"Pasar tidak mengenal itu, hutang tetaplah hutang"
"Kalau anda manusia, beri kami sedikit waktu"
"Kau terlalu berani Signorina Ricci"
"Aku bukan mainan mu"
"Aku yang punya kendali atas dirimu"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Saskya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi Buruk
Udara pengap dalam lemari kayu itu bercampur dengan aroma anyir darah yang menyelinap lewat celah-celah pintu.
Kairos kecil (6 tahun) meringkuk di antara tumpukan baju usang, tangannya menutup mulut erat-erat agar tidak terjebak suara.
Di luar, jeritan ibu kandungnya memecah kesunyian malam—suara yang ia kenal terlalu baik, tapi kali ini lebih menyayat, lebih putus asa.
“Tolong... hentikan...”
Suara ibunya terputus oleh tamparan keras, diikuti derikan tawa kasar yang membuat bulu kuduknya berdiri.
Kairos menggigit bibir sampai berdarah. Ia ingin keluar, ingin melindungi ibunya, tetapi kakinya lumpuh oleh ketakutan.
Ia hanya bisa mendengar setiap pukulan, setiap rintihan, setiap degup jantungnya sendiri yang berdetak seperti genderang perang.
Tiba-tiba, jeritan itu terhenti digantikan langkah berat mendekat.
Pintu lemari perlahan terbuka.
Cahaya lampu temaram menyilaukan matanya. Di depan sana, ibunya terduduk lemah di lantai, wajah babak belur, mata bengkak separuh tertutup, dan darah mengalir dari sudut bibirnya.
Tapi yang paling membuat Kairos tergagap adalah senyum getir yang ia coba tunjukkan padanya—sebuah upaya terakhir untuk mengatakan,.“Jangan lihat, Nak.”
Lelaki di depannya dengan bau alkohol dan amarah, dia menggeram.
"SEKARANG GILIRANMU ANAK SIALAN." Kairos memejamkan matanya dan semua berubah gelap.
Kemudian sesuatu berubah.
Suara keras itu berubah menjadi tawa—tawa genit yang ia kenal terlalu baik.
Malam ini, ia berdiri di depan pintu apartemen Clara, pacarnya selama 3 tahun belakangan ini.
Wanita yang ia percaya bisa menjadi “aurora”-nya, cahaya yang dijanjikan akan menyembuhkan lalunya.
Tapi semua hancur ketika ia mendengar suara dari dalam.
Suara Clara yang tertawa genit, dan suara lelaki yang asing.
Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu yang tak terkunci.
Pemandangan itu menghantamnya seperti pukulan ke solar plexus.
Clara telan~jang di atas ranjang, terpeluk dalam dekapan pria yang sama sekali tidak ia kenal.
Dunia seakan runtuh.
Suara jantungnya berdebar kencang, tapi kali ini bukan ketakutan—ini kemarahan yang membakar, disusul rasa sakit yang begitu dalam hingga ia sulit bernapas.
Clara berteriak histeris
“Kairos! Tunggu, aku bisa jelaskan—”
"Badji*ngan!."
Kairos sudah tidak mendengar.
Matanya berkunang-kunang. Ia melihat bayangan wajah ibunya yang babak belur, mendengar lagi jeritan dari masa lalu, dan kini—wanita yang ia cintai juga mengkhianatinya dengan cara yang paling brutal.
Dia berbalik, berlari meninggalkan tempat itu.
Di tengah hujan yang mulai deras, ia muntah di pinggir jalan, gemetar, dan tidak bisa mengontrol napas.
🍃🍃🍃
Kairos terbangun terengah-engah, keringat dingin membasahi bajunya.
Dadanya berdebar tak karuan, dan untuk sesaat, ia masih bisa mencium bau alkohol dan darah dari masa lalu—bercampur dengan aroma parfum Clara yang masih terasa menusuk di ingatannya.
Dia menggigit punggung tangannya sampai nyeri, memastikan bahwa ini bukan mimpi lagi.
Tapi luka itu nyata.
Baik yang lama, maupun yang baru.
Dengan tubuh yang masih gemetar, Kairos memberanikan diri untuk turun dari tempat tidur. Kakinya terasa lemas, seolah baru saja berlari maraton.
Langkahnya tertatih-tatih menuju dapur untuk mengambil segelas air putih, berharap kedinginan cairan itu bisa menyapu sisa-sisa mimpi buruk yang masih melekat di kerongkongannya.
Sampai di dapur, tangannya yang masih gemetar mencoba memegang gelas.
Saat ia menyalakan keran, suara air yang memecah kesunyian tiba-tiba terasa seperti jeritan di telinganya. Ia nyaris menjatuhkan gelas itu.
Ia meminum air putih itu dengan cepat, hampir tersedak, berharap kesejukan itu bisa meredakan api yang membakar dadanya.
Tapi yang ia rasakan justru rasa logam—rasa darah di mulutnya dari mimpi, atau dari bibirnya yang tanpa sadar tergigit lagi.
Dia menyandarkan tubuhnya ke wastafel dapur, mencoba mengatur napas.
"Ini mansion Papi, bukan ruangan gelap pria si~alan itu. Kamu aman Kai. Tidak ada yang menyakitimu di sini," gumamnya, mengulang mantra yang sudah sering dia katakan pada diri sendiri.
tbc🐼