Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. PERINGATAN HARI ULANG TAHUN HOTEL ALEXANDER GRUP
Seperti biasa, Rindi bangun pagi-pagi sekali untuk menyiapkan sarapan sebelum berangkat kerja. Setelah semuanya siap, ia menulis pesan singkat di secarik kertas dan meletakkannya di atas meja makan — pesan kecil untuk Rara agar tidak lupa sarapan.
Hampir setiap malam, Rara pulang larut karena tuntutan pekerjaan.
Setelah memastikan rumah rapi dan kompor sudah dimatikan, Rindi mengenakan tas ransel berisi pakaian kerjanya. Tak lama kemudian, ojek langganannya datang menjemput.
“Pagi, Bu Rindi. Seperti biasa, ke restoran?” sapa sang pengemudi ramah.
“Iya, Pak. Tapi tolong agak cepat ya, saya harus bantu menyiapkan bahan pagi ini.”
Ojek melaju membelah jalanan kota yang mulai ramai. Udara pagi masih terasa segar, meski polusi mulai menebal di beberapa sudut. Sesampainya di restoran, Rindi segera mengganti pakaian dan masuk ke dapur.
Pagi itu terasa berbeda dari biasanya. Hotel tempat Rindi bekerja tampak lebih ramai dan sibuk dari hari-hari sebelumnya. Manajemen hotel tengah bersiap untuk perayaan ulang tahun ke-10 hotel tersebut. Rangkaian bunga tertata indah di lobi, sementara alunan musik lembut terdengar samar dari arah restoran.
Rindi, bersama beberapa rekan cleaning service lainnya, ditugaskan untuk membantu membersihkan area utama sebelum tamu undangan datang. Mereka mengenakan seragam biru muda dan membawa alat pel bersih. Semuanya tampak berjalan lancar—sampai suasana mendadak berubah.
“Katanya, Tuan Muda Luis sudah datang dari luar negeri,” bisik salah satu teman Rindi sambil sibuk mengelap dinding toilet.
“Iya, anak tunggal Tuan Alexander, dokter spesialis jantung dan organ tubuh yang kekayaannya sampai triliunan,” timpal yang lain dengan nada antusias.
“Selama ini wajahnya nggak pernah muncul di media. Kata orang-orang, ganteng banget tapi tertutup,” tambah seorang yang lain.
Rindi hanya tersenyum melanjutkan pekerjaannya mengepel lantai dan menyiramnya dengan cairan pemutih. Ia tak begitu tertarik dengan gosip seperti itu. Namun, entah mengapa kali ini rasa ingin tahunya sedikit terusik. Ia sempat ingin tanya seperti apa sosok pria yang membuat semua orang di hotel heboh membicarakannya.
Belum sempat ia mengutarakan niatnya, suara langkah cepat terdengar dari arah koridor. Manajer hotel muncul dengan wajah tergesa.
“Rindi, Dewi, ikut Aku ke aula utama. Kita butuh bantuan tambahan untuk menyiapkan hidangan dan minuman bagi tamu undangan,” katanya tegas.
Rindi dan Dewi segera mengangguk, sementara yang lain melanjutkan pekerjaan Mereka.
Aula utama hotel tampak begitu ramai. Hari perayaan ulang tahun hotel menjadi acara besar yang dihadiri tamu-tamu penting. Dekorasi bunga segar menghiasi setiap sudut, sementara aroma parfum dan makanan lezat bercampur memenuhi udara.
Rindi bersama Dewi sibuk menata gelas dan menyusun minuman di meja prasmanan. Keringat menetes di pelipis, namun mereka tetap bekerja dengan telaten.
“Rin, katanya, Tuan Muda Luis datang untuk hadiri acara ini,” bisik Dewi sambil menata sendok.
Rindi tersenyum kecil, mencoba tak terlalu memikirkan gosip itu.
Beberapa menit kemudian, suasana mendadak berubah. Para karyawan berhenti sejenak, menoleh ke arah pintu utama. Seorang pria tinggi berjas abu-abu masuk dengan langkah tenang, diiringi beberapa staf hotel. Wajahnya teduh, berkarisma, namun dingin.
“Itu dia… Tuan Muda Luis,” bisik Dewi pelan.
Rindi spontan menatap. Ada rasa aneh yang menyelinap di dadanya—bukan karena ketampanan pria itu, tapi mengingat kejadian semalam.
Belum sempat ia berpaling, pandangannya tertumbuk pada sosok lain di sisi ruangan. Seorang wanita muda bergaun putih lembut sedang berbicara dengan tamu-tamu undangan, tampak percaya diri dan elegan. Di sampingnya berdiri seorang pria muda berjas cokelat. Gadis itu bergelayut manja di lengan sang pria.
Rindi tertegun. “Melda…” gumamnya lirih.
Tangannya gemetar, hampir saja gelas di tangannya terlepas. Rindi menunduk cepat, berharap Melda tidak melihat. Tapi takdir berkata lain—Melda menoleh sekilas, menatap ke arahnya. Sesaat, ekspresinya kaku, lalu segera berubah menjadi senyum profesional seolah tak mengenal siapa pun.
Rindi menelan ludah, hatinya terasa perih. Ia berbalik hendak pergi, namun langkahnya terhenti saat tanpa sengaja tubuhnya bersenggolan dengan seseorang pria. Troli kecil di tangannya miring, hampir terjatuh, namun tangannya sigap menahan.
“Maaf, saya tidak sengaja,” ucap Rindi terburu-buru.
Rindi mendongak—dan tertegun. Pria itu adalah Tuan Muda Luis. Sorot matanya tajam, seolah sedang menilai lebih dalam siapa perempuan di hadapannya.
Rindi menunduk hormat, mencoba menutupi rasa gugup yang tiba-tiba menyeruak di dadanya. Luis menatap tanpa banyak bicara, namun pandangan itu cukup membuat jantung Rindi berdebar lebih cepat dari biasanya.
Begitu suasana kembali tenang, Rindi segera menjauh, menyusuri kerumunan tamu yang asyik bercengkerama. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri dan kembali fokus pada tugasnya. Dengan hati-hati, ia mendorong troli minuman, memastikan tidak ada kejadian serupa yang terulang.
Satu per satu tamu undangan ia hampiri dengan senyum sopan.
“Silakan, minumannya, tuan… nyonya…” ucapnya lembut setiap kali menyodorkan gelas.
Langkahnya terus bergerak menyusuri aula yang semakin ramai. Di setiap sudut, musik lembut mengalun, para tamu berbincang hangat, dan kilauan kaca kristal memantul di bawah sinar lampu.
Ketika mendekati meja utama, langkahnya tiba-tiba terhenti. Melihat sosok Melda.
Rindi menahan napas. Tangannya sedikit bergetar, namun ia tetap melangkah maju dengan tenang, berusaha tidak menunjukkan kegugupan.
“Nak, kamu mau minum apa? Biar Ibu siapkan,” ucap Rindi sopan sambil menyodorkan gelas ke arah Melda.
Melda pura-pura tidak mendengar. Namun, pria berjas yang berdiri di sampingnya segera melirik Rindi — menatapnya dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan rasa ingin tahu.
“Sayang, apa kamu mengenalnya? Tadi aku dengar dia memanggilmu ‘anak’. Apa dia ibumu?” tanya pria itu sambil mengalihkan pandangan pada Melda.
Wajah Melda seketika tegang. Senyum di bibirnya memudar, dan ia berusaha menutupi kegugupannya di depan pria itu.
“Hih... amit-amit! Mana mungkin aku punya ibu pelayan seperti dia? Ayah dan ibuku sudah lama meninggal, kamu tahu sendiri itu, sayang,” jawab Melda cepat. Suaranya terdengar dingin, berusaha meyakinkan. Ia kemudian menoleh ke arah lain, berpura-pura sibuk memperhatikan gelas di tangannya.
Senyum di wajah Rindi perlahan memudar. Tangannya bergetar memegangi troli. Ia berusaha tegar di hadapan Melda.
“Maaf... benar katanya, saya bukan ibunya. Saya hanya orang miskin, mana mungkin memiliki anak sepertinya,” ucap Rindi pelan sambil menunduk sopan. Dengan langkah berat, ia menjauh. Hatinya hancur, jiwanya remuk — anak yang dilahirkannya sendiri kini menganggapnya sudah tiada.
Rindi menyandarkan tubuhnya di dinding koridor hotel, jauh dari keramaian pesta. Ia menatap kosong ke langit-langit, matanya basah menahan tangis.
“Tuhan... dosa apa yang telah aku lakukan, hingga anak-anakku lebih memilih menganggapku mati?” bisiknya lirih.
Belum sempat ia menghapus air matanya, seseorang tiba-tiba muncul dari arah belakang. Dengan kasar, orang itu menarik lengannya dan menyeretnya menuju lorong sepi.