Di balik reruntuhan peradaban sihir, sebuah nama perlahan membangkitkan ketakutan dan kekaguman—Noir, sang kutukan berjalan.
Ditinggalkan oleh takdir, dihantui masa lalu kelam, dan diburu oleh faksi kekuasaan dari segala penjuru, Noir melangkah tanpa ragu di antara bayang-bayang politik istana, misteri sihir terlarang, dan lorong-lorong kematian yang menyimpan rahasia kuno dunia.
Dengan sihir kegelapan yang tak lazim, senyuman dingin, dan mata yang menembus kepalsuan dunia, Noir bukan hanya bertahan. Ia merancang. Mengguncang. Menghancurkan.
Ketika kepercayaan menjadi racun, dan kesetiaan hanya bayang semu… Siapa yang akan bertahan dalam permainan kekuasaan yang menjilat api neraka?
Ini bukan kisah tentang pahlawan. Ini kisah tentang seorang pengatur takdir. Tentang Noir. Tentang sang Joker dari dunia sihir dan pedang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MishiSukki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13: Jalan Baru Menuju Kebebasan
Buku usang itu kini terasa seperti sebuah kitab suci. Malam itu, di halaman terakhirnya, Noir menemukan sebuah cerita yang berbeda dari yang lain. Bukan lagi dongeng tentang pahlawan biasa, melainkan sebuah kisah yang terasa hidup, berdenyut dengan janji-janji yang menggiurkan dan misteri yang menggoda. Judulnya terpampang samar, Lembah Kematian.
Cerita itu melukiskan sebuah lembah tersembunyi di balik pegunungan curam, jauh dari hiruk-pikuk peradaban. Lembah itu dikatakan dipenuhi oleh bunga-bunga krimson yang menjuntai, dengan aroma memabukkan yang menjanjikan kebebasan dari kegelapan dunia.
Namun, jalan menuju lembah itu adalah neraka—pegunungan terjal, hutan liar yang dipenuhi binatang buas, dan sungai-sungai ganas yang menelan mereka yang mencoba menyeberang. Banyak yang telah mencoba, tak banyak yang berhasil.
Tetapi janji yang ditawarkan begitu manis: kehidupan abadi, kebahagiaan tak berujung, dan kesempatan untuk mengubah takdir. Noir membaca bagian ini berulang-ulang, setiap kata terasa seperti magnet yang menariknya. Di tengah penderitaan yang tak ada habisnya, janji itu adalah oase di padang pasir, satu-satunya harapan yang tersisa.
"Berkah kehidupan abadi," bisiknya pelan, matanya menyala.
"Apakah ini yang aku cari? Apakah mungkin aku bisa menemukannya?"
Sebuah dorongan kuat tumbuh di dalam dirinya. Mungkin, hanya mungkin, lembah itu adalah jawaban dari semua penderitaan yang telah ia alami. Perjalanan yang penuh bahaya ini mungkin satu-satunya jalan untuk menemukan kebenaran yang ia cari seumur hidupnya.
Malam itu, harapan itu menjadi satu-satunya yang menemani tidurnya, terbayang bunga-bunga krimson yang mekar di lembah impian.
Keesokan paginya, cahaya redup memasuki kamarnya, tetapi harapan itu menguap secepat ia datang. Realitas yang keras kembali memeluknya. Buku itu masih terbuka di samping tempat tidur, namun begitu ia melangkah keluar, rutinitasnya sebagai pemungut sampah kembali mengikatnya.
Cemoohan, penghinaan, dan tatapan jijik dari para murid akademi bagaikan kabut tebal yang tak bisa ia hindari. Harapan yang semalam tumbuh subur, kini layu dan tenggelam dalam keputusasaan yang tak pernah berhenti.
Di depan gerbang akademi, Noir terhenti.
"Apa yang sebenarnya aku cari?" pikirnya.
"Apakah aku hanya berkhayal, mencari jalan yang tak nyata?"
Namun, di tengah semua itu, ada bagian dari dirinya yang menolak menyerah. Dorongan samar itu tetap ada. Mungkin Lembah Kematian hanyalah sebuah cerita, tetapi perasaan itu, sebuah keinginan untuk terus bertahan, tidak bisa ia abaikan.
Dengan langkah yang lelah, ia melanjutkan jalannya, membersihkan sisa-sisa makanan dan kotoran dari kehidupan orang-orang yang tak peduli padanya. Dalam kesunyian, ia tetap memikirkan lembah itu, memegang harapan samar bahwa suatu hari nanti, takdirnya akan berubah.
Dua tahun berlalu, dan meskipun kehidupan Noir tidak banyak berubah, sesuatu di dalam dirinya telah bergeser. Perasaan kosong yang dulu menguasainya kini digantikan oleh tekad yang tak terdefinisi. Pagi itu, saat ia melangkah menuju lapangan di belakang akademi, matanya menangkap pemandangan yang tak asing namun kini terasa berbeda.
Sekelompok murid dari keluarga bangsawan sedang berlatih sihir. Mereka mengayunkan tangan, menciptakan bola api, mengendalikan angin, dan menyulap benda-benda. Bagi mereka, sihir adalah hal yang wajar, sebuah anugerah sejak lahir. Namun bagi Noir, itu adalah simbol dari segala yang tidak ia miliki. Itu adalah kekuatan, kebebasan, dan kemampuan untuk mengubah dunia.
"Seandainya aku bisa melakukannya," gumam Noir.
Meskipun ia tahu itu adalah khayalan, kekaguman tumbuh dalam dirinya.
"Jika mereka bisa melakukannya, kenapa aku tidak?" Pikirnya. Matanya terfokus pada bola api yang terbentuk di tangan seorang murid.
"Jika aku belajar, mungkin… mungkin ada cara untuk mengubah dunia ini."
Di sisi lain lapangan, kelompok murid lainnya sedang berlatih dengan pedang dan senjata. Suasananya lebih keras, lebih terfokus. Mereka berlatih dengan penuh semangat, setiap ayunan pedang seolah mengandung janji akan masa depan yang penuh kemenangan dan kehormatan.
Bagi mereka, ini bukan hanya soal bertahan hidup, melainkan tentang membangun citra diri dan kekuasaan.
Noir mengamati dengan mata tajam, merasakan perpaduan kekaguman dan keraguan. Senjata adalah simbol kekuatan, sesuatu yang terasa begitu jauh dari hidupnya yang hina. Ia hanyalah pemungut sampah, terjebak dalam rutinitas yang kotor.
Namun, perasaan aneh itu muncul lagi.
"Kenapa tidak aku?" bisik suara dalam hatinya.
Dulu, ia hanya melihat senjata sebagai alat pembunuh, sesuatu yang menakutkan. Tetapi kini, ia melihat kemungkinan lain. Mungkin senjata bisa digunakan untuk sesuatu yang lebih besar—keadilan, atau bahkan kebebasan. Ia melangkah lebih dekat, mengamati gerakan lincah para murid itu.
Ia ingin belajar, ingin merasakan apa yang mereka rasakan: kekuatan, kontrol, dan ketenangan dalam pertempuran. Jika sihir tidak mungkin baginya, mungkin seni bertarung bisa menjadi jalan lain. Ia tidak tahu bagaimana atau di mana harus memulai, tetapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa ada kemungkinan untuk melangkah lebih jauh.
Mungkin, dengan kekuatan dari tangannya sendiri, ia bisa menemukan cara untuk mengubah nasibnya. Harapan samar dari buku itu kini mulai terwujud dalam sebuah tekad yang tak terucapkan.