiap kali dia pulang.
“Selamat sore, Pak Bhumi!”
Suara familier terdengar dari arah parkiran. Seorang pria muda berjas abu dan name tag bertuliskan Adi – Arjuno grup GA Division berjalan cepat menghampiri sambil membawa kunci mobil.
Bhumi mengangguk kecil. “Kau datang tepat waktu.”
“Sudah biasa, Pak,” jawab Adi sopan, sambil membuka pintu sedan hitam yang sudah menunggu di depan. “Bagasi Bapak sekalian, ya?”
“Tidak perlu. Cukup ini saja.” Bhumi menaruh tas di kursi belakang.
Adi menatapnya sekilas lewat kaca spion setelah Bhumi masuk ke kursi pengemudi.
“Pak Bhumi yakin mau nyetir sendiri? Bisa saya antar ke Lawang.”
Bhumi menggeleng pelan sambil menyalakan mesin. “Enggak perlu. Saya hafal jalan ini lebih baik dari siapa pun.”
Adi tersenyum kecil, lalu menunduk sopan. “Baik, Pak. Hati-hati di jalan.”
Bhumi mengangguk singkat sebelum menurunkan kaca jendela separuh, membiarkan udara sore Malang masuk ke kabin mobilnya. Udara itu lembut, dingin, dan membawa kenangan samar — tentang sore-sore lain pada masa muda, tentang rumah di kaki gunung yang selalu dia rindukan tanpa pernah dia akui.
Mobil hitam itu kemudian meluncur perlahan keluar dari area stasiun, menyusuri jalan yang mulai menanjak ke arah utara.
Lampu-lampu kota Malang mulai menyala, kios-kios kopi dan penjaja bakso di pinggir jalan tampak ramai, dan di kejauhan, siluet Gunung Arjuno mulai terlihat jelas, seperti menunggu kedatangan anaknya yang lama pergi.
Bhumi menurunkan kecepatan ketika melewati Jalan Ahmad Yani — deretan pepohonan trembesi tua berbaris di kanan kiri, daunnya bergoyang ditiup angin sore. dia sempat membuka kaca lebih lebar, membiarkan udara segar masuk dan menggantikan aroma AC mobil.
Senyum kecil muncul tanpa sengaja di sudut bibirnya.
“Udara ini…” gumamnya lirih. “Masih sama.”
Perjalanan menuju Lawang ditempuh sekitar tiga puluh menit. Jalanan berkelok dan menanjak, di kiri-kanannya terbentang kebun teh yang luas — daun-daunnya berkilau lembut terkena cahaya sore terakhir. Angin dingin masuk lewat jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma segar khas pegunungan.
Bhumi melaju pelan, tidak terburu-buru. Setiap kali melewati papan bertuliskan “Kebun Teh Wonosari”, ada sesuatu di dadanya yang menghangat — nostalgia yang datang tanpa diundang.
“Sudah lama,” gumamnya pelan, setengah tersenyum. Sudah hampir dua bulan sejak terakhir kali dia sempat pulang. Dan seperti biasa, setiap kali mobilnya melewati gerbang besar bertuliskan Jayendra Residence, perasaannya selalu sama: tenang, tetapi juga sedikit hampa.
Ketika gerbang besar bertuliskan Jayendra Residence muncul di depan matanya, Bhumi memperlambat laju mobilnya. Dua orang penjaga berdiri tegak, membungkuk kecil ketika mobilnya lewat.Di balik gerbang itu, rumah bergaya kolonial putih gading dengan taman besar sudah tampak diterangi cahaya lampu sore.
Begitu mobil berhenti di halaman depan rumah besar bercat putih gading itu, lampu teras sudah menyala, memantulkan cahaya lembut di antara pepohonan pinus yang berjajar rapi.
Suara jangkrik bersahutan dari kejauhan, menambah kesan damai yang nyaris tak tersentuh waktu.
Pintu rumah terbuka sebelum Bhumi sempat mengetuk.
“Bhumi!” suara lembut tetapi penuh wibawa terdengar.
Mama Sinta berdiri di ambang pintu dengan senyum yang hangat, disusul Papa Bagas yang masih mengenakan sweater tebal. Di belakang mereka, muncul gadis remaja berambut hitam panjang yang langsung berlari kecil.
“Kak Bhumi!” seru Dara, adik perempuannya.
Bhumi sempat terkejut, tetapi senyum tipis muncul di bibirnya. dia menurunkan kopernya dan membiarkan Dara memeluknya dengan antusias.
“Udah tinggi sekarang,” katanya pelan.
“Kan Dara udah SMA,” jawab Dara bangga. “Kak Bhumi tambah dingin saja.”
“Bukan dingin,” sahut Bhumi, menepuk kepala adiknya pelan, “itu namanya ketenangan.”
Mama Sinta tertawa kecil. “Kalau ‘ketenangan’ saja sampai jarang pulang, ya namanya dingin beneran.”
Bhumi menunduk, tersenyum malu. “maaf, Ma.”
Papa Bagas menepuk pundaknya kuat. “Udah, ayo masuk. Rumah ini sepi kalau kamu gak ada.”
Ruang keluarga rumah itu hangat dan luas — tempat yang langsung membuat siapa pun merasa diterima. Lantainya kayu cokelat tua yang dipoles mengilap, memantulkan cahaya lembut dari lampu gantung dengan nuansa kuning keemasan. Udara di ruangan dipenuhi aroma teh melati yang baru diseduh, bercampur dengan wangi kayu manis yang samar dari diffuser di sudut ruangan.
Sofa krem besar tertata rapi membentuk setengah lingkaran, dihiasi bantal-bantal bermotif batik modern. Di meja kayu jati di tengahnya, ada vas kaca berisi bunga segar—krisan putih dan daun eucalyptus—penataan yang jelas mencerminkan selera halus Mama Sinta.
Dinding ruangan dipenuhi bingkai foto keluarga yang tersusun rapi. Ada foto Bhumi saat wisuda, wajahnya tegas dengan toga dan senyum kecil yang jarang ia tunjukkan. Di sampingnya foto Dara waktu kecil, berlari di pantai sambil tertawa lepas. Lalu foto lama Papa Bagas saat muda, mengenakan setelan jas dengan lambang perusahaan lama mereka—senyum lebar dan mata penuh semangat khas generasi pertama yang membangun dari nol.
Beberapa pajangan antik menghiasi rak-rak dinding: wayang kulit, pot keramik lawas, dan set teh porselen peninggalan nenek Bhumi. Semuanya memberi sentuhan nostalgia yang hangat, seolah ruangan itu menyimpan kisah hidup keluarga Jayendra dari masa ke masa.
Tak lama kemudian, langkah lembut terdengar dari arah dapur. Mama Sinta muncul membawa sebuah nampan besar—di atasnya ada teko teh melati yang masih mengepulkan uap, tiga cangkir porselen bermotif bunga, dan piring berisi pisang goreng hangat yang baru diangkat dari wajan. Aroma manis pisang yang digoreng dengan sedikit gula aren langsung memenuhi ruangan, menggantikan udara dengan keharuman yang mengundang.
“Biar kalian ngobrol sambil makan,” kata Mama Sinta dengan senyum hangatnya, meletakkan nampan di meja.
Uap panas dari pisang goreng masih menari-nari di udara, dan begitu disajikan, renyahnya terdengar ketika piring diturunkan.
Keadaan ruang keluarga itu langsung terasa semakin hidup—hangat, nyaman, seperti rumah yang penuh cinta dan kebiasaan-kebiasaan manis yang sudah diwariskan turun-temurun.
“Teh buatan Mama masih yang paling enak,” jawab Bhumi setelah menyesapnya.
“Tentu,” Papa Bagas ikut bicara, “soalnya kamu gak pernah punya waktu bikin sendiri.”
Bhumi tersenyum kecil. “Kalau bikin teh saja, aku masih bisa, Pa. tetapi hasilnya gak bakal kayak begini.”
Beberapa menit berlalu dengan percakapan ringan tentang kebun dan rumah. Sampai akhirnya Papa Bagas menatapnya serius,
“Bagaimana kabar perusahaan, Nak? Arjuno Grup masih stabil, kan?”
Bhumi mengangguk. “Stabil, Pa. Tapi dua hari lalu sempat ada serangan siber ke server pusat. Hacker nyoba bobol sistem data tamu.”
Papa Bagas mengerutkan dahi. “Serius? Itu berbahaya. Siapa pelakunya?”
“Masih diselidiki. tetapi sudah ditangani,” jawab Bhumi tenang. “Ada tim digital dari Global Teknologi yang bantu. Mereka cepat tanggap.”
“Global Teknologi…” ulang Papa Bagas pelan, seolah mengingat sesuatu. “Perusahaan start up yang kerja sama sama perusahaan kita, ya?”
Bhumi mengangguk, menatap ke dalam cangkir tehnya. “Ya. COO-nya… cukup cerdas. Dan berani.”
Mama Sinta menatapnya dengan ekspresi lembut tetapi tajam — naluri seorang ibu yang selalu tahu lebih banyak daripada yang dikatakan anaknya.
“Hmm…”
“Hm mengapa, Ma?” Bhumi mendongak, pura-pura polos.
Mama Sinta tersenyum samar. “Mama cuma heran. Dari nada bicaramu, ‘cerdas dan berani’-nya kayak punya arti lain.”
Papa Bagas menahan tawa, sementara Dara langsung ikut nyengir.
“Wah, Kak Bhumi punya gebetan ya?”
Bhumi menghela napas, “Dara…”
Dara tertawa, mencondongkan badan. “tetapi bener, Kak, Mama pasti bisa nebak. Tatapan Kak Bhumi tuh beda, loh.”
Mama Sinta terkekeh pelan. “Kalau memang sudah ada seseorang yang buat hati kamu deg degan, Mama cuma minta satu hal.”
“Apa itu, Ma?”
“Cepet kenalin ke Mama dan Papa.”
Bhumi tidak langsung menjawab. dia hanya menatap ibunya lama, senyum kecil muncul di sudut bibir — bukan senyum main-main, tetapi yang mengandung sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Mama Sinta tahu cukup itu saja untuk jadi jawaban.
“Jadi sudah ada, kan?” bisiknya lembut.
Bhumi menunduk sedikit, membalas dengan senyum yang sama.
Mama Sinta tersenyum lega. “Syukurlah.”
tetapi sebelum suasana berubah terlalu haru, Dara kembali memecah keheningan.
“Pokoknya, Kak Bhumi harus pilih perempuan yang cantik, baik, gak ganjen, dan gak matre!”
Semua di ruang itu tertawa pelan.
Papa Bagas melirik Dara dari balik cangkir tehnya. “memang kamu tahu apa itu ‘matre’, ha?”
Dara terdiam sejenak, lalu mengerutkan dahi. “Ya... yang suka minta dibeliin barang mahal?”
Papa Bagas tertawa, suara beratnya memenuhi ruangan. “Kamu tuh masih kecil, udah ngomongin cewek matre saja!”
Mama Sinta ikut tertawa. “Biarin, Pa. Paling gak dia punya standar buat calon kakak iparnya.”
Dara menepuk meja kecil. “Iya dong! Calon kakak ipar harus lolos ujian Dara dahulu.”
Bhumi hanya bisa geleng-geleng kepala, menatap keluarganya satu per satu — Mama dengan senyum lembutnya, Papa dengan tawa rendahnya, dan Dara dengan cerianya yang polos.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa waktu, rumah ini terasa benar-benar hidup lagi. Dan di tengah kehangatan itu, Bhumi menyadari sesuatu: bahwa mungkin, dia sudah mulai belajar cara pulang — bukan cuma ke rumah, tetapi ke dirinya sendiri.
**
Udara dingin menyambut begitu kereta berhenti di Stasiun Malang Kota Baru. Jam digital di dinding menunjukkan pukul 20.47 malam, dan langit di luar sudah pekat, dihiasi lampu-lampu kuning dari gedung tua yang berdiri anggun di sekitar stasiun. Aroma tanah basah setelah hujan sore masih terasa di udara — segar, lembut, dan menenangkan.
Bulan melangkah turun dari kereta sambil merapatkan jaket, sementara Liora sudah sibuk memesan taksi daring di ponselnya.
“Empat puluh menit ke Batu,” katanya setelah memastikan titik jemput.
“Siap. Semoga gak macet,” sahut Bulan sambil menatap jalanan yang mulai lengang.
Beberapa menit kemudian, mobil hitam berhenti di depan stasiun. Mereka masuk, dan perjalanan menuju kota Batu pun dimulai.
Dari balik kaca jendela mobil, lampu-lampu kota Malang perlahan berganti dengan siluet pepohonan tinggi dan jalan menanjak yang berliku. Udara makin dingin, menembus kaca dan menyelinap lewat sela ventilasi mobil. Di kejauhan, cahaya-cahaya rumah di lereng tampak seperti kunang-kunang yang bertebaran di kegelapan.
Bulan memandangi pemandangan itu diam-diam, sementara Liora sibuk bercerita tentang masa kecilnya di Batu — bagaimana dia dahulu sering main ke sungai kecil di belakang rumah, atau naik sepeda keliling kebun apel bersama teman-temannya. Nada suaranya riang, penuh nostalgia yang hangat.
“Gue dahulu ingin sangat cepet-cepet kuliah di Jakarta,” kata Liora sambil tertawa kecil.
“tetapi begitu udah tinggal di sana, malah kangen tiap malam kayak begini. Udara dingin, suara jangkrik, dan gak ada deadline.”
Bulan ikut tersenyum. “Gue ngerti. Kadang, tenang itu cuma bisa kita temuin di tempat yang paling jauh dari kerjaan.”
“Exactly!” seru Liora. “Makanya, weekend ini lo harus bener-bener libur. Gak buka laptop, gak bahas server, gak inget siapa pun.”
Bulan menatapnya geli. “Siapa pun?”
Liora melirik. “Iya. Termasuk yang suka ngajak makan siang dua kali.”
Bulan menepuk bahunya pelan. “Li!”
Tawa mereka memenuhi mobil sepanjang jalan menanjak.
Sekitar pukul sembilan tiga puluh, mobil berhenti di depan rumah dua lantai bercat putih krem di sebuah perumahan asri. Pohon pinus berjajar di tepi jalan, dan lampu-lampu taman kecil di depan rumah berkelip lembut.
Rumah Liora berdiri tenang di salah satu perumahan kecil di daerah Batu, Malang — kawasan yang udaranya dingin, segar, dan selalu membawa bau tanah basah setiap habis hujan. Rumah itu tidak besar, dua lantai saja, dicat warna putih krem dengan aksen kayu muda di bagian teras.
Tampilan luarnya sederhana, tapi bersih dan terawat; pagar pendek warna cokelat tua, pot-pot tanaman hijau tersusun rapi di sepanjang dinding, dan angin dingin pegunungan yang selalu menyapu halaman setiap pagi.
Udara terasa dingin menusuk — tetapi menyenangkan.
Begitu bel ditekan, suara langkah tergesa terdengar dari dalam.
Begitu pintu kayu dibuka, suasana hangat langsung menyambut dan seorang wanita berwajah lembut dengan rambut diikat sederhana.
“Liora, Nak!” serunya, langsung memeluk putrinya.
“Bunda!” Liora membalas pelukan itu erat, lalu menarik tangan Bulan. “Bun, ini Bulan — sahabatku, partner kerja sekaligus penyelamat hidupku di Jakarta.”
Bunda Rena tertawa lembut, lalu menggenggam tangan Bulan. “Aduh, terima kasih ya sudah mau main ke sini. Pasti capek dari Surabaya.”
“Enggak kok, Tan,” jawab Bulan sopan. “Perjalanannya malah menyenangkan.”
Dari ruang tamu, seorang pria paruh baya muncul — bertubuh tinggi dan berkacamata, dengan senyum teduh yang mirip Liora.
“Liora datang juga, akhirnya,” katanya sambil membuka pelukan.
“Ayah!” Liora langsung memeluknya, lalu memperkenalkan Bulan dengan antusias. “Ayah, ini Bulan, temen aku.”
“Wah, jadi ini Bulan yang sering Liora ceritain?” Ayah Saka menatap Bulan dengan ramah. “Selamat datang, Nak. Anggap saja rumah sendiri.”
“Terima kasih, Om,” jawab Bulan dengan senyum tulus.
Lalu mereka masuk kedalam rumah. Bagian dalam rumahnya tidak mewah, tapi nyaman dengan caranya sendiri. Lantai keramik krem lembut, sofa abu muda yang empuk dengan selimut rajut kecil tergantung di sandarannya, serta karpet tebal motif geometris yang terlihat seperti handmade. Di atas meja kayu kecil ada vas berisi bunga hydrangea biru — bunga favorit Bunda Rena, katanya membuat rumah terasa “lebih hidup”.
Rak dinding dipenuhi foto keluarga, ada foto Liora waktu TK dengan rambut ikal yang masih berantakan, foto keluarga di Bromo saat Liora SMP, foto Ayah Saka dengan helm proyek tersenyum bangga, dan satu foto polaroid kecil Liora dan Bunda Rena sambil tersenyum lebar di dapur.
Di ruang keluarga, wangi kayu manis dan teh hangat selalu tercium — entah dari diffuser atau dari kebiasaan Bunda Rena yang hampir setiap sore menyeduh teh jahe untuk suaminya.
Dapur mereka terbuka dan menyatu dengan ruang makan — meja kayu dengan empat kursi, gantungan lampu sederhana dari anyaman bambu, dan rak bumbu yang selalu rapi.
Aroma masakan rumahan selalu terasa: rawon, ayam kecap, atau kadang sup hangat yang dibuat Bunda Rena ketika udara sedang dingin-dinginnya.
Di atas meja makan, sudah tersaji sepanci besar rawon nguling dengan sambal dan taoge segar di sampingnya.
“Ayo makan dulu, pasti lapar,” ujar Bunda Rena. “Ini resep keluarga, ya. Rawon khas Malang, bukan yang instan.”
“Wah, ini enak sangat!” seru Liora begitu mencicipi suapan pertama.
Bulan mengangguk kecil, matanya berbinar. “Serius, ini rawon terenak yang pernah aku makan.”
Ayah Saka tertawa puas. “Bagus. Biar tiap kalian main, ada alasan buat pulang ke sini lagi.”
Obrolan pun mengalir ringan — tentang masa kuliah Liora, tentang bisnis digital mereka, bahkan sedikit tentang Surabaya yang katanya “gak pernah tidur”. Bunda Rena sesekali menatap Bulan dengan ekspresi hangat, tampak menyukai kepribadiannya yang sopan dan rendah hati.
“Anak ini tenang ya, tetapi matanya keliatan hidup,” ujarnya pada Liora sambil tersenyum.
“Makanya aku betah kerja bareng sama dia, Bun,” jawab Liora bangga.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam ketika mereka akhirnya pamit untuk beristirahat. Naik ke lantai dua, ada lorong kecil dengan jendela menghadap ke bukit-bukit Batu.
Angin pagi sering masuk dari celah itu, membuat tirai putih berkibar lembut.
Kamar Liora berada di ujung kiri — ruang yang penuh warna, dengan foto-foto perjalanan, mood board besar, dan meja belajar yang masih terawat dengan baik.
Lampu kamar diredupkan, dan udara dingin mulai terasa sampai ke ujung jari. Beberapa menit berlalu dalam diam sebelum Liora berdehem pelan.
“Bul.”
“Hmm?”
“Gue masih mikir sesuatu.”
“Jangan bilang ini tentang kerjaan.”
“Bukan. Tentang lo.”
Bulan memutar badan, menatap Liora curiga. “apalagi?”
“Lo sadar gak, lo tuh sekarang beda.”
“Beda bagaimana?”
Liora menatap langit-langit sambil menahan senyum. “Beda... sejak dua kali makan siang bersama Pak CEO Arjuno Grup itu.”
Bulan menepuk bantal ke arah wajah Liora, membuat sahabatnya terkekeh keras.
“Li, sumpah ya, lo gak capek ngebahas itu?”
“Capek sih. tetapi lebih capek nahan rasa gemas tiap liat lo senyum sendiri.”
Bulan membalik badan, menutupi wajah dengan selimut. “Gue tidur.”
“Tidur saja deh, nanti juga mimpi bertemu dia.”
“Liora.”
“Oke, oke, gue diem. tetapi kalau mimpi lo senyum, gue yakin siapa penyebabnya.”
**
tbc