Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Mobil Nathan berhenti perlahan di depan gedung kantor Kayla. Jam di dashboard menunjukkan pukul 07.42. Masih ada waktu sebelum Kayla masuk, tapi ia tak langsung turun. Tangannya masih menggenggam paper cup berisi kopi yang tadi dibelikan Nathan di jalan.
"Makasih kopinya," ucap Kayla pelan, menatap minuman hangat di tangannya.
"Sama-sama, Sayang," jawab Nathan sambil mengelus kepalanya. "Nanti makan siang bareng, ya. Pulangnya juga aku jemput."
Ia menghela napas sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih pelan, tapi mantap.
"Mulai sekarang aku pengin antar jemput kamu. Nggak selalu sih, tapi... kalau bisa, aku mau. Meskipun cuma sebentar, itu lumayan buat kita ngobrol, ngisi kekosongan. Dan... ya, buat nebus waktu-waktu kamu yang pernah kebuang cuma karena nungguin aku."
Kayla menoleh padanya. Tak langsung menjawab, tapi sorot matanya melembut. Ada bagian dalam dirinya yang ingin percaya. Tapi juga bagian lain yang masih ragu, masih menyimpan luka-luka kecil dari penantian-penantian sebelumnya.
"Kamu serius?"
Nathan mengangguk. "Kalau nggak percaya sekarang, nggak apa-apa. Tapi aku akan buktiin pelan-pelan."
Kayla tersenyum tipis, lalu membuka pintu. "Oke. Kita lihat nanti."
Langkahnya meninggalkan mobil ringan, tapi Nathan tahu bahkan senyum kecil dan kalimat pendek itu, adalah bentuk kepercayaan baru yang sedang tumbuh.
Dan ia tak ingin menyia-nyiakannya lagi.
Langkah Kayla menyusuri koridor kantor dengan tempo pelan. Tangannya masih menggenggam paper cup berisi kopi yang mulai mendingin. Tapi bukan itu yang menghangatkan telapak tangannya, melainkan ingatan tentang siapa yang memberikannya pagi tadi.
Perkataan Nathan masih terngiang. Senyum tipis terbit di sudut bibir Kayla. Senyum yang tidak sepenuhnya lepas, tapi juga tak bisa ia tahan.
Ia tahu Nathan sedang berusaha dan usahanya terlihat. Pagi-pagi mengantarnya ke kantor, membelikan kopi favoritnya tanpa diminta, bahkan merencanakan makan siang bersama di tengah kesibukannya.
Tapi di balik senyum itu, ada satu bisikan kecil yang tak pernah benar-benar hilang dari pikirannya.
"Semoga ini bukan sekadar fase."
"Semoga bukan cuma karena rasa bersalah."
"Semoga kali ini, dia beneran tepati janjinya."
Bukan karena ia tak mau percaya, tapi karena pernah terlalu percaya. Dan luka-luka kecil itu, meski tak lagi berdarah, masih menyisakan ngilu samar yang muncul di waktu-waktu tak terduga.
Ia menatap paper cup itu sekali lagi. Menghela napas.
'Jangan bikin aku berharap kalau kamu cuma lewat,' batinnya pelan.
Tapi tetap, ia genggam kopi itu erat, seperti memegang harapan yang belum siap ia lepaskan.
Pagi itu bergerak perlahan. Usai mengantar Kayla, Nathan kembali menata dirinya. Jalanan Jakarta masih semrawut, tapi pikirannya sedikit lebih tertata meski belum sepenuhnya tenang.
Setibanya di kantor, ia melangkah masuk dengan langkah yang tak terburu-buru. Begitu pintu ruangannya terbuka, pemandangan yang sudah akrab menyambutnya. Alea sudah duduk di tempat biasa, dikelilingi berkas dan laptop yang menyala.
Setahun terakhir, Nathan tak pernah benar-benar keberatan berbagi ruangan kerja dengan asistennya itu. Bahkan, ia mulai merasa kehadiran Alea adalah bagian penting dari sistem kerjanya. Bukan hanya soal jadwal atau dokumen, tapi juga karena respons cepat dan kehadiran yang stabil. Dalam masa transisi dan tekanan yang ia alami, keberadaan seseorang seperti Alea terasa lebih dari sekedar profesional.
"Selamat pagi, Pak," sapa Alea tanpa menoleh, masih sibuk membaca lembaran data yang baru saja ia print.
"Pagi," balas Nathan. Ia tidak langsung duduk, hanya berdiri sejenak di samping meja kerjanya, memandangi aktivitas Alea yang sudah teratur sejak pagi.
Ada jeda sunyi. Lalu suara Nathan terdengar, pelan tapi pasti.
"Aku kepikiran satu hal, bisa kamu bantu atur ulang jadwal makan siangku?"
Alea berhenti mengetik. "Maksud Bapak?"
"Mulai hari ini, atau ya… seminggu ke depan dulu deh," Nathan mengangkat bahu sedikit, berusaha terlihat santai. "Kalau bisa, kosongkan jam makan siangku. Minimal dari jam 12 sampai satu. Meeting yang mepet-mepet ke situ, coba digeser ke pagi atau sore sekalian."
Alea menoleh kali ini, menatap Nathan langsung. Tidak dengan ekspresi bingung, tapi lebih seperti sedang membaca arah.
"Untuk waktu khusus?" tanyanya hati-hati.
Nathan mengangguk pelan. "Aku pengin nyisihin waktu buat makan siang bareng Kayla. Bukan tiap hari harus, tapi kalau jadwal bisa diatur... ya, kenapa nggak? Sudah banyak waktu yang aku pakai fokus pada satu hal. Aku hanya ingin, memperbaiki sesuatu yang salah."
Ia terdengar tenang, tapi ada ketulusan dalam nada bicaranya. Seolah sedang menata ulang prioritas dalam hidupnya, bukan hanya dalam jadwal kerjanya.
Alea kembali menatap tabletnya. "Baik, Pak. Saya cek jadwal minggu ini, dan mulai evaluasi yang bisa digeser. Saya juga minta tim asistensi bantu pantau klien yang biasanya suka minta reschedule mendadak."
"Kalau ada benturan mendesak, kasih tahu aku dulu, ya. Nanti aku sendiri yang negosiasi."
"Siap, Pak," jawab Alea dengan nada formal yang tetap hangat.
Nathan menatap Alea yang fokus pada tabletnya. Wanita itu, dengan rambut yang selalu diikat rapi saat bekerja, tampak tenang dan terampil seperti biasa. Usianya yang sudah kepala tiga tak menghapus kesan lembut di wajahnya. Bukan manis dalam arti mencolok, tapi ada ketenangan yang membuat orang ingin diam sejenak dan memperhatikan.
Pandangannya tetap tertuju ke arah Alea. Dalam diam, pikirannya melayang pada hari pertama ia menginjakkan kaki di kantor ini. Dulu ia hanya pewaris yang kebingungan, tak paham alur kerja, canggung menghadapi rapat, dan terlalu sering menyembunyikan ketakutan di balik jas mahal. Dunia ini terasa asing, terlalu besar untuk dirinya yang belum siap.
Tapi Alea selalu ada. Tidak dengan tangan yang menggenggam, tapi dengan kehadiran yang stabil. Ia tidak pernah memanjakan, tapi selalu membimbing, membiarkan Nathan terjatuh, lalu berdiri lagi dengan caranya sendiri.
Dan setahun kemudian, Nathan bukan lagi pria yang sama.
"Em, Al," panggilnya pelan.
Alea menoleh, alisnya sedikit terangkat. "Iya, Pak?"
Nathan menarik napas sebelum bicara. "Terima kasih untuk satu tahun ini. Aku yakin... pasti banyak amarah yang kamu tahan, kesal yang kamu pendam, dan kesabaran yang kamu paksa hanya untuk membimbing manusia satu ini, yang dulu datang tanpa tahu harus mulai dari mana."
Alea tersenyum tipis, tidak menyela.
"Aku cuma berharap kamu tetap di sini," lanjut Nathan. Suaranya lebih lirih dari biasanya. "Sampai aku benar-benar bisa berlari pakai kakiku sendiri. Kamu bukan hanya asisten, tapi juga kakak untuk pria sebatang kara ini."
Nathan menunduk pelan, seolah baru sadar bahwa ia benar-benar sendiri di dunia ini. Memang ada Kayla, wanita yang selama ini berusaha memahaminya, mencintainya dengan sabar. Tapi tetap saja, ada ruang kosong yang tak bisa diisi siapa pun. Ia masih merindukan pelukan ibunya, masih berharap ada pangkuan tempat ia bisa menyandarkan kepala saat dunia terasa terlalu berat. Sebuah kebutuhan sederhana yang tak pernah benar-benar hilang, bahkan setelah usia dan jabatan datang menggantikan.
Alea tak langsung menjawab. Ini pertama kalinya ia melihat Nathan dalam keadaan serapuh itu. Bukan karena tekanan pekerjaan atau rapat yang kacau, melainkan karena kesepian yang tak terucap. Biasanya, kerapuhan Nathan muncul saat target tak tercapai atau ketika rapat besar tak berjalan sesuai rencana. Tapi yang ini… berbeda. Lebih pribadi. Lebih dalam.
Dan sejujurnya, Alea tak begitu suka suasana seperti ini. Bukan karena ia tak peduli, tapi karena ia tahu betapa sulitnya menarik kembali seseorang yang sudah hampir tenggelam dalam kesedihan sunyi.
"Jadi saya bukan cuma asisten buat Bapak?" tanya Alea, nada suaranya dibuat setenang mungkin meski ada senyum licik mengendap di ujung bibirnya. "Tapi juga kakak? Kalau begitu, berarti saya memerankan dua peran sekaligus dalam hidup Bapak."
Nathan mengangkat alis, mulai bisa menebak arah omongan itu.
Alea melanjutkan sambil pura-pura menghitung dengan jari, "Sebagai asisten dan sebagai kakak. Secara logika... gaji saya seharusnya naik dua kali lipat dong."
Nathan tertawa pelan, "Kalau kamu atur begitu, bukan saya yang membangkrutkan perusahaan ini dalam waktu seminggu, tapi kamu," katanya sambil mengingat jelas ucapan Alea saat pertama kali mereka bertemu. Ucapan yang dulu sempat membuatnya tersinggung, tapi sekarang justru terasa lucu.
"Itu bukan urusan saya," sahut Alea sambil tertawa. "Dari sini kita bisa lihat, siapa yang kemungkinan besar berakhir jadi penjual gorengan."
Tawa Alea menggema ringan di ruangan itu. Tawa yang tak sering Nathan dengar, apalagi selepas itu. Ada sesuatu yang jujur dari cara ia tertawa, seolah untuk sesaat beban pekerjaannya menguap begitu saja.
Nathan sempat terdiam beberapa detik, hanya memperhatikan.
Selama satu tahun ini, ia melihat banyak sisi dari Alea. Yang tenang, yang tegas, yang sabar, dan sesekali emosi. Tapi tawa itu… yang tulus seperti sekarang, baru kali ini terdengar begitu lepas.
Entah kenapa, bagian kecil dalam dirinya merasa lega.
Ada hal yang tak terucap, tapi Nathan tahu, di balik profesionalisme yang selalu rapi, Alea tetap manusia yang juga perlu ruang untuk bernapas.