Di kota kecil Eldridge, kabut tidak pernah hanya kabut. la menyimpan rahasia, bisikan, dan bayangan yang menolak mati.
Lisa Hartman, gadis muda dengan kemampuan aneh untuk memanggil dan mengendalikan bayangan, berusaha menjalani hidup normal bersama dua sahabat masa kecilnya-Ethan, pustakawan obsesif misteri, dan Sara, sahabat realistis yang selalu ingin mereka tetap waras.
Namun ketika sebuah simbol asing muncul di tangan Lisa dan bayangan mulai berbicara padanya, mereka bertiga terseret ke dalam jalinan rahasia tua Eldridge: legenda Penjaga Tabir, orang-orang yang menjadi pintu antara dunia nyata dan dunia di balik kabut
Setiap langkah membawa mereka lebih dalam pada misteri yang membingungkan, kesalahpahaman yang menimbulkan perpecahan, dan ancaman makhluk yang hanya hidup dalam bayangan. Dan ketika semua tanda mengarah pada Lisa, satu pertanyaan pun tak terhindarkan
Apakah ia pintu menuju kegelapan atau kunci untuk menutupnya selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GLADIOL MARIS, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
YANG TIDAK DIKATAKAN
Malam itu, di kamar kecil rumah bu Redfield, Lisa duduk bersila di atas lantai kayu yang dingin. Di depannya, mawar hitam tergeletak di atas kain hitam tua—masih utuh, masih diam, tapi tidak lagi tenang. Kelopaknya bergetar pelan.
bu Redfield telah memperingatkan: 'jangan sentuh dengan tangan telanjang.' Tapi Lisa tidak menyentuhnya. Ia hanya menatap.
Jimat batu hitam di lehernya berdenyut pelan, seirama dengan simbol di telapak tangannya. Ia menutup mata, menarik napas dalam-dalam, lalu mengucapkan mantra pelan:
“Kael’neth en shal… veth’ra en lun.”
Dan saat kata-kata itu meninggalkan bibirnya—
Cahaya samar muncul dari jimat. Bukan biru, bukan hitam, tapi keemasan—hangat, seperti cahaya matahari pagi yang jarang menyentuh Eldridge.
Cahaya itu menyentuh mawar.
Dan Lisa melihat.
Kilasan itu datang tanpa peringatan.
Ia berdiri di tengah hutan, kabut tebal menyelimuti pohon-pohon tua. Di depannya, altar batu besar—permukaannya hitam pekat, berkilau seperti obsidian basah. Altar itu berbentuk lingkaran sempurna, berdiameter sekitar tiga meter, dengan permukaan rata yang diukir oleh satu simbol raksasa.
Simbol itu bukan sekadar lingkaran dengan garis spiral seperti di telapak tangannya. Ini versi lengkapnya—lingkaran ganda, di dalamnya terdapat tiga spiral yang saling menjalin, membentuk pusat berbentuk mata. Dari pusat itu, akar-akar cahaya hitam menjalar keluar, membentuk pola seperti jaring laba-laba yang menyatu dengan tanah. Itu adalah Versi Penuh Simbol Custodian—versi yang hanya muncul saat tabir paling rentan.
Di atas altar, seorang wanita tua berdiri.
Ia mengenakan gaun panjang berwarna abu-abu keperakan, kainnya tipis tapi tidak transparan, berkilau samar seperti bulu burung hantu di bawah cahaya rembulan. Rambutnya putih panjang, tergerai bebas hingga menyentuh tanah, sebagian terjalin dengan ranting kering dan daun layu—seolah alam sendiri menghormatinya. Wajahnya penuh keriput, tapi matanya biru pucat seperti es di bawah bulan, tajam, tenang, dan penuh kebijaksanaan yang tidak bisa diukur oleh waktu.
Di sekeliling altar, bayangan-bayangan berlutut—bukan hanya berdiri, tapi bersujud. Tubuh mereka membungkuk hingga dahi menyentuh tanah, lengan terulur ke depan, telapak tangan terbuka menghadap ke altar. Posisi mereka seragam, ritualistik, seperti jemaah dalam upacara kuno yang sudah dilupakan dunia.
Wanita itu menoleh. Matanya menatap Lisa, seolah tahu ia sedang mengintip dari masa depan.
“Kau akan datang,” katanya, suaranya tenang tapi menggema.
“Dan kau akan memilih, menutup pintu… atau membukanya selamanya.”
Lalu, wanita itu meletakkan mawar hitam di altar. Bunga itu menyatu dengan batu, menjadi bagian dari simbol besar yang terukir di permukaannya—kelopaknya melebur, batangnya larut, dan hanya jejak hitam yang tersisa, menyatu dengan akar cahaya di pusat simbol.
****************
Lisa terhuyung, membuka mata.
Mawar di depannya masih utuh. Tapi kini, ia tahu bahwa Ini undangan. Undangan untuk memilih takdirnya sendiri.
Di luar kamar, suara langkah pelan terdengar.
Lisa menoleh cepat. Pintu terbuka perlahan. Sara berdiri di ambang, rambutnya acak-acakan, masih mengenakan jaket tidur yang lusuh. Di tangannya, tas kecil—setengah terisi.
“Kau belum tidur?” tanya Sara, suaranya pelan.
Lisa mengangguk. “Aku tahu kau mau pergi.”
Sara menunduk, lalu masuk dan duduk di tepi ranjang. Ia tidak menyangkal. “Aku sudah kemas. Tapi… aku nggak bisa pergi.”
“Kenapa?”
Sara menatap Lisa, matanya berkaca-kaca. “Karena aku takut kehilanganmu… tapi aku juga takut jadi bagian dari ini.” Ia menarik napas panjang. “Aku nggak tahu lagi siapa aku, Lis. Aku dulu cuma ‘teman Lisa yang normal’. Sekarang… aku cuma ‘orang yang takut pada bayangan’.”
Lisa bangun dan mendekat, duduk di sampingnya. “Kau tetap Sara. Sahabatku. Itu nggak berubah.”
“Tapi kau berubah,” balas Sara, suaranya pecah. “Dan aku nggak tahu cara mengikutimu ke tempat yang nggak bisa kulihat.”
Lisa menggenggam tangannya erat. “Aku nggak minta kau mengikutiku. Aku cuma minta kau tetap di sini. Di sisiku. Meski kau takut.”
Sara menatapnya lama. Lalu, tanpa berkata apa-apa, ia melemparkan tasnya ke sudut kamar.
“Kalau aku pergi sekarang,” katanya pelan, “aku nggak akan pernah tahu akhir cerita ini. Dan aku nggak mau melewatkan akhir ceritamu.”
Lisa tersenyum samar. Air matanya jatuh—bukan karena sedih, tapi karena lega.
----------------
Pagi berikutnya, Lisa menemukan Ethan di dapur.
Ia berdiri di dekat jendela, punggungnya tegak, tangannya memegang peta kota Eldridge. Di atas meja, pensil dan penggaris kayu tergeletak. Di peta itu, garis merah menghubungkan rumah bu Redfield ke gereja tua di pinggir kota—tempat yang belum pernah mereka kunjungi.
Lisa berhenti di ambang pintu. “Kau mengukur jarak ke gereja?”
Ethan terkejut, buru-buru melipat peta. “Aku cuma… penasaran. Lokasinya menarik.”
“Menarik bagaimana?”
“Cuma… arsitekturnya. Gereja tua, jarang ada di kota sekecil ini.” Ia tersenyum, tapi matanya menghindar.
Lisa menatapnya. Ia tidak pernah melihat Ethan berbohong sebelumnya. Tapi kali ini, ia tahu—ia berbohong.
“Kalau kau tahu sesuatu,” kata Lisa pelan, “katakan. Jangan sembunyikan.”
Ethan menatapnya, lalu menghela napas. “Aku nggak tahu apa-apa, Lis. Aku cuma… ingin tahu lebih banyak. Itu saja.”
Lisa mengangguk, tapi ia tidak percaya.
Ia berjalan pergi, meninggalkan Ethan dengan peta yang masih hangat di tangannya.
****************
Sore itu, bu Redfield membakar mawar hitam.
Di halaman belakang, di bawah pohon tua raksasa—pohon Elder yang usianya mungkin lebih tua dari kota Eldridge itu sendiri—ia meletakkan bunga itu di atas batu datar yang terukir simbol.
Pohon Elder itu tinggi menjulang, batangnya retak-retak seperti kulit naga, dahan-dahannya melengkung ke segala arah, membentuk kanopi gelap yang hampir menutupi seluruh halaman. Daunnya kecil, berwarna ungu kehijauan, dan berbau harum aneh—seperti campuran kayu manis, darah kering, dan embun tengah malam. Penduduk tua Eldridge percaya pohon ini adalah penjaga pertama, tempat roh custodian pertama bersemayam.
bu Redfield menyalakan api kecil dengan korek kayu tua. Nyala api tidak oranye—tapi ungu kehitaman, seperti nyala dari dunia lain.
Mawar itu terbakar tanpa suara. Tanpa asap. Hanya abu halus yang tersisa.
“Abunya harus dikubur di bawah pohon Elder ini,” kata bu Redfield. “Agar pesannya tidak kembali.”
Lisa mengangguk, lalu mengambil abu itu dengan kain hitam. Tapi saat ia mengangkatnya—
Abu itu bergerak.
Bukan tertiup angin. Tapi mengalir sendiri, membentuk pola di lantai kayu.
Simbol.
Sama persis dengan yang ada di telapak tangannya—lingkaran dengan tiga garis spiral yang saling menyambung di tengah, hanya kali ini terbentuk dari abu, hitam pekat, berkilau samar seperti tinta hidup.
Lisa membeku. Ia menatap abu itu, lalu menatap Ethan yang berdiri di ambang pintu dapur, lalu menatap Sara yang menatapnya dengan khawatir.
Ia tidak berkata apa-apa.
Tapi di dalam hatinya, benih kecurigaan tumbuh lebih besar.
Ethan tahu sesuatu.
Dan mungkin…
ia sudah tahu sejak lama.
Malam itu, di beranda rumah bu Redfield, trio duduk dalam keheningan.
Tidak ada yang bicara. Tidak perlu.
Lisa menatap kabut Eldridge yang bergerak perlahan, seolah menunggu. Sara memeluk lututnya, menatap tanah. Ethan menatap gereja tua di kejauhan—hanya siluet gelap di balik kabut.
Lisa menyentuh jimat di lehernya. Dinginnya menenangkan—tapi tidak cukup.
Ia tahu, sesuatu akan berubah.
Dan kali ini, bukan hanya dari luar.
Tapi dari dalam—dari orang yang paling ia percaya.
Di luar jendela, kabut Eldridge bergerak perlahan, seolah menunggu jawabannya.
Dan untuk pertama kalinya, Lisa tidak merasa dikejar.
Ia merasa… dikhianati.