Jhonatan Wijaya, seorang Kapten TNI yang dikenal kaku dan dingin, menyimpan rahasia tentang cinta pandangan pertamanya. Sembilan tahun lalu, ia bertemu dengan seorang gadis di sebuah acara Akmil dan langsung jatuh cinta, namun kehilangan jejaknya. Pencariannya selama bertahun-tahun sia-sia, dan ia pasrah.
Hidup Jhonatan kembali bergejolak saat ia bertemu kembali dengan gadis itu di rumah sahabatnya, Alvino Alfarisi, di sebuah batalyon di Jakarta. Gadis itu adalah Aresa, sepupu Alvino, seorang ahli telemetri dengan bayaran puluhan miliar yang kini ingin membangun bisnis kafe. Aresa, yang sama sekali tidak mengenal Jhonatan, terkejut dengan tatapan intensnya dan berusaha menghindar.
Jhonatan, yang telah menemukan takdirnya, tidak menyerah. Ia menggunakan dalih bisnis kafe untuk mendekati Aresa. Ketegangan memuncak saat mereka bertemu kembali. Aresa yang profesional dan dingin, berhadapan dengan Jhonatan yang tenang namun penuh dominasi. Dan kisah mereka berlanjut secara tak terduga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Jhonatan menyalakan mesin mobilnya kembali. Ia tahu, setelah deklarasi kebohongannya di depan keluarga, ia harus menemui Aresa lagi. Tanpa berpikir panjang, ia memutar kemudi dan melaju menuju rumah sakit.
Setibanya di sana, langkahnya tergesa menuju ruang rawat Aresa. Pintu terbuka—namun ruangan itu kosong. Ranjang sudah rapi, seolah tak pernah ada pasien di sana. Rasa panik seketika merayap di dadanya.
Ia keluar dan menghampiri resepsionis.
“Pasien atas nama Aresa, sudah pulang?” tanyanya cepat.
“Iya, Pak,” jawab resepsionis ramah. “Beliau dibawa pulang oleh kedua saudaranya beberapa jam lalu.”
Jhonatan mendesis pelan. Ia tahu pasti ke mana Aresa dibawa—apartemen Arian.
Tanpa pikir panjang, ia langsung melaju ke sana.
Sesampainya di apartemen, langkah Jhonatan cepat menuju lobi. Namun begitu ia hendak masuk ke area lift, seorang satpam segera menghadang.
“Selamat sore, Pak. Maaf, Anda tidak diizinkan masuk ke area unit,” ujar satpam kaku.
“Kenapa? Saya ingin bertemu salah satu penghuni di sini,” balas Jhonatan dingin.
“Maaf, Pak. Atas perintah salah satu penghuni, semua tamu tak terdaftar—terutama yang mencari Nona Aresa—dilarang masuk.”
Jhonatan terdiam, lalu menghela napas berat.
Ia tahu pasti siapa yang memberi perintah itu: Arian.
Ia masih ingat tatapan dingin dan protektif pria itu di rumah sakit. Tatapan yang jelas menandakan ketidaksukaan.
Berhadapan dengan satpam hanya akan membuang waktu.
Jhonatan berbalik, meninggalkan tempat itu. Ia harus mencari cara lain.
****
Frustrasi, Jhonatan kembali ke rumah dinasnya. Ia ingin istirahat, menenangkan pikirannya, tapi kegelisahan menolak pergi sebelum ia tahu kabar Aresa.
Akhirnya, ia memutuskan mencari Alvino.
Namun rumah Alvino kosong. Saat ia memutari area kompleks, seorang prajurit muda yang sedang menyapu memberi hormat padanya.
“Kamu lihat Kapten Alvino?” tanya Jhonatan.
“Siap, Kapten. Kapten Alvino sedang menemani putranya di taman, dekat lapangan voli. Hari ini ada kegiatan olahraga ibu-ibu Persit,” jawab prajurit itu sopan.
Jhonatan mengangguk singkat dan melangkah ke arah taman.
Di sana, ia menemukan Alvino duduk di bangku kayu, tertawa kecil sambil memperhatikan putranya, Gio, yang sibuk bermain tanah.
Saat melihat Jhonatan datang, Alvino menoleh sebentar lalu tersenyum tipis.
“Eh, Jo. Tumben ke sini,” sapa Alvino.
Jhonatan duduk di sampingnya, menghela napas panjang.
“Cari udara segar. Aku baru dari rumah sakit, tapi Aresa sudah pulang.”
“Iya,” sahut Alvino santai. “Dibawa pulang Arian tadi siang.”
“Baguslah,” kata Jhonatan, mencoba terdengar tenang padahal tubuhnya tegang. “Tadi aku ke apartemen Arian, tapi dilarang masuk oleh satpam.”
“Kenapa? Arian yang melarang?” tanya Alvino, matanya tetap pada Gio.
“Mungkin. Siapa lagi kalau bukan dia,” jawab Jhonatan singkat.
Alvino tersenyum tipis.
“Arian memang seperti itu. Posesif sekali sama Aresa. Tapi, ada apa kamu ingin menemuinya?”
Nada suara Alvino lembut tapi tajam.
Jhonatan terdiam sejenak sebelum menjawab lebih pelan dari biasanya.
“Aku cuma ingin memastikan dia baik-baik saja. Aku yang membawanya ke rumah sakit, jadi tanggung jawabku memastikan keadaannya.”
Alvino menghela napas, menatap Jhonatan dengan tatapan bersahabat namun tegas.
“Jo, dia aman. Ada kami, kakak-kakaknya, yang menjaganya. Tanggung jawabmu sudah selesai.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap Jhonatan lebih dalam.
“Tapi jujur, Jo. Aku tahu kamu nggak seperti ini biasanya. Aku tanya sekali lagi—dari hati ke hati—apa sebenarnya yang kamu rasakan pada Aresa?”
Jhonatan menelan ludah. Ia tak mungkin jujur.
“Aku hanya... terbebani. Aku harus bicara dengannya, Vin.”
Alvino menggeleng.
“Tolong, biarkan dia istirahat. Dia nggak mau diganggu siapa pun.”
Jhonatan tak membalas. Ia hanya berdiri, memberi hormat singkat, lalu pergi.
Alvino menatap punggung sahabatnya dengan kekhawatiran yang dalam.
****
Jhonatan kembali ke rumah dinas. Ia melepas seragam lapangan yang kotor, lalu merebah di tempat tidur. Meski tubuhnya lelah, pikirannya tetap berputar pada wajah Aresa.
Dengan disiplin militer yang tertanam kuat, ia mencoba menekan kekacauan emosinya. Ia memejamkan mata, menyiapkan diri untuk jadwal piket malam.
Tepat pukul 19.00, Jhonatan sudah di pos komando.
Selama jam-jam itu, ia bekerja dengan ketelitian luar biasa. Semua laporan diperiksa, semua jadwal tertata. Dalam kesibukan itu, Aresa untuk sementara tergeser dari pikirannya.
Namun di tengah malam, Letnan Kolonel Dedi datang menghampiri.
“Kapten Jhonatan,” sapa Letkol Dedi, menyodorkan secangkir kopi. “Kamu kelihatan banyak pikiran malam ini. Ada masalah?”
Jhonatan menerima kopi itu, menatap lurus tanpa ekspresi.
“Tidak ada, Letkol. Hanya laporan harian yang rumit. Saya baik-baik saja.”
Letkol Dedi menatapnya dalam-dalam.
“Baiklah. Tapi ingat, Kapten. Masalah pribadi tidak boleh dibawa ke dalam pos komando.”
“Siap, mengerti, Letkol,” jawab Jhonatan singkat.
****
Sementara itu, di tempat lain, Sella duduk di ruang kerjanya di klinik pribadi. Telepon di tangannya baru saja ia tutup dengan wajah kesal.
“Apa maksudmu? Kamu tidak bisa menemukan data yang jelas tentang wanita itu?” tanyanya tajam tadi.
“Maaf, Dokter Sella,” suara di seberang terdengar gugup. “Kami sudah menyelidiki. Tidak ada indikasi Kapten Jhonatan menjalin hubungan setelah perceraiannya.”
Sella mendengus, lalu menutup telepon dengan kasar.
Ia bersandar di kursi, memutar pikirannya cepat.
“Jhonatan pasti berbohong. Tapi kebohongan itu harus dilindungi oleh fakta.... dan aku akan menemukannya.”
Ia mengingat perkataan Jessica siang tadi:
‘Sebelum datang ke rumah, Jhonatan sempat ke rumah sakit dulu.’
“Rumah sakit…” gumam Sella, matanya menyipit. “Kalau dia rela menunda acara keluarga demi ke sana, pasti orang itu penting baginya. Apa mungkin... perempuan itu?”
Senyum tipis terbentuk di wajahnya. Ia meraih ponselnya lagi.
“Selidiki kegiatan Jhonatan pagi tadi. Cek semua pasien wanita yang masuk dan keluar dari rumah sakit dalam dua puluh empat jam terakhir. Temukan siapa yang dijenguknya. Segera.”
Sella menutup telepon.
Tatapan matanya tajam dan dingin.
“Pertarungan sesungguhnya baru dimulai.”