Mirai adalah ID game Rea yang seorang budak korporat perusahaan. Di tengah stress akan pekerjaan, bermain game merupakan hiburan termurah. Semua game ia jajal, dan menyukai jenis MMORPG. Khayalannya adalah bisa isekai ke dunia game yang fantastis. Tapi sayangnya, dari sekian deret game menakjubkan di ponselnya, ia justru terpanggil ke game yang jauh dari harapannya.
Jatuh dalam dunia yang runtuh, kacau dan penuh zombie. Apocalypse. Game misterius yang menuntun bertemu cinta, pengkhianatan dan menjadi saksi atas hilangnya naruni manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaehan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bukan Binatang
Part 13
"Eri!" panggil Nero sambil membentangkan tangan ke arah Mirai yang akan melompati selokan yang cukup lebar.
Siang ini mereka berada di belakang gedung polisi yang ternyata tidak terlalu jauh dari markas mini market. Mereka terpaksa memutar jalan karena ada beberapa zombie di jalan utama menuju gerbang polisi. Saat mereka telah berada di sisi pagar belakang gedung, Mirai hanya terperangah menatap betapa tingginya tembok yang harus dipanjat. "Yakin? Gimana caranya?"
"Kamu naik ke pundak aku. Ayo, cepet!"
"Eh? Aku lumayan berat loh."
"Udah, gapapa."
Setelah bersusah payah memanjat dan saling menarik, akhirnya mereka sudah berada di bagian belakang gedung. Nero berjalan lebih dulu dengan senjata api yang telah siap digenggaman, sedangkan Mirai mengekor sambil berjaga di arah belakang.
Tiba di sisi gedung, terlebih dahulu Nero mengintip melalui jendela yang kacanya telah pecah. Di dalam ruangan tampak semeraut. Seolah ada tanda perkelahian dari banyaknya barang-barang yang hancur berhamburan sebab benturan. Terlebih ada banyak tubuh zombie yang telah tergeletak tak bergerak dalam kondisi kepala pecah dan terpenggal. Jelas dahinya jadi sedikit berkerut. *Apa ada orang selain kami*?
Dirasa aman, mereka masuk melalui pintu yang telah terbuka. Badan pintu itu sendiri sudah remuk tergeletak di tanah. Sambil mengendap mereka sigap mencari map yang menjadi tujuan. Langkah mereka pelan namun efesien seolah telah terbiasa dan menjadi ahli seperti maling. Ruangan yang hanya mendapat cahaya dari jendela di siang hari cukup terang meski terdapat sisi gelap di sudut tertentu.
Hanya aroma ruangan ini benar-benar tak tertahankan. Meski sudah memakai masker, Mirai dan Nero masih bisa mencium bau memuakkan itu. Lalat-lalat berterbangan mengerumuni daging busuk, dan bila diamati lebih jelas, banyak sekali belatung yang merayap di daging dan lantai. Mirai ingin sekali teriak namun berusaha diam. Pemandangan ini bukanlah yang pertama kali, tapi tetap saja ia kadang tak sanggup menahannya.
Beberapa ruangan telah diperiksa tetapi hasilnya masih nihil. Bahkan ketika Nero menemukan pintu menuju ruang bawah tanah yang rupanya merupakan sel tahanan tetap tidak menemukannya terkecuali tubuh zombie yang sudah terkapar diam.
Mirai yang menunggu di atas hanya melihat raut lesunya. Mereka pun lanjut menuju ruang terakhir, kantor kepala kepolisian. Hasilnya pun sama. Hanya saja Nero menemukan sesuatu yang menarik. Sebuah katana yang terpajang di atas nakas. Sarungnya berwarna putih terletak di bagian dalam tatakan yang lebih tinggi. Satu tatakan yang lebih pendek telah kosong. Sepertinya, awalnya ada dua buah katana di sini. Entah kemana pasangan katana yang pertama.
Mirai mendekat ketika Nero mengambilnya. Dilihatnya ada simbol bunga teratai emas di gagang pedang. Ia semakin takjub saat Nero menarik keluar isi katana yang berkilauan. Ada ukiran aliran air di batas mata pedangnya. "Kereeen," gumamnya yang baru pertama kali melihat langsung benda yang hanya bisa dilihatnya dalam film.
"Iya, keren banget, njiiiir."
"Bawa aja, lumayan."
"Kamu bisa pake?"
"Mana bisa."
"Sama." Setelah merenung sejenak akhirnya diputuskan untuk membawanya.
Berikutnya ketika menggeledah laci, mereka menemukan senjata api dan empat buah kotak peluru. Tanpa pikir panjang Nero lekas memasukkannya ke dalam tas.
Mirai berbalik padanya setelah memeriksa lemari. "Gak ada di sini." Ia juga tidak menemukan hal lain yang berguna. Selanjutnya mereka menuju ruang loker.
Nero mengamati loker bertuliskan nama Leon telah kosong dibandingkan loker yang lain. Seketika saja sesuatu mengganggu benaknya. Bila dugaannya benar. Kemungkinan besar ia harus berhati-hati pada seseorang yang pernah ada di tempat ini. Sebab sisa pertarungan yang terjadi di luar sana bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan oleh manusia biasa.
Mirai terhenyak menatap Nero yang tertegun tenggelam renungan yang sangat dalam. "Vin? Vin?" tegurnya.
"Eh, ya?"
"Kok bengong?"
"Enggak kok."
Dahi Mirai berkerut. "Mikir apa?"
Bibir Nero merapat tipis. Lagi-lagi ia masih enggan berbagi pikiran dengan Mirai. Terutama soal dugaannya barusan yang masih belum pasti. Itu hanya akan menambah kekhawatiran saja. "Mikir kemana lagi kita kalau di sini gak ada map," dalihnya bohong.
"Oh." Jelas tidak semudah itu Mirai percaya. Jika hanya memikirkan hal itu tentu tidak akan memakan waktu yang terlalu lama. Tetapi ia juga enggan mengusiknya lebih jauh. Tidak ingin membuatnya merasa tidak nyaman.
Sekali lagi Nero menatap tulisan nama Leon di pintu loker yang setengah terbuka. Leon merupakan salah satu karakter hero gold terkenal di game ini. Hampir semua player menginginkan Hero itu yang hanya bisa didapatkan dengan uang yang sangat banyak. Skill yang dimilikinya gak kaleng-kaleng. Bahkan Nero sendiri merasa Hero ini terlalu over power. Bagi pemain gratisan seperti dirinya hal tersebut tentu menyulitkan. Dirinya selalu putar otak untuk sekadar mengimbangi pemain yang memiliki hero ini. Kalo orang ini beneran ada, semoga dia bukan musuh.
"Udah gak ada yang dicari di sini, kan? Pergi, yuk," ajak Mirai yang agak khawatir karena Nero terus melamun.
"Hm. Oke."
Pada akhirnya mereka kembali ke markas tanpa hasil yang diinginkan. Saat Mirai selesai mandi didapati Nero yang duduk di kasur buatan sedang membuka sarung katana, memperlihatkan bilah tajam yang berkilauan.
"Bagus, ya," komentar Mirai sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk kecil. Pemuda yang diajak bicara tidak memperhatikannya yang hanya mengenakan tank top hitam dan celana pendek senada.
"Iya. Ini benda berharga. Kalo ditaksir di dunia kita harganya bisa milyaran. Artistik and tajam banget. Liat nih." Nero mengambil selembar tisue lalu menjatuhkannya di atas bilah tajam katana. Lembaran tisue melayang turun secara lamban kemudian bagian yang tepat menyentuh bilah tajamnya langsung terbelah dua.
"Oh, wow!" Saat akan mendekat demi memperjelas belahan tisue tadi tanpa sengaja Mirai tersandung ujung kasur yang terbuat dari tumpukan kardus. Alhasil keseimbangannya goyah dan ia pun terjatuh menuju Nero. "Eh, eh, EEEEH!!"
Nero yang terkejut langsung melempar katananya ke samping begitu saja lantas menangkap tubuh Mirai. Kalau tidak begitu Mirai akan terluka terkena tajamnya pedang para samurai. Dan kejadiannya begitu cepat. “Wadauw!!” Mereka terjerembab dengan posisi Mirai menindih Nero.
Kepala Mirai telah terselip di antara pundak dan lehernya. Matanya mengerjap dan napasnya tertahan sejenak. Baginya ini posisi yang sangat memalukan, sampai tidak berani mengangkat kepala karena tahu wajahnya semerah apa.
Nero yang bingung karena Mirai belum beranjak dari tubuhnya jadi merasa khawatir. “Kamu gapapa?”
“I-iya. Gapapa?”
Eh? Masih ada orangnya. Nero jadi tambah bingung. “Oh, kirain kamu pingsan.”
“Eh, iya sorry.” Perlahan Mirai mengangkat kepalanya sembari berusaha menyembunyikan wajah.
Disanalah Nero baru paham dari gelagatnya kalau gadis ini merasa malu. “Kalo masih mau lama-lama juga gapapa kok,” candanya agar Mirai cepat menyingkir. *Njiiir, melonnya empuk bangeeeet. Si Joni udah cenat-senut aja. Bahaya ini*!
Saat Mirai menatapnya untuk memberi perlawanan sengit, entah mengapa ia jadi malah membeku. Ini pertama kali baginya merasakan sensasi bersentuhan dengan seorang pria dalam posisi yang intim. Sesuatu berdesir dalam dirinya. Irisnya terpaku pada bibir Nero. Dan ia pun sebenarnya sadar bahwa sudah terlalu terlambat untuk merespon gurauan pemuda itu. *Duh, gimana nih? Malah jadi kaya orang begoooo. Oneng banget sih*! Padahal ia sadar hanya perlu mengangkat tubuhnya saja. Tapi entah mengapa hal itu malah sukar dilakukan.
“Er?” tegur Nero yang semakin bingung kalau-kalau Si Joni sampai tegang, pasti Mirai bisa merasakannya karena daerah itu terhimpit area terlarang miliknya. “Eri?”
Mirai tersentak. “Ah, iya!” Sontak diangkat sedikit tubuhnya hingga Nero bisa melihat secara jelas bulatan yang setengah menyembul, mengintip seoalah menggoda imannya.
Ah, kacau! Bisa dirasakan kalau Joni sudah bangun sempurna. Dan yang mengejutkan ketika Mirai mencoba bangkit dengan mendudukkan diri terlebih dahulu. Sontak gadis itu nampak tercekat sesaat merasakan batang keras di antara lipitan area sensitifnya yang hanya terpisah tiga lembar kain tipis. *Ugh*! Nero hanya bisa pasrah, isi pikirannya jadi semeraut.
Kedua wajah mereka pun berubah merah padam.
Mirai pun tak tahan akan kebodohannya. “So-sorry!”
“I-iya, gapapa.”
Secepat kilat ia berpindah dan langsung berbaring di samping Nero sambil membelakanginya. Diam-diam ditutup wajahnya dengan kedua tangan menahan malu yang tak tertahankan. *Apa itu tadi?! Apa? Apa? Apaaaa? Masak itu sih? Ih, lo begok banget siiiiih*!
Nero merapatkan bibir sambil memejamkan mata demi menenangkan Joni yang mulai mengamuk. Tenang, Jon. Ingat, kita bukan binatang.