NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Brian & Dunianya

“Aku lelah menjadi suara yang kau abaikan, menjadi harapan yang kau biarkan pudar. Cintamu hanya tentang dirimu sendiri, sementara aku perlahan tenggelam dalam sepi yang kau ciptakan.”

\~ Serena Azura Auliana \~

***

Serena menatap secangkir kopi di hadapannya yang mulai mendingin. Aroma robusta yang biasanya menggugah, kini terasa hambar, getir di ujung lidah.

Kafe yang ramai—dipenuhi suara obrolan dan tawa pengunjung yang saling bersahutan—nyatanya tak mampu menghilangkan perasaan sepi yang ia rasakan.

Beberapa kali notifikasi berbunyi dari gawai seorang pemuda bernama Briansyah Royrion Altair, yang kerap dipanggil Brian.

Entah apa yang dilakukan oleh pria itu saat ini. jemarinya begitu cepat mengetik di atas layar, entah dengan siapa. Sementara itu, Serena hanya bisa diam, tenggelam dalam pikirannya sendiri, bertanya-tanya sampai kapan dia harus bertahan dan memaklumi sikap Brian yang sudah mulai melewati batas kesabarannya.

Setelah sekian lama menunggu dalam diam, akhirnya Brian mengangkat kepala dan menatap wajah Serena sambil tersenyum. Senyum yang dulu terasa hangat itu, kini hanya suatu kebiasaan yang tak lagi berarti apa-apa.

"Re, aku ketemu Mira tadi di tempat tongkrongan. Dia ngajak kita double date sama pacar barunya. Kayaknya bakalan seru, nggak, sih? " ucap Brian sambil terus mengetik pesan di layar.

Nada suara Brian saat menyebut nama wanita lain terdengar begitu ringan, tanpa beban. Namun bagi Serena, nama "Mira" langsung membuat dadanya sesak.

Mira memang bukan siapa-siapa. Hanya salah satu dari sekian banyak teman wanita Brian, yang selalu diperlakukan Brian dengan perhatian berlebihan—hal-hal yang dulu Serena pikir wajar, kini terasa seperti kerikil yang makin melukai hatinya.

Serena tiba-tiba mengembuskan napas dengan kasar. Memiliki kekasih yang mudah akrab dengan siapa saja, terutama dengan perempuan, rupanya bukan sekadar anugerah—tapi juga semacam musibah. Seingatnya, bukan hanya Mira yang menjadi teman dekat Brian, tapi ada beberapa wanita lain yang menjalin hubungan dengan Brian atas nama persahabatan.

Persahabatan. Serena merasakan getir di hatinya. Mana mungkin ada persahabatan yang sungguh-sungguh murni antara pria dan wanita.

"Re, kamu dengerin aku, kan, Re?" tanya Brian karena tak kunjung mendapat jawaban dari Serena.

"Terserah kau saja," jawab Serena dengan nada datar, penuh ketidakpedulian.

"Kalau gitu, aku kabari Mira dulu," ucap Brian, masih tak sadar betapa rapuhnya hati Serena saat ini.

Serena menyandarkan tubuhnya ke kursi, memejamkan mata sejenak. Lihatlah, pria itu kembali tenggelam dalam ponselnya, tak sedikit pun menyadari bagaimana dirinya semakin tak ada di mata Serena.

Kenapa ponsel itu tak menyedot saja seluruh tubuh Brian sekalian? Biar dia menghilang, bersama dengan perasaan dan sikap hangatnya yang telah lama memudar, entah ke mana.

"Mira." Serena mencoba menyembunyikan perasaan yang mendidih dalam dirinya. "Emangnya dia gak punya kerjaan lain, selain gangguin kamu, ya?”

Brian mendongak, wajahnya menampilkan keheranan, yang menurutnya, Serena sedikit berlebihan.

"Kamu kenapa, Sayang? Aku gak merasa terganggu sama sekali, kok. Lagi pula, dia kan temen aku. Dia ngajak kita buat hangout bareng, masa kutolak. Lagian, mumpung aku pulang, kapan lagi kita bisa liburan."

"Kamu sadar nggak, sih? Dari tadi, kamu itu cuma sibuk sama HP-mu aja. Terus, apa aku ini cuma pajangan?"

"Re, kamu lagi pms? Duh, jangan gitu, Sayang. Kamu jangan semuanya dibawa serius kayak gitu.  Nanti kamu stres yang ada."

Serena menahan napas, mencoba menenangkan hati. Ini bukan kali pertama ia mendengar kata-kata itu.

Terlalu serius.

Terlalu dramatis.

Selalu terlalu berlebihan.

Brian tak pernah berhenti memberinya label-label yang membuat Serena meragukan dirinya sendiri.

"Brian, aku cuma ... aku cuma merasa, mungkin, ada batas yang sebaiknya kita jaga. Kamu tahu, aku udah bener-bener capek ngeliat kamu terlalu dekat dengan cewek lain. Bukan berarti aku nggak percaya sama kamu, tapi ... aku cuma manusia. Aku bisa cemburu."

Brian menggeleng pelan dan tertawa kecil, seolah Serena baru saja mengucapkan sesuatu yang konyol.

"Kamu kayaknya memang lagi banyak pikiran, Re. Udah berapa kali aku bilang, kamu gak perlu ngerasa cemburu sama mereka, Re. Aku pikir, kita udah selesai bahas soal ini."

Serena terdiam, tak mampu membalas. Di dalam dirinya, ada perasaan terjepit antara marah dan putus asa. Setiap kali ia berusaha menjelaskan apa yang ia rasakan, Brian selalu membuatnya tampak bodoh dan berlebihan.

Ia mencintai pria ini, atau setidaknya dulu pernah begitu. Brian selalu bisa mengisi dunianya dengan canda, dengan sikapnya yang ramah dan menyenangkan. Tapi ternyata, keramahan yang dulu membuat Serena jatuh hati kini justru menjadi beban. Bukan hanya keramahan pada dirinya, tetapi juga pada semua wanita di sekitar mereka.

Brian menatapnya sejenak, seakan sedang mencari sesuatu dalam wajahnya.

"Kamu tahu, Re. Aku itu cintanya cuma sama kamu. Aku nggak akan selingkuh atau semacamnya. Aku hanya ... begini adanya. Kamu tahu itu sejak awal, kan?"

Serena menarik napas panjang, mencoba memahami maksud kata-kata Brian.

Sejak awal, iya. Ia tahu Brian ramah, terbuka, menyenangkan. Tapi semakin lama, keramahan itu justru menjadi belenggu yang menjerat hati Serena.

Betapa seringnya ia merasa tersisih hanya karena melihat Brian tertawa dan bercanda bersama wanita-wanita lain, seakan mereka lebih berhak mendapat perhatian Brian daripada dirinya, yang notabene adalah tunangannya sendiri.

"Brian, apa kamu benar-benar nggak bisa berubah?" Suara Serena tercekat, nyaris tak terdengar. "Aku nggak bisa terus-menerus kayak gini, cuma jadi pelengkap hidupmu."

Brian menghela napas, ekspresinya datar.

"Re, kamu ini aneh sekali. Kenapa sih kamu selalu meragukan perasaanku? Aku udah pulang, lho. Jauh-jauh nyebrang pulau, cuma buat ketemu kamu. Kenapa kamu nggak cukup puas dengan itu?"

Lagi-lagi, perkataan Brian menampar Serena dengan keras. Ia tak lagi tahu harus menjelaskan bagaimana perasaannya. Jika terus begini, perasaannya sedikit demi sedikit benar-benar tergerus habis, tak bersisa.

Berputar-putar dalam pikiran yang rumit, pada akhirnya Serena kembali ke titik awal, di mana ia berpikir bahwa ia hanya perlu mempertahankan hubungan ini dengan menerima Brian apa adanya. Serena juga berpikir, selama Brian tidak mengkhianatinya atau menjalin hubungan lebih dari sekadar teman dengan wanita lain, maka tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Bodoh. Serena juga menyadari hal itu. Tapi lagi-lagi, dia hanya bisa diam atau tersenyum sambil mengatakan, bahwa semuanya baik-baik saja. Brian memang mencintai Serena, hanya Serena satu-satunya. Tetapi ia tahu, Brian tak pernah benar-benar tahu caranya mengungkapkan cinta itu dengan cara yang membuat Serena merasa dihargai dan dimiliki.

"Memang ada, cewek yang nggak cemburu ngeliat pacarnya deket sama cewek lain? Kalau ada, coba tunjukin aku di mana orangnya."

Brian tertawa mendengar celotehan Serena yang menurutnya menggemaskan, tetapi kali ini tawa itu tak membuat Serena tersenyum. Tawa itu penuh dengan nada yang menyakitkan.

"Re Sayang, pikiranmu terlalu rumit. Cinta itu sederhana. Kamu mencintai seseorang, kamu bersamanya. Apa lagi yang kamu butuhkan?"

Kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Brian berhasil menusuk Serena lebih dalam daripada apa pun yang pernah ia dengar.

Brian benar, pikirnya. Mungkin dia memang terlalu banyak berpikir, terlalu banyak berharap, terlalu berekspektasi tinggi. Namun, bagaimana bisa ia tidak berharap pada seseorang yang pernah ia bayangkan akan menjadi pendamping hidupnya? Bagaimana bisa ia tidak berharap bahwa cinta yang ia berikan akan disambut dengan penghargaan, dengan kepercayaan yang tulus?

Sore itu, Serena berakhir dengan pergulatan di dalam dirinya. Semua energi telah terkuras habis. Tidak ada sisa kekuatan untuk berdebat atau beradu pendapat dengan Brian. Dia merasa lelah—bukan hanya fisik, tapi juga hati dan pikiran.

Di hadapannya saat ini, Brian kembali tenggelam dalam dunianya sendiri. Bukan dengan pesan atau percakapan dengan grup chatnya maupun wanita lain, tetapi dengan sebuah game strategi berbasis tim di mana ia mengendalikan seorang hero untuk bertarung dan merebut wilayah. Game yang cukup populer akhir-akhir ini, orang-orang menyebutnya Battlefront Legends.

Serena masih memandangi Brian yang kini asik dengan Medan pertempuran virtualnya.

Pikiran-pikiran rumit terus-menerus menghujam Serena, menempatkannya seolah berada di persimpangan jalan. Ia harus memilih apakah ia akan terus bertahan dan kehilangan dirinya, atau merelakan hubungan yang perlahan menyesakkan ini.

Sampai akhirnya, Serena berdiri dari tempat duduknya. Tanpa berkata apa-apa, ia meraih tasnya, menyampirkan tali tas itu di bahu, dan menatap Brian untuk terakhir kalinya hari itu.

Sorot mata Serena dipenuhi dengan luka yang tak mampu diucapkan. Ahh, mungkin lebih tepatnya, Serena terlalu lelah mengutarakan isi hati. Toh, ujung-ujungnya gak bakal didengerin juga sama si Brian Shake.

Brian mendongak, sepertinya terkejut melihat Serena sudah bersiap pergi. "Re, kamu mau ke mana? Kita masih belum selesai. Makananmu juga belum habis. Katanya habis ini mau lanjut nonton?"

Serena tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih menyerupai kepedihan daripada kebahagiaan.

"Aku mau pulang. Aku udah capek." Hanya itu yang bisa ia katakan sebelum melangkah meninggalkan meja itu, meninggalkan kafe, dan meninggalkan Brian yang masih terpaku di tempatnya, tak mengerti apa yang salah.

Brian langsung beranjak saat itu juga, membayar pesanan mereka, dan menyusul Serena yang sudah keluar dari Kafe.

Bersambung

Rabu, 25 Agustus 2025

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!