Sekar tak pernah menyangka, pertengkaran di hutan demi meneliti tanaman langka berakhir petaka. Ia terpeleset dan kepala belakangnya terbentur batu, tubuhnya terperosok jatuh ke dalam sumur tua yang gelap dan berlumut. Saat membuka mata, ia bukan lagi berada di zamannya—melainkan di tengah era kolonial Belanda. Namun, nasibnya jauh dari kata baik. Sekar justru terbangun sebagai Nyai—gundik seorang petinggi Belanda kejam—yang memiliki nama sama persis dengan dirinya di dunia nyata. Dalam novel yang pernah ia baca, tokoh ini hanya punya satu takdir: disiksa, dipermalukan, dan akhirnya dibunuh oleh istri sah. Panik dan ketakutan mencekik pikirannya. Setiap detik terasa seperti hitungan mundur menuju kematian. Bagaimana caranya Sekar mengubah alur cerita? Apakah ia akan selamat dari kematian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhanvi Hrieya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13. LIMA PULUH GULDEN SAJA
Jari jemari lentik Sekar memijit kecil dahinya, mendengar perbuatan Joyo. Pria culas yang cinta uang, menganggap anak perempuannya sebagai barang yang bisa dijual dengan harga tinggi. Bahkan pemilih tubuh pun dijual dengan harga fantastis, tidak ada kasih sayang apalagi cinta untuk para putrinya. Bagaimana bisa ibunya menikahi pria seperti Joyo, bertahun-tahun hidup dengan pria yang merendahkan kaum mereka.
"Nyai!" seru Ratna menyentuh pundak Sekar dengan lembut.
Sekar melongok ke belakang, dan mendongak.
"Lasmi sudah tidur?" tanya Sekar lirih.
Kepala Ratna mengangguk. "Ya, Lasmi sudah tidur setelah menyantap bubur dan minum obat."
Sekar mendesah berat, Ratna mendapati kekhawatiran di mata Sekar—nyainya.
"Aku harus kembali ke desa, bertemu dengan pria b*jingan itu. Bagaimana bisa dia melakukan hal itu pada Lasmi, apakah yang dia miliki tidak bisa memuaskannya. Siapa di desa yang memiliki kehidupan lebih baik dibandingkan dia, betapa serakahnya pria tak punya hati itu," kata Sekar memaki kasar Joyo.
"Sebanyak apapun harta, di mata orang penjudi tak akan berarti Nyai. Meskipun Pak Joyo memiliki banyak uang, beberapa kebun. Nyai tau sendiri bagaimana Pak Joyo kalau berada di meja judi, apalagi beberapa waktu yang lalu pajak mulai naik pesat. Pak Joyo tak akan mampu mengendalikan semua uang yang dia miliki Nyai."
Baik Ratna dan penduduk desa tahu bagaimana gilanya Joyo berjudi, uang yang masuk dari pembayaran hutang, hasil kebun akan langsung habis dalam waktu singkat. Sekar tersenyum kecut mendengar penuturan Ratna, selagi Joyo masih bernapas tampaknya kehidupan ibu dan adik-adiknya tak akan aman.
"Mereka pasti akan datang ke sini," lanjut Ratna, "apalagi Lasmi telah dinikahi. Siapa yang mau kehilangan uang dengan cuma-cuma. Nyai tak perlu datang ke desa itu."
Mulut Sekar terbuka namun, tertutup kembali saat suara deru mesin mobil berhenti di depan pekarangan rumah. Kata-kata yang akan keluar dari mulut Sekar ditelan kembali, Sekar mendesah berat kembali.
"Melelahkan sekali," gumam Sekar lirih. Tatapan matanya tertuju pada pintu utama, dengan tatapan mata rumit.
...***...
Hidangan makan malam telah disajikan, para pembantu bergerak meninggalkan ruang makan. Meninggalkan kedua majikan mereka, Sekar makan dalam diam sesekali terlihat termenung.
"Apa ada sesuatu yang terjadi di rumah?" tanya Johan menyentak Sekar dari lamunan kekhawatiran.
Sekar membawa atensinya ke arah depan, meneguk kasar air liur di kerongkongannya. Hatinya mulai mendua, antara meminta bantuan Johan atau memilih menyelesaikan semuanya sendiri.
"Katakan saja apa yang membuatmu tampak linglung saat ini Nyai," lanjut Johan, atensi menatap lurus ke arah manik mata Sekar.
Sekar mendesah berat. "Adikku datang tadi siang ke sini, keadaannya sangat mengkhawatirkan. Bolehkah Lasmi tinggal di sini, bersama kita," sahut Sekar tampak hati-hati.
"Silakan saja aku tidak mempermasalahkannya. Namun, ayahmu tidak akan membiarkan itu terjadi Nyai, kecuali kamu membayarnya," balas Johan menyetujui permintaan Sekar, sekaligus mengingatkan wanita di depannya ini akan reaksi Joyo.
Bahkan Johan orang luar saja dapat mengetahui seberapa serakah dan gila hartanya ayah Sekar. Joyo yang menganggap para putri sebagai barang yang siap dijual dengan harga yang bukan main, ia bahkan merawat putri-putrinya yang tumbuh cantik hanya untuk harga jual yang bagus.
Tidak mungkin rasanya Joyo akan membiarkan putri keduanya datang ke Batavia tanpa alasan, apalagi sampai membiarkan Lasmi tinggal di Ibu Kota itu lebih tak mungkin lagi. Mata tajam Johan dapat melihat ada masalah di sini, masalah besar yang membuat Sekar terus linglung. Bahkan makanan di atas piringnya diabaikan, sesekali mendesah berat. Jari jemari lentik milik Sekar mengencang pada sendok dan garpu di tangannya, kepalanya tertunduk perlahan.
"Apakah aku boleh meminta bantuan lainnya dari Jendral, adikku memang dalam masalah di desa. Ayahku menjualnya pada lelaki tua, dengan bayaran lima puluh gulden. Aku..., aku benar-benar butuh bantuan Jendral," ucap Sekar setelah terdiam beberapa saat, akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutnya.
Sekar mengulum bibirnya, uang sebanyak itu saat ini Sekar tidak punya. Uang di rumah ini dipegang oleh pengurus rumah kepercayaan Johan, membelanjakan ketika diminta itu pun dengan kwitansi yang jelas.
"Oh, lima puluh gulden," ulang Johan alis matanya berkerut, "cukup murah."
Daripada harga Sekar, ternyata harga jual Lasmi hanya dihargai sebesar itu. Mungkin untuk Johan uang sebanyak itu tidak ada apa-apanya dibandingkan gaji Johan sebagai seorang jendral, apalagi ia bukan orang biasa. Keluarga di Belanda pun orang terpandang memiliki banyak properti, uang sebesar itu sangat mudah ia keluarkan. Hanya saja, tidak ada yang gratis di dunia ini. Selalu ada bayaran untuk setiap sen yang dikeluarkan, tatapan mata Johan dan Sekar bertemu di saat Sekar mengangkat kepalanya.
"Aku akan membayar kembali uang itu nantinya, bi—bisakah Jendral pinjamkan uang itu untukku saat ini. Aku benar-benar butuh uang itu," jawab Sekar tergagap, menatap Johan dengan harapan besar di kedua matanya.
Johan meletakkan sendok dan garpu di atas piringannya, menyandar punggung belakangnya di sandaran kursi menatap intens wajah Sekar. Manik mata biru dinginnya terlihat tak nyaman untuk Sekar tatap, seakan Johan tengah mengobrak-abrik isi otaknya hanya dengan tatapan matanya. Sekar menunduk kembali, jari jemari tangannya saling bertautan.
"Mengganti uangku, dengan uang yang kuberikan setiap bulan padamu. Apakah begitu maksudmu Nyai?" Johan menyeringai melirik Sekar di depannya.
"Tidak, aku akan berkerja di luar sana. Aku akan menggantikan uang Jendral setiap bulannya, dengan gajiku. Bukan dari uang bulanan yang Jendral titipkan pada pengurus rumah," tukas Sekar cepat, ia kembali mengangkat kepalanya menatap tegas dan penuh tekad.
Johan terkekeh ringan melihat bagaimana antusias dan seberapa bertekadnya sang nyai, pekerjaan apa yang bisa wanita ini lakukan di luar sana. Meskipun ia bersekolah, ia hanya mengenal huruf dan angka. Ilmu pengetahuannya terlalu dangkal, serta tidak memiliki skill apapun. Setidaknya itulah informasi yang diterima oleh Johan sebelum menjadikan Sekar sebagai gundik, selain kecantikan yang paripurna.
Tentu saja Johan tak akan bodoh menjadikan wanita hebat sebagai gundiknya, apalagi wanita pribumi. Johan paham betul seberapa berbahayanya seorang wanita cerdas jika dijadikan gundik, suatu saat bisa saja wanita itu akan menipunya. Menghabisi nyawa Johan dengan bersandiwara berada di sisinya, karena Sekar bukan wanita cerdas. Ia tak berbahaya, Johan sungguh tak butuh wanita cerdas selain istri resminya.
"Katakan padaku, bagaimana caranya kamu bisa bekerja di luar sana. Apa yang bisa kamu lakukan, hm?" Johan mengerutkan alis matanya.
"..., saat ini aku belum tau apa yang harus aku lakukan. Tapi, berikan aku waktu untuk melihat lebih teliti lagi, aku akan mencari uang dengan jujur. Dan segera menggantikan uang Jendral, aku berjanji. Ah, kalau Jendral tidak percaya aku akan menandatangani kontrak perjanjian kalau diperlukan," sahut Sekar cepat.
Johan tidak langsung menjawab ia hanya diam dan memperhatikan ekspresi wajah Sekar, beberapa detik kemudian ia mengangguk. Garis senyum di bibir Sekar melengkung tinggi ke atas, ia mendesah lega.
Bersambung...