NovelToon NovelToon
WOTU

WOTU

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Kutukan / Penyeberangan Dunia Lain
Popularitas:570
Nilai: 5
Nama Author: GLADIOL MARIS

Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.

Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.

Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut

Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan

Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RUANG YANG MENGANGA

Pagi itu, meja dapur rumah Bu Redfield terasa lebih kosong dari biasanya.

Bukan karena kurang orang. Tapi karena kehadiran yang hilang.

Lisa duduk di kursi kayu tua, tangannya menggenggam cangkir teh yang masih mengepul. Uapnya bergerak pelan, membentuk gulungan tipis sebelum menghilang ke udara lembap. Di seberang meja, hanya ada dua cangkir—miliknya dan Ethan. Yang ketiga, milik Sara, tidak ada. Tidak di meja. Tidak di rak. Tidak di dapur.

“Dia bilang harus kerja pagi,” kata Ethan, suaranya datar, matanya tidak menatap Lisa. Ia sibuk mencatat sesuatu di buku catatannya—tapi tulisannya lambat, ragu, seperti ia sendiri tidak percaya pada alasan itu.

Lisa menatap kursi kosong di seberangnya. “Sejak kapan Sara kerja pagi? Dia kerja di toko bunga. Tokonya buka jam sepuluh. Kecuali ada pesanan pagi.”

Ethan tidak menjawab. Ia hanya menutup buku catatannya, lalu menyeruput tehnya perlahan.

Lisa menarik napas dalam-dalam. Udara terasa lebih berat hari ini—bukan karena kabut, tapi karena keheningan yang dipaksakan. Sejak latihan dengan Cermin Bayangan dua hari lalu, Sara mulai menjauh. Awalnya hanya diam. Lalu mulai “sibuk”. Lalu mulai tidur di rumah orang tuanya. Dan sekarang… bahkan tidak muncul untuk sarapan.

“Dia takut,” kata Lisa pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

Ethan akhirnya menatapnya. Matanya biru itu tidak lagi berbinar seperti biasa. Ada kelelahan di sana—kelelahan emosional, bukan fisik. “Dia tidak takut padamu, Lis. Dia takut untukmu. Dan untuk dirinya sendiri.”

Lisa menunduk. Tangannya menyentuh jimat batu hitam di lehernya—dingin, stabil, menenangkan. Tapi di bawahnya, simbol di telapak tangannya berdenyut pelan, seolah merasakan kegelisahannya.

“Kalau dia takut, kenapa dia tidak bicara?” tanya Lisa, suaranya serak. “Kenapa dia memilih kabur?”

Ethan menghela napas. “Karena dia tidak tahu cara mengatakannya. Karena setiap kali dia melihatmu, dia melihat sesuatu yang… berubah. Dan dia tidak tahu apakah kau masih Lisa yang dulu.”

Lisa menutup mata. Kata-kata itu menusuk—bukan karena kejam, tapi karena jujur.

Di luar, kabut Eldridge bergerak perlahan, menyelimuti jalan berbatu seperti selimut yang enggan dilepas. Lisa berjalan sendirian menuju toko bunga tempat Sara bekerja. Ethan menawarkan untuk ikut, tapi ia menolak. “Aku butuh bicara dengannya… tanpa saksi.”

Toko bunga “Petunia Maris” terletak di sudut jalan dekat alun-alun. Bangunannya kecil, cat kuningnya pudar, jendelanya dipenuhi pot-pot bunga segar yang warnanya cerah—kontras dengan suramnya Eldridge. Di dalam, aroma lavender, mawar, dan tanah basah menyambut.

Lisa masuk, lonceng kecil di atas pintu berdenting riang.

Sara berdiri di balik meja kasir, mengikat pita pada buket mawar putih. Rambutnya disanggul rapi, wajahnya bersih, tapi matanya—matanya merah. Seperti habis menangis.

Ia menoleh saat lonceng berbunyi. Saat melihat Lisa, tubuhnya sedikit menegang. Tangannya berhenti mengikat pita.

“Lis,” katanya, suaranya datar. “Aku kira kau sibuk belajar jadi… penjaga bayangan.”

Lisa menatapnya. “Aku datang karena kau menghindar.”

Sara menunduk, melanjutkan mengikat pita. Gerakannya kaku. “Aku tidak menghindar. Aku cuma… butuh ruang.”

“Ruang?” Lisa mendekat, suaranya bergetar. “Kita hampir mati bersama di perpustakaan. Kau berjanji tidak akan meninggalkanku. Dan sekarang kau bilang butuh ruang?”

Sara menghentikan tangannya. Ia menatap Lisa, matanya berkaca-kaca. “Kau lihat dirimu, Lis? Kau lihat apa yang terjadi padamu? Setiap hari, kau berubah. Kau bicara dengan bayangan. Kau mengendalikan cahaya. Kau… kau tidak lagi seperti dulu.”

Lisa membeku. “Aku masih aku, Sar.”

“Tapi apakah kau mau tetap jadi dirimu?” balas Sara, suaranya pecah. “Atau kau sudah mulai menikmati ini? Menjadi… istimewa?”

Lisa menarik napas tajam. Kata-kata itu seperti pukulan. “Kau pikir aku menikmati ini? Kau pikir aku ingin jadi custodian? Aku tidak meminta ini, Sar! Tapi aku tidak bisa lari—karena kalau aku lari, kalian yang akan terluka!”

Sara menggeleng. “Itu alasanmu. Tapi aku… aku cuma ingin kembali ke waktu sebelum semua ini. Waktu kita masih bisa tertawa tanpa takut bayangan akan muncul dari dinding.”

Lisa menatap sahabatnya—sahabat yang dulu selalu ada di sisinya, yang dulu mengomelinya karena “trik bayangan” di kelas, yang dulu menangis saat Lisa pindah sekolah. Sekarang, wanita itu terasa seperti orang asing.

“Kalau kau ingin kembali ke masa lalu,” kata Lisa pelan, suaranya tenang tapi tajam, “maka kau harus tinggalkan aku. Karena aku tidak bisa kembali.”

Sara menatapnya lama, ada luka bercampur takut dimatanya. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia berbalik dan masuk ke gudang kecil di belakang toko.

Lisa berdiri di tempatnya, jantungnya berdegup kencang. Ia ingin mengejar. Tapi kakinya tidak bergerak.

Di luar, kabut Eldridge menebal.

Malam itu, di rumah Bu Redfield, latihan berlangsung tanpa Sara.

Bu Redfield membawa Lisa ke halaman belakang, tempat simbol besar terukir di tanah. “Hari ini,” katanya, suaranya datar, “kau akan belajar mengendalikan kekuatanmu saat emosimu tidak stabil.”

Lisa mengangguk, tapi tangannya gemetar.

Ethan duduk di batu besar di pinggir halaman, buku catatannya terbuka, matanya waspada. Ia tahu—ini akan sulit.

“Tutup matamu,” perintah Bu Redfield. “Ingat saat kau merasa dikhianati. Saat kau merasa sendirian. Biarkan perasaan itu naik. Tapi jangan biarkan ia menguasaimu.”

Lisa menutup mata. Ia mengingat wajah Sara tadi siang—dingin, jauh, penuh kecurigaan. Ia mengingat janji yang diucapkan di bawah menara jam tua: “Aku nggak akan biarkan kau menghadapi ini sendirian.”

Tapi sekarang, ia sendirian.

Rasa sakit itu naik—perlahan, lalu deras. Seperti air yang menembus bendungan. Dadanya sesak. Napasnya pendek. Dan simbol di telapak tangannya…

Berdenyut liar.

Cahaya biru kehitaman meledak dari tangannya—tidak terkendali, tidak terarah. Ia menyambar tanah, membuat rumput layu dalam sekejap. Ia menyentuh pohon tua di samping, membuat kulit kayunya retak dan menghitam.

“Lisa!” teriak Ethan, berdiri.

“Jangan lawan emosimu,” suara Bu Redfield tetap tenang, tapi tajam. “Hadapi. Terima. Lalu kendalikan.”

Lisa mencoba. Tapi rasa sakit itu terlalu besar. Ia merasa dikhianati. Ditinggalkan. Sendirian.

Dan bayangan di sekeliling halaman mulai bergerak—bukan mengikuti perintahnya, tapi mengikuti emosinya.

Mereka merayap, memanjang, membentuk sosok-sosok samar yang menatap Lisa dengan mata kosong. Udara menjadi dingin. Kabut dari hutan merayap masuk, menutupi halaman.

“Lis, fokus!” Ethan berlari mendekat, tapi Bu Redfield menghentikannya dengan tongkat penopang bantu jalannya.

“Biarkan dia sendiri,” kata Bu Redfield. “Ini ujiannya.”

Lisa menjerit—bukan karena takut, tapi karena frustasi. “Aku tidak bisa! Aku tidak bisa sendirian!”

Dan saat itu—

Cahaya dari tangannya meledak.

Bukan perisai. Bukan cahaya tenang. Tapi ledakan.

Bayangan-bayangan itu tersapu, tapi tidak hancur. Mereka menyebar, lalu kembali—lebih besar, lebih gelap.

Bu Redfield akhirnya bergerak. Ia mengangkat tongkat kayunya, mengucapkan mantra dalam bahasa yang tidak dikenal. Cahaya perak menyelimuti halaman, menahan bayangan itu.

Lisa jatuh berlutut, napasnya tersengal, air mata mengalir di pipinya.

“Kau hampir kehilangan kendali,” kata Bu Redfield, suaranya tidak marah, tapi tegas. “Dan jika itu terjadi di dalam kota… kau bisa membunuh seseorang tanpa sengaja.”

Lisa menatap tangannya. Simbol itu masih menyala—tapi kini cahayanya merah kehitaman, bukan biru.

Ia menangis. Bukan karena takut. Tapi karena ia tahu—Sara benar. Ia berubah. Dan perubahan itu… berbahaya.

Di kamar, malam itu, Lisa duduk di tepi ranjang, menatap jendela. Kabut Eldridge bergerak perlahan, seolah menunggu.

Ethan duduk di sofa, diam. Ia tidak mencatat apa-apa malam ini.

“Dia tidak akan kembali, kan?” tanya Lisa pelan.

Ethan menatapnya. “Dia butuh waktu. Tapi… dia takut kehilanganmu. Dan itu membuatnya ingin kabur dulu.”

Lisa mengangguk. Ia mengerti. Tapi mengerti tidak membuat sakitnya hilang.

Ia menyentuh jimat di lehernya. Dinginnya menenangkan—tapi tidak cukup.

Di luar, angin berhembus pelan. Dan dari kejauhan, suara lonceng toko bunga berdenting—sekali, lalu diam.

Lisa menutup mata.

Untuk pertama kalinya sejak semua ini dimulai…

ia merasa benar-benar sendirian.

1
~abril(。・ω・。)ノ♡
Saya merasa seperti berada di dalam cerita itu sendiri. 🤯
GLADIOL MARIS: Semoga betah nemenin Lisa di Wotu dalam perjalannya 🤗
total 2 replies
Không có tên
Kocak abis
GLADIOL MARIS: Waduh, susah nih bikin kakak takut pas baca kayaknya⚠️
total 1 replies
GLADIOL MARIS
Halo teman-teman yang sudah menyempatkan mampir. Aku harap WOTU bisa nemenin kalian nantinya😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!