Seraphina Luna — supermodel dengan kehidupan yang selalu berada di bawah sorotan kamera. Kalleandra — pria asing yang muncul di malam tak terduga.
Mereka bertemu tanpa sengaja di sebuah klub malam. Sera mabuk, Kalle membantu membawanya pulang ke apartemennya. Tanpa disadari, dua wartawan melihat momen itu. Gosip pun tercipta.
Seketika, hidup mereka berubah. Gosip itu bukan sekadar cerita — ia memaksa mereka untuk mengambil keputusan yang tak pernah terbayangkan: menikah. Bukan karena cinta, tapi karena tekanan dunia.
Di balik cincin dan janji itu tersimpan rahasia dan luka yang belum pernah terungkap. Akankah cinta lahir dari dari gosip… atau ini hanya akhir dari sebuah pertunjukan?
"Di balik panggung, selalu ada cerita yang tak pernah terucap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon amariel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
HARI YANG PANJANG
Suara ayam kampung dari rumah sebelah terdengar sumbang dengan alarm ponsel yang sejak tadi berdering tanpa henti. Sera membuka mata dengan malas, rambutnya berantakan, bantal menindih wajah. Tempat tidur di sebelahnya kosong, rapi, bahkan selimutnya sudah terlipat sempurna.
“Dia berangkat sepagi itu?” gumamnya pelan sambil menatap langit-langit.
Tidak ada aroma kopi, tidak ada suara langkah kaki. Hanya keheningan yang terasa asing. Sera turun dari kasur, masih dengan piyama satin yang berkilau, lalu berjalan ke dapur mungil yang cuma punya dua kompor dan kulkas kecil.
Isinya? Satu kotak susu, telur dua biji, dan sisa roti tawar yang udah agak kering.
“Serius? Ini hidup dokter spesialis anak?” keluhnya sambil membuka roti itu dan mengendus. “Ini bahkan kalah dari stok pantry studio waktu aku photoshoot kemarin.”
Dia memang bukan tipe perempuan yang terbiasa dapur. Dulu semua sudah diurus asisten rumah tangga. Sekarang, di rumah dinas kecil ini—yang katanya “sementara”—Sera harus belajar sendiri.
Setelah gagal membuat telur mata sapi (karena gosong di pinggir dan mentah di tengah), dia akhirnya menyerah dan bikin sereal. Tapi begitu sendok pertama masuk ke mulut, bel rumah berbunyi.
“Assalamualaikum, permisi!”
Suara perempuan paruh baya, lembut tapi menusuk. Sera buru-buru buka pintu, menampilkan senyum paling sopan yang bisa dia punya.
“Oh, ibu Rini, tetangga sebelah ya?” Sera masih ingat nama itu dari papan nama di pagar.
“Iyaaa, betul. Saya cuma mau ngasih gorengan. Biasanya kalau ada penghuni baru di kompleks dokter sini, saya suka bawain makanan.”
Ibu Rini menatap Sera dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tatapannya manis, tapi penuh rasa ingin tahu.
"Oo, terima kasih,Bu. Merepotkan." sahut Sera sopan.
"Pak Dokter, sudah berangkat ?"
"Sudah, Ibu. Kebetulan pagi sekali sudah pergi."
" Sebentar, kayanya kalau lihat wajahnya kenal. model ya?" tanya ibu Rini lagi." Cantik banget soalnya. Saya kira dokter itu masih bujang.”
Sera hanya tertawa kecil. “Iya Bu, kami baru menikah. Sekali lagi terima kasih gorengannya.
“Nanti kalau mau ikut arisan RT bilang ya. Ibu-ibu di sini seru, asal tahan kalau obrolannya agak panjang.”
“Panjang kayak apa, Bu?”
“Kayak acara gosip sore.”
Mereka tertawa bersama—meskipun di kepala Sera, dia merasa seperti masuk dunia lain.
Setelah tamunya pergi, rumah kembali sepi. Sera duduk di sofa, membuka ponsel, lalu menatap story teman-teman modelnya. Ada yang liburan ke Santorini, ada yang baru selesai runway di Milan. Dia menelan ludah.
“Dan aku di sini, di rumah mungil dengan panci gosong.”
Siangnya, dia mencoba menelepon Kalle.
"Kalle, kamu di mana ?"
"Baru dari ruang intensif anak. Ada pasien baru. Ada apa Sera ?"
"Udah makan ?"
"Belum sempat. Nanti kalau sudah selesai."
"Mau makan di rumahkah ? Soalnya ini ada goreng---."
Dan sambungan terputus sebelum Sera selesai berbicara. Dia menatap layar ponsel lama-lama. Diam. Kosong. Ada rasa aneh yang belum pernah dia rasakan: kesepian yang datang tanpa alasan besar.
Menjelang sore, suara mobil terdengar di depan. Kalle pulang dengan wajah lelah tapi tetap tenang. Jas putihnya tergantung di tangan, rambut sedikit berantakan.
“Capek?” tanya Sera sambil pura-pura sibuk menata meja.
“Sedikit.”
“Kamu makan di rumah ya? Aku masak, lho.”
Kalle menatap sekilas panci di meja.
“Masak?”
“Jangan kaget, gak gosong kok. Setengah gosong aja.”
Kalle tertawa kecil, senyum yang jarang muncul tapi menenangkan.
Mereka makan berdua. Hening. Hanya bunyi sendok dan AC di sudut ruangan.
“Gak usah dipaksain kalau gak enak,” kata Sera tanpa menatap.
“Gak aku paksa. Aku lapar.”
“...itu pujian versi kamu?”
“Hmm.”
Kalle melanjutkan makan tanpa ekspresi, tapi piringnya bersih sampai habis. Sera menatapnya diam-diam, merasa campuran antara kesal dan terharu.
Setelah makan, Kalle duduk di kursi kerja kecil, menulis di buku catatan.
“Kamu tuh nulis apa sih tiap malam?”
“Data pasien.”
“Pasien lagi? Aku mulai cemburu sama mereka.” sahut Sera asal. Dengan mimik pura-pura tidak suka.
Kalle berhenti menulis sebentar, menatap Sera. “Kalau kamu sakit, aku juga bakal nyatet tiap gejalanya.”
Sera spontan tersenyum. “Gombal banget.”
“Faktual,” jawabnya datar.
Malam turun pelan-pelan. Lampu kuning di ruang tengah temaram. Sera rebahan di kasur, menatap punggung Kalle yang diam saja.
“Kalle, kamu bahagia gak?” suaranya pelan.
“Bahagia itu bukan suara keras, Ser. Kadang cuma napas panjang setelah hari panjang.”
Sera menatapnya lama. “Aku cuma pengen kamu sempat napas bareng aku juga.”
Kalle tidak menjawab. Hanya diam, menatap jendela. Dia masih mencerna setiap perkataan Sera. apa ini ucapan sungguhan atau dia tengah asal bicara.
Sera memejamkan mata dengan perasaan yang aneh—antara puas dan sedih.
Lalu tengah malam, suara notifikasi ponsel membangunkannya. Kalle bangkit cepat, membaca pesan, lalu berdiri.
“Ada pasien gawat. Aku harus ke rumah sakit.”
Sera setengah sadar. “Sekarang? Jam segini?”
“Anak kecil, demamnya drop.”
Dia buru-buru ganti baju dan keluar.
Beberapa menit kemudian, Sera melihat dari balik jendela—Kalle duduk di motor, diam sejenak, menunduk, seperti menelan sesuatu yang berat sebelum akhirnya pergi.
Sera menatapnya sampai motor itu menghilang di tikungan.
Rumah kembali sunyi.
Untuk pertama kalinya, Sera sadar:
hidup bareng orang yang menyelamatkan nyawa manusia ternyata gak selalu terasa hidup bagi dirinya sendiri.
********************************
"Kamu gak suruh orang untuk mengawasi Sera di Sukabumi ?"
Sosok Ayu muncul dari balik pintu. Wanita itu sekarang malah berdiri sambil melipat kedua tangannya di dada. Matanya tajam mengarah pada pria yang sedang membaca buku.
"Buat apa ? Anak itu memang gak kasih kamu kabar ?"
"Ini bukan soal kasih kabar. Tapi kita gak bisa melepas begitu saja Sera di sana." ujar Ayu." apa dia hidup layak, rumahnya aman dan nyaman tidak, lantas bagaimana Kalle memperlakukannya. Ini penting, lebih penting dari apapun."
Adipati melepas kacamata bacanya. Balik menatap Ayu, tanpa menutup buku bacaannya.
"Kalau terjadi apa-apa pada Sera. Dia pasti sudah pergi sebelum kita bertindak. Anak kita bukan anak yang lemah."
Ayu berdecak malas." Kamu bisa bilang seperti itu karena dari awal Kalle sudah kamu jadikan sebuah rencana kan ?"
Ucapan tajam yang keluar dari bibir Ayu membuat air muka Adipati berubah cepat.
"Apa maksudmu ?"
"Sudahlah kamu gak usah menutupinya dariku. Bahkan pertemuan diam-diam kamu dengan prof Gunardi di rumah sakit waktu itu saja aku tahu." Nada Ayu masih terasa sinis." Tenang saja aku tak akan mencari tahu apa yang sedang kamu rencanakan dibelakang ku. karena nanti juga semuanya akan terbuka. Asalkan itu tak merugikan aku dan Sera. tak akan ku permasalahkan.
Entah ini nada ancaman atau bukan. hanya saja setelah ini Adipati musti berhati-hati dalam bertindak.