Basmara, dalam bahasa sansekerta yang berarti cinta dan tertarik. Seperti Irma Nurairini di mata Gervasius Andara Germanota, sebagai siswa anak kelas 11 yang terkenal Playboy menjadi sebuah keajaiban dimana ia bisa tertarik dan penuh kecintaan.
Namun apalah daya, untuk pertama kalinya Andra kalah dalam mendapatkan hati seseorang, Irma sudah ada kekasih, Andrew, seorang ketua OSIS yang terkenal sempurna, pintar, kaya, dan berbakat dalam non akademi.
Saat terpuruk, Andra mendapat fakta, bahwa Irma menjalani hubungan itu tanpa kemauannya sendiri. Andra bangkit dan memerjuangkan Irma agar sang kakak kelas dapat bahagia kembali.
Apakah Andra berhasil memerjuangkan Irma atau malah perjuangan ini sia-sia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13: Cemas
"Gua benci banget sama lu, Irma!" Kalimat itu memecah keheningan yang sempat terjadi di ruang kelas Irma, dan mengucapkannya adalah Leona pada sahabatnya.
"Kenapa?" tanya Irma dengan wajah penuh tanda tanya, ia tiba-tiba di tarik dari kantin oleh sahabat-sahabatnya ke kelas.
"Lu pikir kita gak tau? Lu bolos pelajaran terakhir selama beberapa hari, dan itu karena Andra, kan?" ucap Naya, wajahnya tampak kesal.
Eca menghampiri Irma, membenarkan kacamatanya, menatapnya dengan tatapan dan wajah yang benar-benar berbeda dari sebelumnya. "Lu sadar nggak sih ma, kalo lu ngasih harapan ke Andra, dan itu ngebuat dia makin cinta sama lu."
"Dan lu seharusnya sadar, MISALNYA lu nggak pacaran sama Andra dan tetep bareng Andrew, itu bakal nyakitin hati Andra semakin parah," timpal Leona penuh penekan di kata 'misalnya'
Irma terdiam, memikirkan yang dibicarakan sahabat-sahabatnya. "Bener juga, gua nggak pernah mikirin kemungkinan-kemungkinan itu."
Leona menepuk jidat mendengar ucapan Irma. "Andrew tau nggak tentang ini?"
Irma menggeleng. "Nggak, Andrew nggak tau, gua nyoba cari alesan yang rapih."
"Syukurlah," ucap Naya yang mendapat tatapan bingung dari Irma. "Lu lupa? Andrew maksa bapaknya buat desek bapak lu yang perusahaannya hampir bangkrut, buat jodoh in kalian."
"Apalagi dia ngelakuin sesuatu yang buruk ke Andra?" ucap mereka berempat secara bersamaan.
..........
Farel, siswa itu berjalan dengan santai menyusuri lorong, ia berjalan dengan badan tegap ditambah tatapannya yang seperti angkuh, membuat dia menjadi pusat perhatian kelas 12 yang masih berlalu lalang.
Farel berhenti didepan kelas 12 IPA 1, ia tersenyum melihat seseorang yang ia cari sedang mengobrol santai dari balik jendela. Tanpa pikir dua kali, Farel langsung membuka pintu kayu itu.
Seluruh kelas langsung menatapnya, ada yang bingung, tak suka pada keberadaannya dan Andrew lah salah satunya yang menatap Farel seperti itu.
"Mau ap—" belum sempat Andrew menyelesaikan ucapannya, Farel sudah mencengkeram kerahnya dan mendorongnya ke dinding.
"Lu yang kirim preman buat mukulin Andra kan?" tanya Farel dengan tatapan tajam.
Berbeda dengan teman kelasnya yang sudah terdiam, Andrew justru tertawa kencang. "Maksud lu apa sih? Gua gak tau."
"Bangsat!" Farel melayangkan pukulan, bukannya menghindar, Andrew malah diam dan tersenyum, membuat Farel menghentikan serangannya.
"Kenapa rel? Takut kalo lu mukul, lu yang bakal di panggil bk?" Andrew tampak meremehkan.
Farel menyeringai. "Takut? Gua takut? Gua biarin lu sekarang, tapi kalo sekali lagi lu nyentuh Andra, gua pastiin, bukannya cuma gua, tapi keluarga Sudramono yang bakal bertindak."
Farel tersenyum melihat ekspresi Andrew yang tampak tak suka. "Mungkin lu lupa, jadi gua ingetin lagi, mungkin koneksi bapak lu bisa ke hakim, sipir, tapi koneksi keluarga gua, jauh lebih dari itu."
"Dan asal lu tau, ini bukan ancaman," Farel mendekatkan bibirnya ke telinga Andrew. "Tapi perintah, dan lu wajib lakuin."
Farel melepaskan cengkeraman nya dan berjalan keluar dari kelas, meninggalkan Andrew yang menatapnya penuh kebencian.
...........
Andra dan Janeth, dua insan itu tertidur lelap sambil berpelukan. Terlalu lelap sepertinya sampai tidak menyadari kelima sahabat Andra yang sedari tadi menatap mereka dengan tatapan dengki.
"Pantek kali Andra, udah sembuh bukannya bareng kita, malah bolos sama kak Janeth," kesal Debrong.
Indra diam, entahlah, sedih dan marah tercampur di tatapannya, matanya membulat ketika melihat kedua tangan Andra yang terbalut perban. "What the fuck, itu tangan Andra kenapa?"
Bagas tampak emosi, ia melihat ke arah lantai yang ternyata terdapat beberapa tetesan darah. "Babi, kebiasaan si anjing, bukannya cerita malah dipendam dan ujung-ujungnya di lampiasin."
Bagas menarik kerah Andra, memaksanya untuk bangun. "Bangun, bangun lu."
Rasa kantuk yang masih menggelantung terlihat di wajah Andra, terlalu malas rasanya membuka mata lebar-lebar. "Gas? Lu ngapain disini?"
Satu tangan Bagas yang menganggur ia gunakan untuk menggenggam tangan Andra. "Kenapa tangan lu diperban? Mukul apa lu sampe kayak gini?"
Andra hanya bisa mengulum bibirnya, walaupun tatapan dan nada suara tenang, aura mengintimidasi dari Bagas terasa jelas.
"Andra mukul tong minyak," bukan Andra yang menjawab, melainkan Janeth, siswi itu sudah terbangun dan menyandarkan tubuhnya disandaran sofa. "Udah gua buang dari atas."
"Kau buang kemana?" tanya Debrong dengan wajah yang kaget dan tak percaya.
"Belakang sekolah," jawab Janeth dengan wajah santai.
Debrong bergegas melihat ke area belakang sekolah, tempat pembuangan utama, terlihat disana tong sudah tergeletak diatas tanah dengan keadaan 'sedikit' hancur. "Tidak! Rokok-rokokku!"
Mora tampak kesal pada respon Debrong yang berlebihan, ia mengeluarkan sebungkus rokok dari kantung celananya dan melemparnya ke arah Debrong. "Berisik! Tuh buat lu!"
Debrong langsung tersenyum menerima bungkus rokok itu. "Ndeh, jangan gitu lah sobat, jangan kasar kali."
"Lu nggak mau Brong?" sahut Andra.
"Dih, siapa yang gak mau?" Debrong langsung mengantongi rokok itu.
"Back to topic, lu kenapa Dra? Sampe mukulin tong?" Indra menyilangkan tangannya di dada, tanda bahwa ia sedang serius.
"Mor, tunjukin ke mereka, rekaman cctv nya," ucap Farel.
Mora menggeleng. "Bukan sama gua, sama Debrong."
"Debrong!" teriak Farel pada debrong yang sedang merokok cukup jauh dari mereka. "Sini lu! Tunjukin rekaman cctv tadi."
Debrong menoleh kaget, ia mematikan rokoknya dan berlari menghampiri Farel. "Nih..." Debrong menunduk, mengatur napasnya yang tidak teratur.
Tanpa menunggu Debrong, Farel langsung merogoh celana Debrong dan mengeluarkan ponselnya, Farel menendang pelan kaki Debrong. "Makanya gua bilang apa, kurusin badan lu, baru segini aja ngos-ngosan, bisa mati cepet lu."
"Nggak akan, dosa ku banyak, orang yang banyak dosa matinya lama kali," elak Debrong.
"Si paling pendosa," Farel membuka ponsel Debrong dan memutar rekaman cctv. "Ini semua karena Andrew."
Andra menatapnya bingung. "Lu tau darimana?"
Mora menghela napasnya. "Jadi gini."
Flashback on
Mora, Debrong, dan Farel, ketiga siswa itu berjalan santai di koridor lantai satu yang mulai sepi, wajar saja karena jam masuk akan dimulai sebentar lagi. Dengan tas menggantung di punggung, dapat disimpulkan bahwa mereka baru saja datang.
"Andra man—" ucapan Farel terpotong ketika melihat sosok Andra yang keluar dari perpustakaan. "Panjang umur."
Baru saja ingin menyapa, tapi Andra sudah berlari meninggalkan mereka, menuju tangga. Tak lama, keluar Andrew dan Irma, walau hanya sekilas, dapat terlihat di wajah mereka, bahwa Andrew tampak senang sedangkan Irma terpaksa, tak suka.
Urat-urat di pelipis mereka timbul seketika melihat itu. "Pantek, feeling ku nggak enak, Rel, Mor, ayo ke perpus," ajak Debrong dengan wajah kesal.
Tatapan Farel menajam. "Iya, gua setuju, si Andrew aja bisa nyewa preman, dan gak nutup kemungkinan dia ngelakuin sesuatu ke Irma buat nyakitin Andra."
Mereka pun berjalan memasuki perpustakaan, terlihat wajah penjaga perpustakaan yang tampak kaget sepertinya karena Andra yang lari keluar tadi.
Mora melihat nametag penjaga perpustakaan itu, Yuliana. "Permisi mbak Yuli, saya izin liat rekaman cctv disini, apakah bisa?" tanya Mora kelewat sopan.
"Maaf ya mas, saya nggak bisa ngasih liat rekaman cctv, kecuali mas-mas sekalian udah dapet izin dari kepsek," tolak Yuli mentah-mentah.
Debrong menyatukan kedua telapak tangannya. "Ayolah mbak Yuli, kita butuh kali ini loh, kita ngeceknya cuma 10 menit aja."
Yuli menghela napas jengah. "Yaudah, kalian boleh liat, tapi saya harus ikut," Yuli membuka pintu di belakangnya.
Mora, Debrong, dan Farel masuk ke bagian penjaga perpustakaan melalui celah antar meja. Dan mereka pun masuk ke dalam ruang cctv.
Mereka melihat rekaman cctv beberapa menit kebelakang, dan terlihat disana, Andrew dan Irma yang berada ujung perpustakaan, tertutup oleh rak-rak buku sehingga Yuli tidak melihat mereka.
Andrew menyudutkan Irma, tubuh mereka sangat dekat, ralat bahkan menempel, jarak di wajah mereka hanya beberapa centi. Awalnya Irma mendorong Andrew, tapi entah apa yang di bisikkan Andrew sampai membuat Irma pasrah.
Mereka berdua pun bersilat lidah, dan tentu di dominasi oleh Andrew. Setelah beberapa detik, muncullah Andra, ia tampak kaget dan langsung berlari keluar dari perpustakaan.
"Bangsat!" Farel menggertakan giginya, rahangnya mengeras, tanpa berucap apapun ia langsung berlari keluar.
"Farel!" panggil Mora namun tak di gubris oleh Farel. "Astaga, mbak Yuli, saya boleh simpen rekaman ini nggak? Saya akan laporkan ke kepsek tapi bukan sekarang."
Yuli nampak kaget dengan tindakan asusila yang dilakukan Andrew, ia mengangguk pelan.
Mora membungkukkan badannya. "Makasih ya mbak, Brong, telpon kak Janeth, suruh dia bawa p3k dan periksa rooftop, si Andra pasti mukul sesuatu disana."
To be continue