Helen Hari merupakan seorang wanita yang masih berusia 19 tahun pada saat itu. Ia membantu keluarganya dengan bekerja hingga akhirnya dirinya dijual oleh pamannya sendiri. Helen sudah tidak memiliki orang tua karena keduanya telah meninggal dunia. Ia tinggal bersama paman dan bibinya, namun bibinya pun kemudian meninggal.
Ketika hendak dijual kepada seorang pria tua, Helen berhasil melawan dan melarikan diri. Namun tanpa sengaja, ia masuk ke sebuah ruangan yang salah — ruangan milik pria bernama Xavier Erlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Akhirnya mereka berdua keluar dari ruangan tersebut. Lalu, Helen menunjuk beberapa orang yang menurutnya tidak kompeten dan tidak pantas untuk bekerja di perusahaan Xavier.
Xavier melihat dan mendengar alasan mengapa mereka dianggap tidak kompeten dan tidak pantas untuk bekerja di perusahaannya.
“Cowok yang pakai kacamata ini tidak kompeten, Pak. Karena saya lihat dari tadi dia main HP terus dan tidak bekerja, sedangkan teman yang lain malah bekerja. Bapak tahu, ketika yang lain pada makan, dia sudah makan duluan. Jadi, sebelumnya kalau misalkan yang lain belum istirahat tapi dia sudah istirahat duluan, apakah itu boleh dalam ranah pekerjaan?”
Xavier hanya tersenyum saja. Ia tidak melihat hal-hal sepele seperti itu, tapi tidak menyangka kalau Helen dapat memperhatikan detail semacam itu. Ia merasa bangga.
“Terus, siapa lagi?” tanya Xavier.
“Nah, wanita yang pakai blazer merah itu juga, dari tadi kerjaannya cuma gosipin orang. Tapi dia kasih semua pekerjaannya ke juniornya yang baru magang di sini. Padahal setahu saya, orang magang itu nggak boleh terlalu banyak kerja. Tapi kenapa dia malah maksa anak magangnya kerja banyak? Kalau nanti kerjaannya salah, dia nyalahin anak magangnya. Terus anak magangnya sampai lembur. Emangnya boleh ya kerja kayak gitu? Kalau seperti itu terus, orang-orang nggak bakal mau kerja. Pasti nyuruh orang lain aja.”
Pria berkacamata dan wanita berblazer merah itu merasa kesal dengan pandangan Helen terhadap mereka. Rasanya ingin sekali melabrak gadis itu.
“Kenapa? Nggak suka, ya? Kan ini bosnya, ini loh, bukan saya. Lagian, bosnya juga percaya sama saya. Selesai juga kalau kamu yang kompeten. Makanya bekerjalah yang kompeten biar bosnya nggak salah pilih pekerja. Kalau kamu sendiri aja nggak bener, gimana bosnya bisa tahu siapa yang bener?”
Xavier langsung menarik Helen tanpa berpikir panjang, karena ia tahu, pasti akan banyak lagi orang yang dianggap tidak kompeten oleh Helen.
“Helen, makasih ya kamu udah kasih tahu saya siapa saja orang yang tidak kompeten dalam bekerja. Tapi kalau kamu berbicara seperti itu kepada orang lain, pasti mereka tidak akan menerimanya, karena mereka merasa sudah bekerja paling banyak dibanding yang lain.”
“Tuh kan, udah saya bilang, bapak itu selalu baik. Makanya bapak itu nggak bisa menilai mana yang jahat dan mana yang nggak,” jawab Helen ketus.
“Bukan saya nggak bisa menilai mana yang jahat dan mana yang enggak. Cuma maksudnya, saya tahu kok. Saya berterima kasih dengan pendapat kamu, tapi kadang-kadang kamu juga harus tahu kalau mereka itu punya kebutuhan ekonomi masing-masing.”
“Bukan begitu, Pak. Caranya bapak salah. Kalau mau punya perusahaan yang baik, ya harus tegas. Kalau nggak, nanti bapak malah rugi. Bapak harus tahu kalau perusahaan mempekerjakan seseorang itu karena dia punya skill, bukan karena omongan doang.”
Xavier merasa seperti sedang diceramahi anak kecil. Tapi entah kenapa, kalau anak kecil itu adalah Helen, ia justru senang. Ia bisa menghabiskan waktu bersamanya.
“Emangnya kamu tahu apa soal pekerjaan di perusahaan?” tanya Xavier sambil tersenyum.
“Emang sih, saya belum pernah kerja di perusahaan. Tapi saya tahu bagaimana cara kerja yang baik biar perusahaan tetap maju dan nggak rugi,” jawab Helen percaya diri.
“Emangnya kalau saya memperkerjakan orang yang kamu bilang tadi, itu akan merugikan saya?”
Helen mengangguk mantap. “Iya, pasti rugi.”
“Terus, kamu berharap saya harus gimana sama mereka? Saya pecat aja tanpa pikir panjang?”
“Masalahnya gini, Pak. Mereka itu bukan ngerjain kerjaan mereka sendiri, tapi malah nyuruh orang lain. Makanya mereka gabut dan nggak kerja sama sekali. Sedangkan juniornya nggak mungkin berani nolak, karena dia baru. Orang baru mana bisa menindas seniornya.”
“Di kantor saya nggak pernah ada senioritas kok. Kok kamu bisa bilang begitu?”
Helen menghela napas. Ia merasa lelah berbicara dengan Pak Bos yang menurutnya tidak paham maksudnya.
“Emangnya bapak nggak bisa lihat ya, kalau pegawai bapak itu senioritas banget? Orang saya baru masuk aja, mereka ngeliatin saya dengan muka nyinyir gitu.”
“Emangnya siapa yang lihat kamu kayak gitu? Kasih tahu saya, siapa?”
“Semuanya, Pak. Masa iya bapak mau pecat semua orang yang ngelihat saya kayak gitu? Kan nggak juga. Maksud saya, bapak juga harus bisa menilai mana yang baik dan mana yang nggak.”
“Kalau menurut kamu dia nggak baik, ya udah, kamu pecat aja. Sekarang saya naikin jabatan kamu jadi HRD di kantor saya, gimana?”
Helen terkejut mendengarnya. Ia merasa senang, tapi juga bingung karena ia belum selesai sekolah.
“Ya udah, tapi saya nggak bisa, Pak. Soalnya saya belum lulus sekolah. Nanti bapak malah dibilang mempekerjakan anak di bawah umur,” jawabnya jujur.
“Menurut saya kamu pintar, kok, analisanya. Jadi menurut saya nggak apa-apa kalau kamu kerja sama saya,” ujar Xavier santai.
“Enggak lah, saya mau sekolah aja. Saya merasa kalau saya sekolah, saya akan lebih pintar dari sekarang. Kalau saya nggak sekolah, nanti bapak malah dihina sama pegawai bapak karena mempekerjakan anak kecil,” ucap Helen dengan nada dewasa.
Xavier tersenyum memahami. Ia kagum dengan kedewasaan Helen.
“Oh iya, katanya kamu lapar. Ayo makan.”
“Nggak nafsu, Pak. Pegawai bapak nyebelin banget. Kalau saya lihat mereka, rasanya pengen saya sentil mukanya biar mereka nggak punya wajah,” jawab Helen kesal.
Xavier tertawa mendengar perkataan itu. Ia tidak menyangka Helen bisa melucu juga.
“Kamu itu lagi bercanda atau serius sih ngomong kayak gitu?”
“Tergantung yang menilai. Kalau dianggap bercanda ya bercanda, kalau dianggap serius ya serius,” jawab Helen santai.
Xavier dibuat pusing oleh gadis berumur 17 tahun di depannya ini.
“Hari ini gimana ceritanya kamu bisa disuruh guru kamu jangan ke kelas?” tanya Xavier.
“Nggak tahu, dia mah sensian. Biasalah, guru wanita udah tua jadinya sensian banget. Kalau lihat orang yang punya masalah dikit aja pasti diingat seumur hidup. Padahal belum tentu juga orang itu yang salah,” jawab Helen kesal.
“Makanya kamu jangan badung. Kan aku udah bilang, kalau kamu badung, nanti kamu bakal dihukum terus sama guru kamu,” ujar Xavier menasihati.
Helen bingung mendengar perkataan itu.
“Saya nggak badung kok. Saya cuma telat doang ke sekolah. Emang itu salah saya? Saya juga nggak tahu bakal kena marah,” ujarnya membela diri.
“Walaupun kamu nggak tahu, tapi kan tetap aja tercatat kamu telat ke sekolah,” jelas Xavier.
“Jadi bapak nyalahin saya karena saya telat ke sekolah?”
“Iya, bukan nyalahin juga sih. Cuma guru kamu berpikirnya seperti itu. Makanya dia marah dan nyuruh kamu pulang,” kata Xavier tenang.
“Emangnya dulu waktu bapak sekolah, bapak nggak pernah badung sama sekali? Berarti bapak anak teladan dong, nggak pernah nakal?”
Xavier menggeleng.
“Emang saya nggak pernah badung sih, tapi kalau saya ceritain ke kamu, kamu pasti nggak percaya. Karena di perusahaan aja saya udah kayak gini,” jawabnya sambil tertawa kecil.
“Iya, makanya gimana sih bapak. Lagi bohongin saya ya? Makanya bapak bisa ngomong kayak gitu,” balas Helen.
“Sebenarnya ceritanya panjang sih. Tapi ya, nggak usah lah. Buat apa juga kamu tahu. Kamu kan nggak tertarik sama hidup saya,” ucap Xavier datar.
Helen langsung marah. “Kata siapa saya nggak tertarik? Saya tertarik kok!”
“Kan kamu udah punya pacar. Buat apa kamu tertarik sama orang tua kayak saya?”
“Tasya udah bilang, saya nggak punya pacar! Kenapa sih bapak maksa banget saya punya pacar? Udah saya bilang, saya nggak punya pacar.”
“Terus, Bobby itu siapa?”
Helen mendengus. Semua orang salah paham tentang Bobby.
“Cuma teman doang. Dia suka sama saya, tapi karena bapak juga suka sama saya, jadi saya bilang aja kalau saya pacaran sama dia, biar bapak berhenti ngejar saya. Tapi bener, setelah itu dia berhenti. Dan saya nggak suka,” jelas Helen.
“Kenapa kamu nggak suka kalau saya berhenti ngejar kamu? Bukannya kamu harusnya senang?”
Helen menggeleng pelan. Ia menunduk, merasa sedih.