Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15. Godaan Tersembunyi
15
Pagi itu suasana di kafe kecil di kawasan sudut kota terasa hangat. Aroma kopi bercampur dengan semilir angin dari jendela besar yang terbuka. Patrick duduk di hadapan seorang wanita berparas mempesona, Ayumi, mantan aktris yang dulu sering muncul di layar kaca dan dikenal karena pesonanya yang lembut namun memikat.
Kini, ia tampak jauh lebih dewasa, dengan gaun putih sederhana dan rambut panjang yang digerai alami. Ada aura tenang yang menenangkan, tapi di balik tatapan matanya, tersimpan sesuatu yang sulit ditebak.
“Patrick,” ucapnya lembut sambil menaruh cangkir kopinya, “aku tahu kamu akhir-akhir ini gak terlalu sibuk di studio, kan?”
Patrick tersenyum miring. “Iya, beberapa proyek sedang pending. Tapi aku malah menikmati waktu santai ini.”
Ayumi mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menatapnya langsung. “Kalo gitu... Gimana kalo kamu jadi asistennya aku?”
Patrick sempat membeku. “Asisten?”
“Ya.” Ayumi tersenyum samar. “Memang aku udah gak aktif di dunia akting lagi, tapi aku masih punya banyak urusan. Kadang ada undangan acara, kadang sesi photoshoot, kadang cuma butuh seseorang yang bisa bantu ngatur semuanya.”
Nada suaranya lembut, tapi cara ia mengatakannya… ada sesuatu yang menggoda, samar namun terasa.
Patrick berusaha tetap tenang. “Hmm... kedengarannya menarik. Tapi kamu yakin butuh asisten pribadi? Kamu kan bisa sewa dari agensi.”
“Aku tahu,” balas Ayumi, kali ini dengan senyum kecil di ujung bibirnya. “Tapi aku gak mau sembarang orang. Aku butuh seseorang yang bisa aku percaya… dan kamu, Patrick... ” ia berhenti sejenak, menatap matanya lurus, “... punya kemampuan itu.”
Patrick terbatuk kecil, merasa dadanya sedikit hangat.
“Kalo aku boleh tahu... kemampuan yang mana, ya?”
Ayumi tersenyum tipis. “Kemampuan membaca suasana. Dan tahu kapan harus… mendekat atau menjauh.”
Patrick menegakkan tubuhnya, mencoba menyembunyikan rasa gugup. “Wah, terdengar seperti pekerjaan dengan syarat khusus.”
“Sangat khusus,” jawab Ayumi, masih dengan nada rendah dan tenang. “Kamu hanya perlu siap kalo aku mendadak butuh ditemani rapat, perjalanan singkat, atau sekadar... menemaniku bicara di malam-malam yang sepi.”
Kalimat terakhir itu membuat Patrick kehilangan kata.
Ia tahu Ayumi memang tipe wanita yang tahu betul bagaimana membuat suasana menjadi ambigu, tidak terlalu vulgar, tapi cukup untuk membuat otak pria mana pun berputar cepat.
Ia tertawa kecil, mencoba menormalkan situasi. “Jadi, aku semacam... personal companion, gitu?”
Ayumi mengangkat alisnya sedikit. “Terserah kamu mau menyebutnya apa.”
Patrick menatapnya beberapa detik, menimbang-nimbang. Tawaran itu sebenarnya cukup ringan, tapi ekspresi Ayumi jelas menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar urusan kerja.
“Kalau aku bilang ya, apa aku langsung mulai hari ini?” tanya Patrick akhirnya.
Ayumi menatapnya lama, lalu tersenyum dengan cara yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat. “Kalo kamu mau, aku bisa langsung uji kemampuanmu... sekarang juga.”
Patrick menelan ludah, berusaha menahan senyum. “Baiklah. Aku terima, Miss Ayumi.”
“Bagus,” jawab Ayumi lembut sambil berdiri. “Kamu bisa panggil aku Ayumi aja. Lebih akrab.”
Ia melangkah ke pintu kafe, menoleh sebentar dengan tatapan yang setengah main-main, setengah menantang.
“Dan Patrick... aku harap kamu gak mudah gugup, ya. Karena bekerja denganku, biasanya... ada banyak kejutan.”
Patrick hanya tertawa kecil, mengusap tengkuknya. “Aku malah jadi makin penasaran.”
Ayumi menoleh sekali lagi sebelum masuk ke mobil hitamnya, memberi senyum yang mematikan.
Patrick berdiri di depan kafe, menatap mobil itu pergi, bibirnya terangkat setengah.
“Wanita itu... berbahaya,” gumamnya.
“Tapi entah kenapa, aku justru pengen tahu sampai sejauh apa bahaya itu.”
***
Pagi itu, kawasan pantai pribadi milik Aldrich memantulkan cahaya keemasan yang menenangkan. Langit cerah, laut tampak biru jernih, dan hembusan angin membawa aroma garam yang khas.
Namun bagi Allen, pagi itu justru terasa berat. Perutnya masih terasa nyeri sejak tadi, ia tahu tubuhnya sedang “menjalani siklus bulanan”.
Ia duduk di bawah payung besar di tepi pantai, mengenakan kaos longgar dan celana senada. Di sebelahnya, secangkir teh hangat sudah hampir dingin.
Dari kejauhan, terlihat Liang dan Aldrich sedang bersiap di tepi perahu kecil. Suara tawa mereka samar terbawa angin. Liang mengenakan wetsuit biru tua, sementara Aldrich seperti biasa, warna favoritnya hitam. Sederhana, tapi entah bagaimana membuatnya tampak menonjol di antara sinar matahari dan laut.
Allen menatap mereka lama. Bukan karena ingin, tapi karena sulit berpaling.
Mata itu… gerak tubuh itu… sosok pria yang dulu hanya bisa ia lihat di layar televisi kini begitu dekat, namun tetap terasa jauh dijangkau.
“Kenapa melamun?” suara Liang tiba-tiba terdengar dari arah perahu. Rupanya ia melihat Allen sejak tadi.
Allen tersentak kecil dan berdiri setengah berjongkok.
“Nggak, Ko! Cuma... nikmatin udara laut aja.”
Liang tertawa kecil. “Kalo gak kuat panas, masuk aja ke villa. Nanti wajah kamu gosong, Aldrich pasti protes karena asistennya jadi susah diajak tampil di depan kamera.”
Allen tersenyum canggung. “Aku tahan, kok. Lagian lumayan lihat pemandangan.”
Liang mengangkat alis, “Pemandangan laut atau pemandangan orangnya?”
Allen buru-buru menunduk. “Ya tentu lautnya, Ko.”
“Tentu aja,” gumam Liang dengan nada menggoda, lalu menaiki perahu.
Perahu kecil itu perlahan menjauh. Aldrich duduk di sisi depan, menatap laut dengan tatapan fokus, sementara Liang memeriksa alat snorkeling. Saat keduanya mencebur ke air, Allen tak sengaja menahan napas dan lagi-lagi, pandangannya sulit lepas.
Air laut yang menyibak di sekitar tubuh Aldrich seolah memantulkan sinar dari segala arah. Pria itu bergerak di dalam air dengan kekuatan dan ketenangan yang sama seperti ketika berakting di layar, tepat, terukur, dan menawan.
Allen memeluk lututnya, menatap permukaan laut yang berkilau.
"Lihat aja, Allen," batinnya. "Jangan berpikir aneh-aneh. Kamu cuma kagum, bukan… bukan yang lain."
Namun setiap kali Aldrich muncul ke permukaan, rambut basahnya disibak angin, mata tajamnya memicing karena cahaya matahari, itu membuat jantung Allen berdetak tak karuan.
“Kenapa dia bisa kelihatan seperti itu, aku pikir fans nya mengagumi tanpa alasan yang jelas. Dia benar-benar menawan di usianya yang sebenarnya sudah tergolong matang.” gumam Allen lirih tanpa sadar.
Seorang petugas villa yang lewat menatapnya heran. “Maaf, Mas, ngomong sesuatu?”
Allen buru-buru tersenyum gugup. “Oh, gak, gak. Cuma bilang lautnya... indah banget.”
Setelah hampir satu jam, Aldrich naik ke ke permukaan lebih dulu. Ia meneguk air mineral, lalu menatap ke arah pantai, ke tempat Allen duduk. Tatapan itu hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat Allen berpura-pura sibuk menunduk, pura-pura memainkan pasir dengan jari.
Beberapa menit kemudian, keduanya benar-benar selesai dengan kegiatannya dan menghampiri Allen. Tapi Allen langsung gagal fokus karena melihat tampilan Aldrich yang berdiri tepat di hadapannya. Sebagai perempuan normal ia jadi merasa risih dan entahlah, ketika harus disuguhkan pemandangan gagah sekaligus mendebarkan di depan mata.
Sen_jata milik Aldrich memben_tuk jelas di balik kostumnya. Terlihat sangat menan_tang. Membuat Allen gugup setengah mati.
“Allen, kamu masih belum baikan?” tanya Aldrich begitu mendekat.
Allen mengangguk cepat. “Iya nih, Mas. Obatnya belum begitu ngefek.”
Aldrich menatapnya dengan raut serius, bukan sekadar basa-basi. “Kau minum obat apa?”
“Obat nyeri ha... Mpppp.” Allen nyaris saja keceplosan.
Aldrich mengernyit.
"Maksudnya?"
Liang tiba-tiba datang menepuk bahu Allen. “Kalo gitu nanti biar Koko pesankan jahe hangat. Jangan maksain diri.”
Aldrich mengangguk pelan, tapi pandangannya tetap tak lepas dari wajah Allen.
“Kalo gak enak badan, jangan terlalu menahan diri. Aku gak mau asistenku tumbang karena hal sepele.”
Nada suaranya dingin, tapi bagi Allen justru terdengar seperti perhatian tersembunyi.
“Baik, Mas,” jawab Allen pelan, menunduk sopan.
Aldrich kemudian melangkah melewatinya, menuju shower outdoor di tepi villa lalu melepaskan kostumnya hingga tersisa bagian minim saja.
Ketika pria itu menyalakan air dan membasuh tubuhnya, Allen buru-buru memalingkan wajah, namun samar-samar, matanya sempat menangkap siluet tubuh Aldrich yang dipenuhi otot dan garis tegas.
Ia cepat-cepat berbalik, meneguk teh dingin di tangannya yang kini bergetar.
Ini gawat... kalau terus begini, aku bisa benar-benar kehilangan kendali.
"Allen, bisa tolong ambilin bathrobe!" Aldrich berseru dengan suara lantang.
"Hah?" Allen terperanjat.
Tentu saja asisten harus siap melayani sang aktor kapanpun.
"Astaga... Kuatkan aku Tuhan... " bisik Allen.
.
YuKa/ 151025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍