Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat dari masa lalu
Aroma pengkhianatan itu, manisnya kayu manis dan pahitnya kopi menguar dari jaketnya, berbaur dengan aroma sampo bunga milik Lila, menciptakan parfum aneh yang menyesakkan dada. Jantungnya yang berdetak lemah seakan berhenti, membeku di tengah kehangatan pelukan yang terasa begitu salah dan sekaligus begitu benar.
Lila melepaskan pelukannya perlahan, tetapi tangannya tidak langsung menjauh. Jari jemarinya yang hangat beralih ke pergelangan tangan Angkasa, mencari denyut nadi dengan gerakan refleks seorang paham akan hal itu, tentu saja Lila paham, pekerjaannya sebagai seorang perawat sudah sangat terbiasa dengan itu. Matanya yang semerah saga menatap wajah Angkasa dengan saksama, mengabaikan aroma asing yang pasti tercium olehnya.
“Mas Angkasa nggak perlu bohong,” bisik Lila, suaranya serak dan bergetar karena emosi yang tertahan.
“Aku nggak akan nanya kamu dari mana, atau untuk apa Mas keluar.Aku juga nggak akan marah.”
Angkasa menelan ludah, kerongkongannya terasa sekering gurun.
“Lila, aku…”
“Ssst,” potongnya lembut. Ia menekan ibu jarinya di nadi Angkasa, matanya terpejam sejenak seolah sedang menghitung.
“Aku cuma takut. Tadi perawat jaga bilang kamu nggak ada di kamar. Aku cari ke taman, ke kantin, ke tempat ibadah… aku kira…” Ia tidak melanjutkan kalimatnya, ia hanya diam menatap penuh rasa yang bercampur aduk.
Kalimat ‘kamu kenapa-kenapa’ atau ‘kamu pingsan di suatu tempat’ menggantung di udara, terlalu mengerikan untuk diucapkan. Lila merasa tidak berhak untuk bertanya.
Lila memejamkan matanya sejenak, lalu membuka lagi, dan di sanalah tatapan yang Angkasa takuti sekaligus rindukan, pemahaman yang dalam. Bukan amarah, bukan kekecewaan, hanya kekhawatiran murni yang membuat Angkasa merasa lebih bersalah daripada jika ia dimaki habis-habisan.
“Jangan begitu lagi, Mas,” lanjut Lila lembut dengan senyum yang mengambang.
“Kalau kamu butuh udara segar, bilang sama aku. Kita bisa pergi sama-sama. Jangan sendirian. Janji?” tuturnya antara cemas dan entah perasaan apa yang membuat dia sedikit, tidak rela jika Angkasa pergi lagi.
Permintaan itu lebih menusuk daripada tuduhan. Angkasa hanya bisa mengangguk kaku, tak mampu bersuara. Rasa bersalah karena telah menyakiti wanita ini terasa lebih menyiksa daripada sel-sel darahnya yang sekarat.
Lila tersenyum tipis, senyum yang dipaksakan di atas kelegaan.
“Ya sudah, istirahat sekarang. Kamu pucat banget. Bibirmu biru lagi.” Ia menarik selimut hingga ke dada Angkasa, merapikannya dengan gerakan yang penuh perhatian.
“Aku buatin teh hangat, ya? Itu akan membuat kamu sedikit lebih baik.”
Angkasa menggeleng.
“Nggak usah. Kamu di sini aja.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutnya, sebuah permohonan yang egois.
Lila tidak menjawab, tetapi ia juga tidak beranjak. Ia hanya menarik kursi, duduk di samping ranjang Angkasa, dan keheningan mereka menjadi sebuah perjanjian tanpa kata.
.
.
.
.
.
.
Beberapa hari berlalu dalam ritme yang aneh penuh canggung. Pelarian Angkasa tidak pernah dibahas lagi, menjadi hantu yang duduk di sudut ruangan, diakui keberadaannya tetapi tak pernah diajak bicara.
Lila merawatnya dengan lebih protektif, selalu memastikan ia tidak sendirian terlalu lama. Gilang, yang merasakan perubahan atmosfer itu, mengurangi leluconnya dan lebih banyak diam mengamati.
Siang itu, suasana rumah sakit yang biasanya monoton tiba-tiba berubah ramai. Beberapa perawat tampak sibuk di lobi utama sayap VVIP, dan beberapa pria berjas hilir mudik dengan langkah tergesa-gesa.
“Ada apaan, sih?” tanya Gilang penasaran, mencoba mengintip dari pintu kamarnya yang sedikit terbuka.
“Kayak mau ada kunjungan presiden aja.”
Lila, yang sedang memeriksa tekanan darah Angkasa, melirik sekilas.
“Katanya ada donatur besar yang datang. Mau meninjau program bantuan untuk bangsal anak.”
Angkasa tidak peduli. Dunianya hanya sebatas kamar 702. Namun, saat Lila selesai dan mendorong tiang infusnya untuk berjalan-jalan sebentar di koridor atas paksaan Lila agar ia tidak kaku, dunia luar itu menerobos masuk dengan brutal.
Di ujung koridor, dekat lift kaca yang mewah, sesosok wanita anggun berbalut blus sutra berwarna gading sedang berbicara dengan direktur rumah sakit. Rambutnya disanggul rapi, senyumnya terpoles sempurna, dan tas tangan bermerek mahal yang ia jinjing tampak kontras dengan dinding rumah sakit yang pucat.
Itu Laras. Ibunya.
Napas Angkasa tercekat. Refleks, ia menarik lengan Lila dan berbalik, mendorong tiang infusnya ke arah berlawanan, menuju toilet terdekat.
“Eh, eh, kenapa, Mas?” tanya Lila bingung, nyaris tersandung langkah Angkasa yang tiba-tiba cepat.
"Perutnya sakit? Mas kebelet ya?"
“Iya,” sahut Angkasa pendek. Ia bersembunyi di balik dinding, jantungnya berdebar kencang seolah baru berlari maraton. Ia mengintip dari celah kecil di antara poster kesehatan.
Laras tertawa pelan, tawa yang terdengar sopan dan berjarak. Suaranya yang familier namun asing itu melintasi koridor.
“Saya senang bisa membantu, Pak Direktur,” kata Laras.
“Bagi saya, anak-anak adalah investasi masa depan. Kebahagiaan mereka, memberi mereka harapan baru untuk kedepannya adalah prioritas.”
Direktur rumah sakit itu mengangguk setuju dengan senyum penuh kekaguman paaa sosok donatur yang berdiri di hadapannya.
“Kami sangat berterima kasih, Bu Laras. Terutama di tengah kesibukan Ibu. Anda sudah sangat banyak membantu.”
“Ah, tidak juga,” sahut Laras ringan.
“Justru ini pengalih perhatian yang menyenangkan. Putri saya satu-satunya baru saja berangkat studi ke luar negeri. Rumah jadi sepi sekali.”
“Oh, ya? Putri Ibu pasti sangat membanggakan,” puji sang direktur.
Senyum Laras melebar, kali ini tampak lebih tulus, lebih hidup. Ada kilau kebanggaan yang tak terbantahkan di matanya.
“Tentu saja. Mia itu segalanya bagi saya. Anak yang cerdas, penurut, dan hatinya sangat lembut. Dia kebanggaan terbesar dalam hidup saya.”
Mia.
Nama itu, yang diucapkan dengan nada penuh cinta oleh bibir yang sama yang dulu berjanji akan menjemputnya, menghantam Angkasa seperti bogem mentah. Jadi, inilah kebahagiaan yang ibunya pilih. Sebuah kehidupan baru yang begitu sempurna, begitu utuh, hingga tidak ada lagi ruang bahkan untuk sepotong kenangan tentang seorang anak laki-laki yang ia tinggalkan di panti asuhan. Ia bukan lagi sebuah luka, ia bahkan bukan sebuah bekas luka. Ia hanyalah kekosongan. Sesuatu yang tidak pernah ada.
Luka lama yang ia kira sudah kering dan mengeras, kini kembali menganga, basah oleh darah segar.
“Mas?” Suara Lila menyadarkannya.
“Kamu nggak apa-apa? Wajahmu…”
Angkasa menggeleng keras, mendorong dirinya menjauh dari celah itu.
“Ayo, balik ke kamar,” katanya dengan suara parau.
Angkasa melangkah gontai, berjalan melewati Lila, tatapannya kosong, kembali ke ranjangnya yang terasa seperti satu-satunya tempat aman di dunia. Ia menarik selimutnya hingga ke leher, memunggungi dunia, memunggungi Lila, memunggungi segalanya.
Lila tidak bertanya lagi. Ia hanya berdiri di sana, menatap punggung Angkasa yang bergetar samar, tahu bahwa ada luka yang baru saja terkoyak, luka yang lebih dalam dari sekadar anemia.
.
.
.
.
Dua hari setelahnya, Angkasa masih terbungkus dalam kepompong kebisuan. Ia makan jika disuapi, minum obat jika diingatkan, tetapi jiwanya seolah pergi entah ke mana. Hingga suatu sore, seorang kurir mengantarkan sebuah paket kardus lain untuknya.
“Paket lagi, Kak?” celetuk Gilang, mencoba memecah kesunyian.
“Dari si Mia-Mia itu lagi, ya?”
Angkasa tidak menanggapi. Ia menatap kotak itu dengan tatapan kosong. Kali ini, tidak ada tulisan tangan Mia yang anggun. Pengirimnya tertulis jelas dengan tulisan tangan seorang wanita tua yang sedikit gemetar.Ranti, Panti Asuhan Bintang Harapan.
Bu Ranti? Untuk apa?
Rasa penasaran yang samar mengalahkan apati yang melingkupinya. Dengan tangan yang terasa berat, ia menarik kotak itu ke pangkuannya dan merobek selotipnya. Di dalamnya tidak ada kopi atau makanan. Hanya ada satu benda, terbungkus kain belacu yang sudah menguning.
Ia membuka bungkusan itu.
Sebuah buku harian tua bersampul kulit cokelat yang sudah usang dan terkelupas di beberapa bagian. Kertasnya rapuh, dan aromanya adalah campuran antara debu dan kenangan. Ada secarik kertas surat yang terlipat di atasnya. Surat dari Bu Ranti.
Angkasa, Anak, kesayangan Ibu.
Ibu harap kamu baik-baik saja. Maaf mengganggumu. Saat membereskan gudang, Ibu menemukan kotak tua berisi beberapa barang peninggalan ibumu yang tidak pernah ia ambil. Sebagian besar hanya pakaian usang, tapi Ibu menemukan buku ini. Ibu rasa, ini lebih berhak menjadi milikmu daripada menjadi debu di gudang.
Jaga dirimu baik-baik.
Salam hangat,
Ibu Ranti
Tangan Angkasa bergetar hebat. Buku harian Laras. Dunianya seakan menyempit, hanya terfokus pada benda di tangannya itu. Dengan napas tertahan, ia membukanya. Halaman pertama. Tulisan tangan Laras yang lebih muda, lebih bebas, meliuk-liuk indah.
15 Agustus 2002.
Hari ini, Angkasaku tersenyum untuk pertama kalinya. Senyumnya seperti matahari kecil yang menerangi seluruh duniaku yang gelap. Aku bersumpah, aku akan melakukan apa pun untuk melindunginya.
Ia membalik halaman demi halaman dengan cepat. Setiap entri adalah sebuah deklarasi cinta untuknya. Cerita tentang kata pertamanya, langkah pertamanya, demam pertamanya. Ia adalah pusat semesta ibunya. Di setiap kalimat, Angkasa bisa merasakan cinta yang begitu murni, begitu meluap-luap.
Lalu ia terus membalik, mencari jawaban. Kenapa? Kenapa semua ini berhenti?
Ia sampai di bagian akhir buku itu. Hanya tersisa beberapa halaman kosong. Matanya terpaku pada entri terakhir yang ditulis dengan tinta yang sedikit luntur, seolah terkena tetesan air mata. Tanggalnya menusuk jantungnya.
23 Mei 2005.
Sehari sebelum ia diantar ke gerbang panti asuhan. Sehari sebelum dunianya runtuh. Dengan jantung yang berdebar memekakkan telinga, ia mulai membaca baris pertama dari akhir cerita mereka.
Angkasaku demam lagi malam ini. Aku memeluknya erat, menyanyikan lagu nina bobo yang selalu membuatnya tenang. Dia adalah duniaku, napasku, satu-satunya alasan aku bertahan. Tapi pria itu memberiku pilihan. Sebuah kehidupan baru, sebuah kesempatan untuk lari dari kemiskinan yang mencekik ini. Tapi ada syaratnya. Aku harus datang sendirian. Aku harus meninggalkan duniaku.
Angkasa berhenti membaca, napasnya sesak. Matanya terus terpaku pada kalimat terakhir di halaman itu, kalimat penutup dari sebuah babak kehidupan yang ditulis dengan tinta keputusasaan.
Tuhan, ampuni aku. Besok, aku akan mengatakan kebohongan terbesar dalam hidupku…