Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Seminggu berlalu sejak malam pernikahan Rere. Seminggu yang ku habiskan dengan membangun kembali dinding pertahanan di sekeliling hatiku, batu demi batu. Aku sengaja menyibukkan diri di kantor, mengambil pekerjaan lembur yang tidak perlu, dan pulang larut malam hanya untuk menghindari interaksi di rumah.
Gaun warna senja itu dikembalikan dua hari setelah pesta. Tergantung begitu saja di gagang pintu kamarku, terbungkus plastik laundry. Tidak ada ucapan terima kasih langsung, tidak ada permintaan maaf. Hanya sebuah benda yang telah selesai menjalankan fungsinya, kini dikembalikan kepada pemilik aslinya. Aku bahkan tidak membukanya. Aku selipkan begitu saja di bagian paling belakang lemari, seperti kenangan buruk yang tak ingin ku ungkit lagi.
Hubunganku dengan Kak Binar menjadi dingin dan berjarak. Kami hanya berbicara seperlunya di meja makan, bertukar basa-basi hambar di bawah pengawasan Ayah dan Ibu. Kak Binar tampaknya tidak peduli. Dunianya terlalu gemerlap untuk menyadari keheningan di sudut duniaku.
Namun, perlahan aku mulai menyadari ada yang berbeda darinya. Kak Binar, yang biasanya selalu berenergi dan menjadi pusat perhatian, tampak lebih sering lesu. Beberapa kali aku memergokinya sedang memijat pelipisnya di ruang tengah. Wajahnya yang biasa dirias sempurna kini sering terlihat pucat tanpa riasan.
"Kak Binar sakit?" tanyaku suatu sore saat kami kebetulan berpapasan di dapur. Ia sedang menuang air putih, tangannya sedikit bergetar.
Ia tersentak kaget, seolah tidak menyadari kehadiranku. "Eh, Arin. Enggak, kok. Cuma kecapekan aja," jawabnya cepat, menghindari tatapanku.
"Tapi Kakak kelihatan pucat banget beberapa hari ini." Ada sedikit rasa khawatir yang tulus dalam suaraku, mengalahkan sisa-sisa kekesalan. Bagaimanapun juga, dia kakakku.
"Biasa, urusan butik lagi banyak. Udah, kamu nggak usah khawatir," katanya sambil tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. Lalu ia bergegas pergi.
Kecurigaanku bahwa ada sesuatu yang tidak beres semakin kuat. Puncaknya adalah pada hari Minggu sore, saat Ayah memanggilku ke ruang keluarga dengan nada yang luar biasa serius.
"Arini, duduk sini sebentar. Ada yang mau Ayah dan Ibu bicarakan. Penting."
Jantungku berdebar sedikit lebih cepat. Aku duduk di sofa tunggal, berhadapan dengan Ayah dan Ibu yang duduk berdampingan. Di sofa panjang di sebelah mereka, ada Kak Binar dan Mas Danu. Suasananya begitu tegang hingga aku bisa merasakannya menekan dadaku. Kak Binar menunduk, memainkan ujung blusnya. Mas Danu duduk tegak di sampingnya, wajahnya kaku dan tatapannya kosong, menatap ke satu titik di dinding.
"Ada apa, Yah?" tanyaku, mencoba terdengar tenang.
Ayah berdehem, bertukar pandang dengan Ibu seolah mencari kekuatan. "Begini, Nak ... ini menyangkut kakakmu, Binar."
Seketika, seluruh perhatianku terpusat pada Kak Binar. Dia terlihat sangat rapuh hari ini, mengenakan kardigan longgar yang menenggelamkan tubuhnya. Matanya sedikit bengkak, seperti habis menangis.
"Beberapa bulan terakhir ini ... kakakmu sering bolak-balik ke dokter," Ibu memulai, suaranya bergetar. "Kami sengaja tidak memberitahumu dulu karena kami tidak mau kamu khawatir."
Kak Binar mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca saat menatapku. "Aku ... aku punya masalah, Rin," bisiknya lirih. "Masalah dengan ... rahimku."
Aku menahan napas. "Masalah apa, Kak?"
Mas Danu mengulurkan tangan dan menggenggam erat tangan istrinya, memberinya kekuatan. Pemandangan itu membuat hatiku sedikit teriris. Mereka adalah satu kesatuan, menghadapi dunia bersama.
"Dokter mendiagnosis Kakak menderita Endometriosis stadium akhir," lanjut Ibu. "Sudah menyebar dan ... merusak banyak hal. Termasuk sel telur Kakak."
Aku terdiam, mencoba mencerna informasi itu. Aku tidak terlalu paham soal medis, tapi kata "stadium akhir" terdengar mengerikan.
"Maksud Ibu ....?"
"Maksudnya," Kak Binar mengambil alih, suaranya pecah, "kemungkinan aku untuk bisa hamil dan punya anak ... hampir tidak ada."
Satu isakan lolos dari bibirnya. Mas Danu langsung merengkuhnya, memeluknya erat. Ibu pun mulai menyeka air matanya. Ayah hanya bisa menghela napas panjang, wajahnya dipenuhi kesedihan.
Duniaku seakan berhenti. Semua amarah dan kekesalanku pada Kak Binar menguap begitu saja, digantikan oleh gelombang rasa iba yang begitu besar. Aku melihatnya bukan lagi sebagai saingan yang menyebalkan, tapi sebagai seorang wanita yang impian terbesarnya baru saja direnggut. Impian untuk menjadi seorang ibu.
"Kak ...." Aku berbisik, tidak tahu harus berkata apa.
"Ini pukulan berat buat kami semua," kata Ayah. "Terutama untuk Binar dan Danu. Mereka sudah sangat mendambakan seorang anak."
"Aku nggak mau Mas Danu menderita karena aku," isak Kak Binar di pelukan suaminya. "Dia pantas menjadi seorang ayah. Dia akan menjadi ayah yang hebat. Tidak adil kalau dia harus kehilangan kesempatan itu hanya karena kekurangan diriku."
Mas Danu hanya menggeleng, mengeratkan pelukannya. "Sss, jangan bicara seperti itu, Sayang. Aku menikahi mu bukan hanya untuk mendapatkan anak. Aku menikahi mu karena aku cinta kamu."
Kata-kata Mas Danu begitu tulus, begitu mengharukan. Tapi entah kenapa, aku merasa ada yang salah. Suasana di ruangan ini terasa lebih dari sekadar kesedihan. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang ditahan.
"Kami sudah memikirkan banyak cara," kata Ibu, kini menatapku lekat. Tatapannya intens, membuatku merasa tidak nyaman. "Program bayi tabung kemungkinannya sangat kecil dan biayanya sangat besar. Adopsi... Binar belum siap. Dia ingin anak yang memiliki darah daging Danu."
Aku mengerutkan kening. "Lalu ... solusinya?"
Hening. Tidak ada yang menjawab. Hanya suara isak tangis Kak Binar yang memecah keheningan.
Lalu, Kak Binar melepaskan pelukannya dari Mas Danu. Ia menyeka air matanya, dan dengan sisa-sisa kekuatan yang dimilikinya, ia menatap lurus ke mataku. Tatapan itu campuran antara keputusasaan, permohonan, dan sesuatu yang tak bisa ku baca.
"Ada satu solusi, Rin," ucapnya dengan suara serak. "Satu-satunya solusi yang bisa membuat semua impian kami terwujud. Solusi yang bisa memberikan Mas Danu seorang anak, dan memberikan aku kesempatan untuk menjadi seorang ibu."
Perasaanku semakin tidak enak. Jantungku mulai berdebar kencang, memukul-mukul rusukku seperti genderang perang.
"Solusi ... apa itu, Kak?"
Ibu menggenggam tanganku. Genggamannya dingin dan kencang. "Arini, kamu adalah satu-satunya harapan keluarga ini."
Aku menatap Ibu, lalu Ayah, lalu Mas Danu yang masih terdiam membisu, dan terakhir pada kakakku.
Kak Binar menarik napas dalam-dalam. Kalimat yang akan keluar dari mulutnya terasa seperti vonis mati yang sudah disiapkan sejak lama.
"Arini ... demi Kakak, demi keluarga kita ... maukah kamu ... menikah dengan Mas Danu?"
Waktu seakan membeku. Suara jangkrik di luar terdengar memekakkan telinga. Aku pasti salah dengar. Ini tidak mungkin nyata.
"A-apa?" suaraku keluar seperti desisan.
"Menjadi istri kedua Mas Danu," Ibu memperjelas, seolah aku ini anak bodoh yang tidak mengerti. "Kamu yang akan mengandung anak untuk Danu dan Binar. Anak itu akan menjadi penerus keluarga."
Aku menarik tanganku dari genggaman Ibu. Aku menatap mereka satu per satu, mencari tanda-tanda bahwa ini semua hanya lelucon yang sangat tidak lucu. Wajah Ayah yang menunduk pasrah. Wajah Ibu yang penuh harap. Wajah Mas Danu yang tersiksa tapi diam. Dan wajah Kak Binar yang memelas.
Tawa. Tawa kering dan sumbang lolos dari bibirku. Aku tertawa sampai perutku sakit.
"Ini ... ini gila," kataku di sela tawa histerisku. "Kalian semua sudah gila! Ini lelucon terburuk yang pernah aku dengar!"
"Arini, jaga bicaramu!" bentak Ayah, akhirnya bersuara. "Ini bukan lelucon!"
"Bukan lelucon?" suaraku meninggi, tawa histerisku berubah menjadi amarah. "Ayah sadar nggak apa yang Ayah minta? Ibu? Kalian mau aku jadi apa? Pabrik anak? Sapi perah?"
"Jaga mulutmu, Arini!" seru Ibu, wajahnya memerah. "Kami memintamu untuk berkorban demi kebahagiaan kakakmu!"
"Kebahagiaan kakakku?" Aku menunjuk Kak Binar yang kembali menangis. "Dengan menghancurkan kebahagiaanku? Sejak kapan kebahagiaanku penting di rumah ini? Gaun pestaku saja bisa direbut atas nama 'mengalah', sekarang kalian mau merebut seluruh hidupku?"
"Ini beda, Arini!" pekik Kak Binar. "Ini bukan soal gaun! Ini soal masa depanku! Masa depan Mas Danu!"
"Lalu bagaimana dengan masa depanku?" teriakku, air mata kini membanjiri wajahku. "Apa aku tidak berhak punya suami yang utuh milikku sendiri? Apa aku tidak berhak punya pernikahan yang normal? Kenapa aku harus selalu dapat bekasan dari Kak Binar? Baju bekas, mainan bekas, dan sekarang bahkan suami pun aku harus dapat yang setengah pakai?"
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Tangan Ibu. Rasanya panas dan perih, tapi tidak seperih rasa sakit di hatiku.
"Cukup!" desis Ibu, napasnya memburu. "Kamu sudah keterlaluan. Ibu tidak pernah mengajarimu menjadi anak yang egois dan tidak tahu terima kasih!"
Aku memegangi pipiku yang terasa berdenyut, menatap mereka semua dengan pandangan tak percaya. Di tengah semua kekacauan ini, aku melirik Mas Danu. Aku berharap, sangat berharap, dia akan mengatakan sesuatu. Mengatakan bahwa ini salah. Bahwa ini tidak adil untukku.
Tapi dia tetap diam. Matanya menatapku dengan ekspresi kasihan. Bukan pembelaan. Bukan penolakan atas ide gila ini. Hanya rasa kasihan. Dan dalam diamnya, aku menemukan jawabanku. Dia setuju. Dia rela melakukan ini. Dia rela menikahiku, bukan karena cinta, tapi demi menuruti keinginan istrinya.
Aku merasa tercekik. Ruangan ini, rumah ini, terasa seperti penjara. Mereka semua adalah sipirnya.
"Aku tidak mau," bisikku dengan sisa tenaga yang kumiliki. "Aku. Tidak. Mau."
Aku bangkit berdiri, kakiku gemetar. Aku berjalan sempoyongan menuju kamarku, mengabaikan panggilan Ayah dan Ibu. Aku membanting pintu dan menguncinya, lalu merosot di baliknya.
Isak tangis yang kutahan akhirnya meledak. Aku menangis sejadi-jadinya, memukul-mukul dadaku yang terasa sesak. Ini mimpi buruk. Ini pasti hanya mimpi buruk. Sebentar lagi aku akan bangun.
Tapi suara lirih Ibu dan Kak Binar dari balik pintu, yang terus membujuk dan memohon agar aku "memikirkan kembali demi keluarga", menyadarkanku.
Ini bukan mimpi. Ini adalah kenyataan. Kenyataan di mana aku sekali lagi diminta untuk mengalah. Tapi kali ini, yang harus kuserahkan bukanlah gaun warna senja. Melainkan seluruh hidup dan masa depanku.
kan jadi bingung baca nya..