NovelToon NovelToon
HIJRAH RASA

HIJRAH RASA

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:618
Nilai: 5
Nama Author: Azzurry

Ketika perjodohan menjadi jalan menuju impian masing-masing, mungkinkah hati dipaksa untuk menerima?

Faradanila, mahasiswa S2 Arsitektur yang mendambakan kebebasan dan kesempatan merancang masa depan sesuai mimpinya.
Muhammad Al Azzam, seorang CEO muda yang terbiasa mengendalikan hidupnya sendiri—termasuk menolak takdir.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”-Muhammad Al Azzam.


Di antara keindahan Venezia, rasa-rasa asing mulai tumbuh.
Apakah itu cinta… atau justru badai yang akan menggulung mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azzurry, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hijrah Rasa -13

Langit Venezia memancarkan warna keemasan saat matahari pagi perlahan naik, menyapu lembut bangunan-bangunan tua yang berdiri anggun di sepanjang kanal. Cahaya itu memantul di air, menciptakan gelombang cahaya yang bergerak seiring riak kecil dari perahu-perahu yang melintas.

Di antara keindahan yang seharusnya menenangkan, Farah berdiri diam.

Ia sudah berada di depan IUAV University, tempat yang akan menjadi awal perjalanan akademiknya. Tangannya mengeratkan genggaman pada tali tas di bahunya, mencoba menanamkan keyakinan bahwa ini adalah langkah yang tepat.

Seharusnya ia merasa bersemangat. Seharusnya ia merasa bangga.

Tapi ada sesuatu terasa hilang.

Bukan dari tempat ini. Bukan dari kota ini.

Tapi dari dirinya sendiri.

Azzam.Nama Pria itu berputar di kepalanya seperti gema yang tak kunjung padam. Semalam Farah melihat suami bersama sekretarisnya hingga Pria, tidak pulang. Baru saat subuh tadi, suara pintu apartemen terdengar terbuka. Langkah kaki yang berat, aroma parfum samar yang tidak familiar, napas pria itu terdengar sedikit lelah.

Farah tak bertanya. Tak ingin bertanya. Menurutnya dirinya tidak berhak ikut campur urusan Pria itu. Pagi tadi sebelum suaminya terbangun, ia pergi tanpa pamit. Entah perasaan aneh apa yang sedang ia rasakan semenjak melihat suami semalam bersama wanita lain, sebuah rasa bergemuruh di dadanya.

Gadis itu melangkah pelan, menyusuri lorong-lorong Venezia yang masih sepi di pagi hari. Jalanan berbatu masih basah, memantulkan kilau tipis dari cahaya matahari yang jatuh di permukaannya. Bangunan-bangunan tua, aroma kopi yang pekat bercampur dengan udara asin dari kanal. Di atas jembatan kecil yang melintasi air, Farah berhenti, menatap kanal yang membentang di bawahnya.

Gondola bergerak perlahan, seolah melayang di permukaan air. Perahu-perahu kecil lain berlalu lalang, membawa pekerja, turis, dan orang-orang yang menjalani kesehariannya. Tidak ada mobil, tidak ada klakson, tidak ada lampu lalu lintas.

Venesia adalah kota tanpa jalan raya.

Di tempat ini, air menjadi penghubung, menjadi jalan, menjadi denyut kehidupan.

Dulu, Farah selalu membayangkan kota ini sebagai tempat yang romantis, seperti di dalam film-film yang ia tonton. Tempat di mana seseorang bisa menemukan kebahagiaan yang sederhana dalam riak airnya, dalam bangunan-bangunan tuanya, dalam keheningan yang damai.

Tapi sekarang?

Semua terasa berbeda.

Seakan keindahan kota ini tidak cukup untuk menutupi kehampaan yang merayap dalam dirinya.

Ia menatap pantulan wajahnya di air. Samar. Kabur.Sama seperti perasaannya sekarang.

Farah menarik napas dalam, lalu memejamkan mata sejenak.

"Fokus, Fa... Kamu cuma perlu menyelesaikan S2, setelah itu bisa bebas." Lalu, tanpa menunggu lebih lama, ia melanjutkan langkahnya.

Menyusuri lingkungan kampus yang sebentar lagi akan menjadi tempat menghabiskan waktu untuk meraih mimpi.

Di tikungan jalan, sebuah kedai kecil berdiri dengan pintu kayu yang sedikit terbuka. Cahaya kuning temaram dari dalamnya memberikan kehangatan, kontras dengan udara pagi yang masih menyisakan dingin.

Begitu ia melangkah masuk, aroma kopi yang kuat langsung menyergapnya. Campuran espresso yang pekat, wangi croissant hangat yang baru keluar dari oven, serta suara pelan dari barista yang tengah sibuk di belakang meja.

Farah memilih kursi di sudut ruangan dan duduk.Ia butuh secangkir kopi.

Dan mungkin, beberapa menit untuk memberinya ketenangan

___

Venezia, sore itu.

Hening.

Di apartemen Azzam mondar-mandir. Napasnya berat, pikirannya penuh dengan kegelisahan.

Farah menghilang sejak pagi tadi.

Tanpa pamit. Tanpa pesan. Tanpa ponsel.

Azzam melirik jam dinding-sudah lebih dari setengah hari Gadis itu tak kunjung terlihat. Ini bukan Jakarta, tempat Farah bisa dengan mudah menemukan jalan pulang. Ini Venezia-kota yang baru sehari saja di pijaknya kota kanal yang jalannya bagaikan labirin, penuh gang sempit yang bisa menyesatkan siapa pun yang tidak terbiasa.

Azzam terlihat frustasi ia meraih coat cokelatnya dari sofa, lalu keluar dari apartemen.

Udara sore menusuk kulit, membawa aroma khas kota ini-perpaduan air asin, kayu lembap, serta wangi kopi dari kedai kecil yang buka.

Azzam menyusuri lorong-lorong sempit di Cannaregio, lingkungan apartemennya yang dipenuhi bangunan tua bergaya Venesia. Matanya tajam menelusuri setiap sudut, mencari sosok gadis itu.

Sekilas tatapannya tertuju pada kedai kopi, tempatnya kemarin bersantai

Farah suka kopi.Mungkin dia sedang mencari kopi.

Pria itu mengedarkan pandangannya, mencari tanpa cela.

Tiba-tiba langkahnya terhenti. Tatkala netranya menangkap sosok gadis yang tengah dicari.

Di seberang jalan, di bawah cahaya lampu klasik,

dia melihat Farah.

Gadis itu berjalan bersama seorang pria tinggi, bercoat hitam panjang. Sekilas terlihat sangat akrab.Dada Azzam menegang. Ada sesuatu yang mengusik perasaannya. Bukan cemburu, bukan amarah-tapi tidak nyaman.

Azzam memilih menunggu di tempatnya.

Langkah Farah semakin mendekat.Saat netra keduanya saling bertaut, wajah Farah sekitika terlihat canggung-atau bahkan... takut.

Farah sudah menduga Pria itu pasti memarahinya abis-abisan.

Namun, yang di pikirkan Farah salah, justru sebaliknya Pria itu terlihat tenang.

Azzam hanya menatapnya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke pria di sampingnya.

Dan pria itu... menatapnya balik.

Alisnya sedikit bertaut, seakan mencoba mengingat sesuatu. Lalu bibirnya melengkung dalam senyum kecil.

"Azzam," Sapanya pria itu .Pria itu mengulurkan tangan. Azzam meraih tangannya, berjabat tangan dengan mantap.

"Almeer... apa kabar?"

Senyum pria itu semakin lebar. "Alhamdulillah, baik. Lagi di liburan?"

Azzam menggeleng, "Tidak, saya ada pekerjaan disini."

Almeer mengangguk.”Wah, kapan-kapan ngopi bareng bisa lah.”

Azzam mengulas senyum. “ Bisa-bisa atur saja.”

Lalu matanya kembali melirik Farah yang masih diam, seperti takut bicara.

Lalu Azzam kembali bersuara."Kamu dari mana? Bikin khawatir."

Almeer menoleh ke Farah, lalu bertanya, "Kamu kenal Zam?"

Dengan sorot mata yang tak beralih dari Farah lalu Azzam menjawab,"Adik saya."

Farah terdiam.

Ada sesuatu yang terasa menusuk di dadanya. Bukan karena Azzam menyebutnya "adik", tapi karena ternyata pria itu benar-benar tidak mengakuinya.Bahkan di negeri sejauh ini dimana jarang yang akan mengenal mereka.

Almeer tersenyum kecil. "Oh... tadi kami bertemu di dekat kampus IUAV. Katanya lupa jalan kembali ke Cannaregio, jadi saya tawarkan untuk bersama. Kebetulan, saya juga hendak ke Masjid Al Rahma."

Penjelasan itu cukup bagi Azzam. Setidaknya, Farah tidak dalam bahaya. "Terima kasih sudah membantu," katanya singkat.

Almeer mengangguk. "Sama -sama

Farah menghela napas lega. Untung saja Almeer tidak mengatakan yang sebenarnya-bahwa ia mendapati Farah tengah berdebat dengan pemilik kedai kopi karena lupa membawa dompet dan hal hasil pria itu lah yang membayar semua makanannya.

Setelah bincang singkat bersama Azzam, Almeer pun segera berpamitan dan melanjutkan perjalanannya.Begitu pria itu menghilang di balik gang sempit, suasana berubah drastis.

Tatapan Azzam menjadi tajam.Farah hanya memutar bola matanya malas, sudah tahu apa yang akan terjadi.

Tanpa banyak bicara, Azzam meraih pergelangan tangannya. Tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuatnya mengikuti langkahnya kembali ke apartemen.

Begitu sampai, pintu tertutup dengan suara keras.

“Kalau mau keluar, bisa izin dulu, kan?" suara Azzam rendah, tetapi penuh tekanan. "Jangan main pergi aja.Kamu itu tanggung jawab saya."

Farah tidak menjawab.Alih-alih menanggapi, ia berjalan ke dapur, mengambil gelas, dan menuangkan air. Ia meneguknya perlahan, lebih memilih membasahi tenggorokan daripada membalas omelan pria itu.

Azzam menyipitkan mata.Heran.

Biasanya, gadis ini akan melawan. Tapi kali ini... diam?

"Kok diem?" Tanya Azzam.

Farah akhirnya menoleh. Ekspresinya datar, netral.

"Mas, ngomong sama saya?" tanyanya, menunjuk dirinya sendiri.

Azzam mendengus. "Nggak, saya lagi ngomong sama galon di samping, itu." Lalu Azzam berbalik, berjalan menuju kamarnya.

Farah terkekeh pelan. Omelan Azzam, entah kenapa, cukup menghiburnya.Tapi hanya sesaat.

Lalu berjalan mendekati sofa bed di sudut ruangan.

Begitu ia merebahkan tubuh di sofa, sesuatu menusuk hatinya.

"Adik."

Dadanya terasa sesak.

Apa... memang seburuk itu pernikahan mereka sampai Azzam enggan mengakuinya?

Farah menatap langit-langit apartemen. Lampu gantung menerangi ruangan dengan lembut, tetapi tidak cukup untuk menetralkan gemuru di dadanya, kenapa seperti ini? Apa karena sebuah ikatan pernikahan yang membawa rasa ini?

Farah bergumam pelan.

"Jangan berharap, Fa. Jangan melibatkan hati...

Bukankah ini hanya sebatas pernikahan kontrak?"

Namun, semakin ia mencoba meyakinkan diri sendiri... semakin sulit rasanya mengingkari rasa perih yang perlahan muncul di dalam hatinya.

Ia tidak tahu entah dari mana datangnya dan sejak kapan rasa itu hadir.

***

Bandara Marco Polo, Venezia

Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca besar bandara Marco Polo, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang mengilap. Bandara mulai ramai, dengan suara koper beroda yang bergesekan di lantai, pengumuman dari pengeras suara, dan percakapan dalam berbagai bahasa yang bercampur menjadi satu.

Farah duduk di ruang tunggu penjemputan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. Tangannya menggenggam ponsel, tapi matanya hanya menatap kosong ke layar.

Sudah lebih dari satu jam ia menunggu Azzam, tapi tak terlihat kedatangan pria itu.

Sesekali, Farah mengangkat kepala, menatap pintu masuk di pojok bandara. Orang-orang berlalu-lalang, wajah-wajah asing yang datang dan pergi. Tapi tidak ada tanda-tanda pria itu di antara mereka.

Seharusnya hari ini mereka menjemput Zira bersama. Tapi entah kenapa pria itu tak kunjung datang

Pengumuman dari pengeras suara menggema, "Para penumpang penerbangan internasional dari Istanbul telah tiba."

Farah mengulum senyum. Itu penerbangan Zira.

Ia memasukkan ponselnya ke dalam saku coat lalu berdiri. Langkahnya santai tapi matanya waspada, menyapu wajah-wajah yang keluar dari pintu kedatangan international.

Tin.

Getaran ponsel menghentikan langkahnya. Ia menghela sebelum mengambil ponselnya kembali dari saku.

Azzam:

Sorry. Saya nggak bisa nyusul, ada kerjaan yang harus saya selesaikan. Kalian bisa kan pulang sendiri?

Farah membaca cepat, lalu menutup pesan itu tanpa membalas. Ekspresinya tetap datar.

Kecewa? Tidak. Baginya itu sudah terlalu biasa.

Gadis itu kembali melangkah. Dan saat itu, ia melihat sosok yang dikenalnya.

Zira.

Gadis itu muncul dari kerumunan, mendorong troli koper. Kerudungnya sedikit berantakan setelah penerbangan panjang, tapi wajahnya tetap cerah. Matanya menyapu ruangan sebelum akhirnya menangkap sosok Farah, dan seketika ia melambaikan tangan penuh semangat.

Farah tersenyum tipis.Ia menunggu Zira melewati batas penumpang, lalu segera menghampirinya.

"Fa... Assalamualaikum," ucap Zira.

Tanpa menjawab, Farah langsung menarik gadis itu dan memeluknya erat.

Zira tertawa kecil. "Baru juga beberapa hari ditinggal, kamu udah neleponin aku terus. Padahal aku rencana ke sini dua minggu lagi, loh."

Farah melepas pelukan, menatapnya dengan ekspresi datar. "Bosen sendiri di sini."

Zira terkekeh. "Loh, bukannya ada Bang Azzam? Kalian kan bisa menghabiskan waktu bareng sebelum aku datang ngerecokin kalian."

Farah mendengus, memutar bola matanya malas. "Yang ada, Mas Azzam itu bikin hidupku nggak tenang. Marah terus kerjaanya."

Zira tertawa, seperti sudah menduga jawaban itu.

Mereka melangkah keluar dari bandara. Udara pagi Venezia menyambut mereka dengan kesejukan khas kota di tepi laut. Langit cerah, matahari belum terlalu terik, dan angin yang bertiup membawa aroma asin dari laguna.

Mereka berjalan menuju halte vaporetto, kapal transportasi umum yang akan membawa mereka ke apartemen. Venezia mulai sibuk, dengan kapal-kapal berlalu-lalang di kanal utama. Wisatawan memenuhi dermaga, beberapa sibuk mengambil foto, yang lain bercakap-cakap dengan koper di sisi mereka.

Farah dan Zira menaiki vaporetto yang akhirnya tiba, keduanya duduk di dekat jendela. Kali ini penumpang tidak terlalu padat hingga keduanya sedikit leluasa. Kapal itu mulai bergerak, membelah air yang memantulkan cahaya keemasan dari matahari pagi. Bangunan-bangunan tua khas Venesia berdiri anggun di sepanjang kanal, dengan jendela-jendela kayu dan balkon penuh bunga yang mulai bermekaran di musim ini.

Zira menyandarkan kepalanya ke pegangan kursi, matanya menatap pemandangan di luar. "Kamu tahu, Fa? Aku selalu suka kota ini. Rasanya seperti dunia lain."

Dunia lain, ya?

Bagi kebanyakan orang, Venezia memang penuh pesona-kota impian yang romantis dan magis. Tapi bagi Farah, tak peduli seberapa indah tempat ini, ada satu hal yang tetap sama: Rasa kosong itu.

Langit berpendar keemasan, memantulkan cahaya di permukaan kanal. Kota ini tetap ramai, tapi suasananya mulai terasa lebih tenang, lebih intim.

Di atas Vaporetto, Farah mengangkat kameranya, membingkai jembatan tua yang menjulang di kejauhan. Dia selalu menyukai Venezia pada jam-jam seperti ini.

Di sebelahnya, Zira bersandar di pagar kapal, matanya menerawang ke arah horizon. "Kamu nggak bosen di sini, Fa?"

Farah tetap fokus pada lensanya. "Nggak. Tiap sudut kota ini selalu punya cerita."

Vaporetto melaju membelah Grand Canal, sebelum akhirnya mereka turun di distrik Cannaregio. Dari sana, mereka berpindah ke Motoscape, taksi air yang lebih kecil untuk menyusuri kanal sempit menuju apartemen Farah dan Azzam.

Jalanan Cannaregio mulai lengang, hanya ada beberapa turis yang masih berjalan di sepanjang lorong sempit. Jembatan batu yang menghubungkan satu jalan ke jalan lain terasa sunyi, hanya suara langkah kaki dan desir angin malam yang terdengar.

Saat mereka hampir sampai, Zira menarik lengan Farah. "Fa, laper. Kita beli makanan dulu yuk."

Farah menghela napas kecil, lalu mengangguk. "Ayo, mau makan apa?"

Zira terlihat berpikir. “Apa ya? Pecel ada nggak sih disini.”

Farah terkekeh. “ Ada sih. Tapi bikin sendiri.”

Zira mendengus pelan.”ish.”

Farah berjalan lebih dulu dan Zira mengikutinya.Mereka berhenti di sebuah kios kebab halal. Aroma daging panggang khas turki.

Setelah memesan makanan, keduanya duduk di depan kedai sembari menunggu pesanan mereka.

Farah kembali mengangkat kameranya. Dia menangkap suasana, turis yang bercengkrama, hingga ekspresi lelah para pekerja yang baru pulang atau hendak berangkat.

Lalu, di sela-sela bidikan lensanya, sesuatu membuatnya berhenti.

Sosok yang familiar.

Seorang pria dengan coat coklatnya, berjalan di seberang jalan kecil di depan kios.

Azzam.

Tapi bukan itu yang membuat Farah tercekat.

Tangan seorang wanita melingkar di lengannya.

Farah tahu siapa wanita itu.Sienna.

Jantungnya berdegup lebih kencang. Tapi alih-alih menatap mereka lebih lama, ia sengaja mengalihkan kameranya ke arah lain.

Seolah apa yang dilihatnya tidak penting.

Seolah tidak ada yang perlu dipikirkan.

Tapi Zira jelas tidak bisa bersikap seperti itu. Saat netra gadis itu menangkap sosok pria yang sangat di kenalnya, Zira cukup terkejut.

"Fa..." bisik Zira pelan..

Farah tetap memotret, berpura-pura tidak mendengar.

"Fa!" suara Zira lebih tegas.

Farah menurunkan kameranya. "Hm?"

"Itu Bang Azzam, kan?"

Farah tidak langsung menjawab. Dia menekan tombol shutter lagi-mengambil foto lampu jalan, refleksi cahaya di air, apapun, asal bukan pria itu.

"Salah lihat kali," jawabnya akhirnya, dengan nada santai yang dipaksakan.

Zira menoleh tajam. "Nggak, itu abang!"

Di seberang sana, Sienna masih melingkarkan tangannya di lengan Azzam, dan pria itu tidak menolaknya.

Mereka tertawa kecil, terlihat nyaman. Terlalu nyaman.

Farah menggigit bibirnya. Tangannya sedikit menegang di sekitar kameranya, tapi ia tetap menekan shutter, berpura-pura sibuk.

"Mas Azzam lagi kerja, Ra," ucapnya akhirnya, mencoba terdengar masuk akal.

Zira mendengus. "Lagi kerja kok gandengan?"

Tanpa pikir panjang, Zira langsung melangkah ke arah mereka.

Farah tersentak. Dengan cepat ia mengejar Zira. Bukan karena ingin bertemu Azzam, tapi karena takut Zira keceplosan tentang pernikahan mereka apalagi di depan Sienna.

"Bang Azzam!" seru Zira.

Azzam menoleh. Tatapannya santai, seolah tidak ada yang perlu dijelaskan. "Apa?"

"Kok nggak jemput?" Ketusnya.Tatapan Zira berpindah ke tangan Sienna yang masih melingkar di lengan Azzam. Sienna segera melepaskannya, tapi tetap tersenyum tipis.

"Kan ada Farah yang jemput," jawab Azzam datar. "Tadi abang udah bilang ke dia."

Zira tidak menjawab Azzam, kini sorotnya menatapnya tajam pada Sienna. "Mbak Sienna kok di sini?"

Sienna tersenyum kecil. "Gue nemenin Azzam. Bantuin kerjaannya. Lagian gue khawatir kalau dia sendirian di sini."

Zira mendengus. Dia tahu wanita ini tidak hanya sekadar menemani.

"Mbak nggak perlu khawatir, lagian Bang Azzam udah ada—

"Ra," suara Farah terdengar cepat, sedikit memotong. "Kayaknya pesanan kita sudah jadi."

Azzam menatap Farah sejenak. Ada sesuatu dalam tatapan itu-sesuatu yang sulit diterjemahkan.

Zira menghela napas malas, lalu akhirnya pergi mengambil kebab mereka, meninggalkan Farah, Azzam, dan Sienna bertiga.

Sienna menoleh ke Azzam. "Gue balik ke apartemen ya. Kalau lo butuh apa-apa, tinggal kabarin."

Ia menepuk lengan Azzam sebelum melangkah pergi. Tapi sebelum benar-benar berlalu, dia sempat menatap Farah, tanpa senyum, tanpa kata.

Setelah kepergian Sienna kini, hanya Farah dan Azzam yang tersisa.

Mereka saling pandang sejenak, lalu sama-sama mengalihkan pandangan ke sembarang arah.

Cukup lama mereka terdiam.

Hingga Azzam kembali menatapnya dengan ekspresi dingin.

“Kenapa? Nggak suka lihat saya bersama Sienna?”

Farah menyipitkan mata, mendecit pelan.

“Cih. Terserah Mas Azzam mau ngapain. Cuma mau mengingatkan, tolong jaga marwah Mas, selagi masih suamiku.”

Azzam mengulas senyum samar.

“Kenapa harus menjaga? Bukannya—”

“Nikah kontrak?” potong Farah tajam. “Walaupun status kita cuma keluarga yang tahu, tapi kita itu sah secara agama dan Al—”

Farah menghentikan ucapannya. Tangannya meremas kuat ujung coat-nya; wajahnya menegang.

Azzam memicingkan mata. “Kenapa?”

Farah tidak menjawab. Ia berbalik, berniat menghampiri Zira di kedai tadi.

Namun langkahnya tertahan ketika Azzam menarik lengannya.

“Apa kamu berharap Allah kasih keajaiban biar kita saling jatuh cinta?” tanyanya, nyaris tanpa ekspresi.

Farah tak menoleh. Ia melepaskan genggaman itu, lalu melangkah pergi.

Namun sebelum Farah benar-benar pergi, suara Azzam kembali menahan langkahnya.

“Kalau Allah yang menuliskan cinta ini di akhir, apakah kamu masih akan menyerah di awal?”

***

Hola...

Jangan lupa tinggalkan jejak ya.

Like, Komen, dan subscribe.

follow juga Authornya.

Kamshammida.

1
Wilana aira
keren ceritanya, bisa belajar sejarah Islam di Italia
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!