kinandayu gadis cantik tapi tomboy terlihat semaunya dan jutek..tp ketika sdh kenal dekat dia adalah gadis yang caring sm semua teman2 nya dan sangat menyayangi keluarga nya....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon happy fit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
chapter 27- saat jalan kita mulai berbeda
Pagi itu, aula SMA Harapan Bangsa penuh sesak dengan toga biru memenuhi pandangan. Hari ini adalah hari pelepasan kelas XII — hari yang selalu dibicarakan siswa sejak kelas 10, tapi kini terasa terlalu cepat datangnya.
Kinandayu Ratri Prameswari—yang lebih akrab dipanggil Kinan—berdiri di samping Maya sambil menarik ujung toga yang terlalu panjang.
“May… ini bawahnya seriusan kayak tirai ruang tamu,” keluh Kinan.
Maya tertawa sambil membenarkan bagian belakang toga Kinan. “Ya iyalah, kamu tuh kecil. Udah kayak baca doa kalau jalan.”
Kinan mencubit lengan sahabatnya. “Kurang-kurangin roasnya, bisa?”
Di sisi lain aula, Danu Alfareza merapikan dasinya yang selalu miring, padahal sudah dibetulkan tiga kali. Dia mengamati Kinan dari jauh, menghela napas panjang.
“Kenapa sih Kinan kalau pakai toga jadi lebih… ya ampun,” gumamnya.
Andi lewat dan langsung menepuk bahu Danu. “Ngiler lu?”
“Bukan.” Danu cepat. “Inspirasi.”
Andi ngakak. “Ya jelas lah inspirasi, soalnya kamu calon arsitek. Segala bentuk aja kamu kagumi.”
“Diam, Ndik.”
Acara dimulai dengan pidato kepala sekolah yang… panjang. Sangat panjang.
“Sumpah ya Kin, kalau tadi aku tidur, aku yakin aku ngorok pake nada re mi fa,” bisik Maya.
Andi langsung nyodok pinggangnya. “May, jangan mempermalukan aku.”
Kinan cekikikan pelan.
Giliran pembagian medali, nama Kinan dipanggil.
“Kinandayu Ratri Prameswari,” seru MC.
Tepuk tangan meledak. Kinan melangkah ke panggung, pipinya memerah karena haru.
Dari barisan sebelah, Danu sudah berdiri duluan. “TUNAIII… EH SALAH—KINAAANNN!!!”
Satu aula nengok. Guru pengawas menatap tajam.
Kinan cuma bisa menahan tawa sambil menunduk malu.
Setelah itu giliran Danu dipanggil.
“Danu Alfareza.”
Maya dan Andi langsung histeris seperti fans boyband.
“DANU ARSITEKTUR ITB BREEEE!”
“HUWOOOO!!!”
Danu naik panggung dengan gaya sok cool, tapi senyumnya nggak bisa disembunyikan.
Di bawah sana, Kinan bertepuk tangan pelan dengan tatapan yang hangat. Tatapan yang membuat dada Danu terasa penuh.
Setelah acara resmi selesai, mereka berkumpul di halaman untuk foto-foto.
“Ayo Kin! Foto sama aku dulu!” Maya menariknya.
Andi ikut nimbrung. “Harus sama aku juga dong. Kita kan geng.”
Danu pura-pura sibuk memperbaiki toga sambil nunggu giliran.
Akhirnya Kinan menoleh ke Danu. “Udah nunggu lama? Ayo foto.”
Danu tersenyum—lebih lebar dari biasanya. “Kupikir kamu lupa.”
“Aku belum pikun, Dan.”
Mereka berdiri agak dekat. Maya memotret sambil teriak:
“DEKETAN DONGGG! ALAH, PACARAN AJA SUSAH AMAT!”
Kinan dan Danu langsung kompak, “MAYA!!”
Tapi tetap saja, pada detik berikutnya, Danu secara refleks menyandarkan bahunya sedikit ke arah Kinan. Tanpa diminta, tanpa dipaksa.
Dan Kinan… tidak menjauh.
Klik.
Satu foto tersimpan. Satu memori baru tercetak.
Setelah perpisahan selesai, babak baru dimulai:
perjuangan masuk kampus impian.
Rumah-rumah menjadi tempat belajar lagi. Toko fotokopian laris manis. Kafe dipenuhi anak SMA yang mendadak serius.
Kinan fokus berjuang untuk FK UGM.
Danu mengejar Arsitektur ITB.
Maya mengincar Psikologi UNS.
Andi berharap masuk Teknik Elektro UNDIP.
“Kin, kamu udah belajar anatomi?” tanya Danu via video call.
“Udah lah. Kamu gimana? Gambar perspektifnya lancar?”
“Lancar sih. Tapi fisikanya… ya Allah.”
Andi tiba-tiba masuk layar. “Fisika sama Danu itu kayak hubungan toxic. Nggak bisa diputus, tapi sakit.”
“COBA SINI!!” Danu teriak sambil mau ngelempar buku.
Kinan ngakak parah.
Setiap malam, mereka saling menyemangati.
Setiap pagi, mereka membuka hari dengan pesan singkat.
Hari tes UGM datang.
Bu Ratna menyiapkan bekal lengkap.
Pak Bram mengantar sampai gerbang.
Shaka mondar-mandir sambil bantu bawain botol minum.
“kak aku sumpahin kamu lulus,” Shaka berkata sok serius.
Kinan mencolek pipinya. “Kamu doain yang baik-baik aja, Dek.”
Sementara itu, Danu berjuang di Bandung, memasuki ruang ujian dengan napas panjang dan keyakinan: Ini jalanku.
Minggu-minggu menegangkan berlalu.
Hingga akhirnya—pengumuman.
Kinan membuka laman UGM sambil berdoa.
Setelah loading bertahun-tahun…
“AKU… DITERIMA… AAAAAAAAAAAA!!”
Bu Ratna memeluknya sambil menangis.
Pak Bram mengusap mata sambil bilang lirih, “Alhamdulillah…”
Shaka teriak, “Kak.. JADI DOKTER YEAAAH!”
Lalu HP Kinan berdering.
Nama: Danu Alfareza
“Dan… aku diterima,” suara Kinan bergetar.
“Hm,” jawab Danu. “Aku tahu.”
“Kamu gimana?”
Hening sebentar.
Lalu suara itu—yang paling ia tunggu.
“Kin… aku… diterima Arsitektur ITB.”
Kinan tergerak mundur saking kaget. “Danu! Kamu serius?!”
“Serius. Aku masuk.”
Air mata Kinan menetes tanpa sadar. “Kita berhasil, Dan…”
“Ya, Kin. Kita berhasil.”
Lalu suara Danu menurun pelan, “Tapi… kita akan jauh.”
Kinan menggigit bibir. “Iya.”
“Tapi jarak itu cuma jarak, Kin. Selama kita percaya… kita baik-baik aja.”
Hari keberangkatan Kinan ke Jogja.
Rumah jadi kayak pasar.
Bu Ratna ngecek koper,
Pak Bram ngecek berkas,
Shaka komentarin semua isi koper.
“kak, boneka alpaka buat apa?”
“Shaka, itu emotional support!”
“Emotional support apaan? Kaya anak TK.”
Pak Bram sampai tertawa keras.
Danu tidak bisa hadir karena sudah berangkat ke Bandung duluan, tapi semalam ia mengirim voice note.
“Kin… aku nggak bisa antar. Tapi… jaga diri, ya. Kamu orang yang… aku banggakan.”
Kinan memutar voice note itu sampai ketiduran.
Sesampainya di UGM, mereka menata kamar kecil Kinan.
Bu Ratna menjerit. “KINAN! Kenapa kamu lipat baju kayak origami rusak?”
Shaka memotret segala sudut kamar. “Konten kamar mahasiswa gagal.”
“SHAKAAAA!”
Selepas beres, mereka makan es krim di taman UGM.
Bu Ratna mengelus rambut Kinan.
Pak Bram menepuk bahunya.
Shaka menawarkan gantungan kunci bentuk stetoskop mini.
"Kak, biar kamu inget rumah.”
Kinan langsung memeluk adiknya erat. “Dek… aku pasti inget.”
Saat keluarga akhirnya pamit, mobil perlahan menjauh, meninggalkan Kinan berdiri sendiri di depan asrama.
Hening.
Jogja tiba-tiba terasa sangat besar. Sangat asing.
HP Kinan berbunyi.
Danu :
Sudah sampai?
Kinan :
Sudah. Kamu gimana?
Danu :
Aku juga. Kampusnya gede… tapi aku ngerasa kamu ada di sini.
Kinan tersenyum kecil, mengetik:
Aku juga ngerasa kamu jalan sama aku dari gerbang tadi.
Balasan datang cepat.
Kayaknya aku bakal kangen kamu parah, Kin.
Kinan menahan napas, lalu menulis jujur:
Aku juga, Dan.
✨✨ To be continued