Menyukai seseorang tanpa tahu balasannya?
tapi dapatku nikmati rasanya. Hanya meraba, lalu aku langsung menyimpulkan nya.
sepert itukah cara rasa bekerja?
ini tentang rasa yang aku sembunyikan namun tanpa sadar aku tampakkan.
ini tentang rasa yang kadang ingin aku tampakkan karena tidak tahan tapi selalu tercegat oleh ketidakmampuan mengungkapkan nya
ini tentang rasaku yang belum tentu rasanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asrar Atma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ceroboh
Pov Daniza
Aku memarkirkan sepedaku disalah satu pohon flamboyan yang ada di halaman rumah Haneul. Sepulang sekolah, kami bertiga sepakat untuk berkunjung kerumah Haneul untuk menjenguk.
Melihat bagaimana keadaannya? Parah kah dia? amankah ketampanan dan postur indah badannya? Tapi tidak apa Haneul, jika pun ternyata selama ini aku menyukaimu karena rupa, setidaknya kamu pernah menjadi pemenang hatiku. Namun itu baru dugaan Haneul, bisa jadi selama ini...aku memang menyukai kamu karena itu kamu, bukan karena apapun yang bisa hilang darimu.
"Rumahnya kebuka kok,"Ujarku dengan jantung berdebar karena akan bertemu dengan Haneul, dirumahnya.
"Rame orangnya, lihat aja sendal didepan. Langsung masuk saja, bilangin kita rombongan yang tertinggal "Lani memberi usulan, kami pun saling beradu pandang.
"Ngga sopan, ini rumah Bu Fatwa!" Lalu hening beberapa detik sampai Winda mengajukan lagi pertanyaan, " Ayo...siapa yang duluan?" Kami bertiga saling mendorong untuk memanggil tuan rumah.
"Siapa yang bikin ide? Dia yang maju"
Selamat, pikirku saat gagasan itu keluar dari Lani. Beruntung aku selalu bisa menahan perasaan ku, meskipun sangat ingin melihat keadaan nya, aku jadi tidak terjebak oleh keadaan semacam ini.
Aku berjalan dibelakang Winda, sementara Lani menunggu didekat sepedanya, beralasan sepedanya tidak punya standar jadi harus pelan-pelan menyadarkan dipohon biar tidak jatuh dan itu butuh waktu lama.
"Bu...."panggil Winda seraya mengetuk jendela kaca, aku mencolek lengannya merasa ada yang aneh.
"Kita kan mau jenguk Haneul, apa ngga apa yang dipanggil Bu Fatwa ?" Winda terdiam, nampak berpikir.
"Iya juga, tapi ngga sopan. Ada Bu Fatwa didalam!" Aku mengangguk saja kalau begitu, Winda mengetuk lagi sambil memanggil Bu Fatwa.
Tak berapa lama setelahnya, barulah terdengar suara langkah kaki mendekat. Dan yang muncul ternyata seorang bocah yang dulu pernah ku lihat di boncengan Haneul.
"Temannya Kak Han?"
"Betul, mau jenguk boleh?"Tanya Winda,bocah seusia Vano itu mengangguk lalu mempersilahkan kami masuk.
"Daniza...tunggu"teriak Lani dari dekat sepeda seraya berlari, sepedanya ditinggalkan begitu saja bersandar di sepedaku.
Kami dituntun melewati ruang tamu, lalu berbelok sedikit untuk masuk lebih dalam. Rumah nya cukup besar dan barang didalamnya tidak banyak, dan ada beberapa lemari kaca berjejer rapi memuat beragam piala dan gelas antik. Di dinding terpajang beberapa foto, seperti bayi tengkurap dan foto keluarga Bu Fatwa, berempat dengan kedua anak laki-laki nya, dan terakhir paling ujung masih foto keluarga Bu Fatwa tapi ada Haneul disisi seorang pria baya, foto itu sepertinya ketika Haneul SD-baru pindah dari kota.
"Ku pikir muka kamu babak belur kena aspal, taunya aman. Masih ganteng, masih boleh bersaing sama Koko Cina. Curang memang aspal, Han mendarat diatas nya dia pilih-pilih, tempat yang mana yang ngga merusak rupanya. Coba kalo muka asal jadi, bisa langsung dihantam semuanya" dari balik pintu kamar terdengar suara seseorang, lalu tawa setelahnya menyusul.
"Ini juga parah, kakinya Han hampir patah" kali ini suara seseorang perempuan dan suara seseorang mengaduh.
Bocah yang mengantar kami masuk, menoleh sebentar. "Bentar, aku tanya kakak" dia mengetuk pintu yang dibaliknya sangat ramai, lalu suara seseorang menyahut dari dalam.
"Masuk Fazar!" bocah itu membuka pintu sedikit, hanya membiarkan kepala nya saja yang masuk.
"Kakak Han, teman-teman kamu mau jenguk nih"
"Suruh masuk aja, Fazar" pintu dibuka, dan mataku seketika bertemu dengan mata Haneul saat itulah jantungku berdebar lebih kencang dibandingkan saat awal-ketika melihat rumahnya.
Aku nyaris mematung ditempatku dengan keringat dingin yang tiba-tiba. Jika saja Lani tidak menarik ku masuk kedalam kamar, yang beraroma Mint.
"Kami dengar kamu kecelakaan Han, makanya kami inisiatif jenguk"
"Terima kasih...Winda, Lani, dan...Daniza" mataku yang sedari tadi melihat ke sudut kamar dengan perlahan berpindah melihat Haneul yang tersenyum-itu manis sekali. Tapi aku sudah cukup gula. Jadi pandanganku harus beralih lagi pada sudut ruangan atau pada apa saja....
"Bawa apa?"Dimas bersuara ditempat duduknya seraya menatap kami bergantian
"Kami ngga bawa apa-apa, kelupaan"jawab Lani disampingku, Dimas mendengus.
"Balik lagi aja, ambil. Rugi tuan rumah, menjamu tamu ngga bawa apa-apa "Rina yang duduk dekat kepala ranjang, begitu dekat dengan Haneul, mendorong kepala Dimas membuat laki-laki itu mendelik
"Ngga perlu, ngga usah ditanggapi omongan Dimas. Dia juga ngga bawa apa-apa, datang-datang cuma nangis doang"
"Duduk dulu kalian!"Haneul menawarkan seraya melihat pada Gato yang duduk anteng dikursi dekat meja belajar, "Sini Winda!" Gato berpindah ke meja belajar sementara Winda duduk ditempat yang ditawarkan
"Dimas pindah!"
"Enak aja, ini kursi aku ambil dari meja makan, bayangkan saja Jauh-jauh aku bawa masa mau diserahkan se-enak mulut kamu, eh...pait kaya pernah cipok Gato aja"
"Dimas!" Dimas berdecak lalu bangkit dengan gerakan malas,lalu Lani segera beranjak dari sampingku dan duduk di tempat Dimas tadi.
"Terima kasih Gato, eh Daniza duduk mana dong?"
" Daniza duduk didekat Haneul, masih ada sisa disebelahnya" aku terbelalak tidak percaya sekaligus terkejut dengan aturan posisi duduk dari Gato, begini saja jantungku sudah tidak karuan apalagi jika sedekat itu.
Aku jadi menyesal kenapa aku kemari padahal sudah tahu aku tidak bisa terlalu dekat, aku butuh jarak dengan Haneul tapi tetap ikut sebab kawatir. "Ngga usah, aku berdiri aja" ujarku pada Gato lalu melirik sedikit pada Haneul yang menatap ku
"Ngga ada yang berdiri semua orang duduk,"kata Gato.
Aku segera menoleh pada Dimas, mendengar pernyataan itu. Tapi Dimas tiba-tiba berjalan ke sisi dekat jendela dan duduk ditepi jendela "Baru pulang sekolah? Kalian langsung ke sini?"tanya Haneul pada Winda.
Melihat tidak ada yang berdiri selain aku, dan Gato kembali menawarkan untuk duduk, serta orang orang sekitar mulai sibuk dengan obrolan, maka dengan perlahan aku berjalan mendekati tempat tidur Haneul.
Melihat sisi ranjang yang kosong dengan jarak yang pantas. Aku memutuskan untuk duduk disana, namun baru saja aku mendarat kan bokong dan akan langsung duduk diranjang itu, tiba-tiba Haneul menjerit, bersamaan dengan itu rasanya tanganku ditarik untuk berdiri.
Aku begitu terkejut apalagi saat Rina berteriak,
"Gimana sih, kakinya Han hampir patah malah kamu duduki" membuat ku berubah panik, sampai aku meraba kaki Haneul sambil meminta maaf.
"Udah ngga apa-apa, kamu kesini maksudnya"ujar Haneul sambil mendesis menahan sakit, dia menarik tangan ku, menuntun ku untuk duduk ke samping nya- dekat kepala ranjang.
"A-ku ngga ta-hu-kalau"aku melihat Haneul dengan mata berkaca-kaca, hampir menangis gara-gara dimarahi Rina dan merasa bersalah pada Haneul.
"Kamu ngga salah, Daniza"
"Haneul "panggilan Gayo membuat ku tersadar akan tangan ku yang masih dalam genggaman Haneul,aku segera menarik nya perlahan dan berdiri.
"Aku mau pulang duluan ,mama suruh aku jaga Delia"ujarku dengan suara bergetar, menatap mereka satu per satu, Haneul menatapku dengan tatapan nya yang dalam, Rina membuang muka ,Dimas terkekeh entah karena apa, Lani hanya menatap ku prihatin begitupun Winda yang memasang wajah bersalah, Gato hanya menatap datar.
"Aku juga balik kalo gitu, nanti kesorean"
"Aku juga pulang dulu, Han, semuanya"
"Hati-hati kalian!"
"Dani..."aku menoleh dari balik pundak, melihat Dimas yang duduk santai di tepi jendela.
"Apa?Ngga manggil, cuma mau ngomongin dibelakang" Dimas melotot, lalu memutar badannya menghadap Rina.
"Ceroboh sekali Dani, itu yang harusnya kamu tampol"dibelakang sana, suara Dimas masih terdengar membicarakan ku, lalu semakin samar saat aku sudah sampai di teras rumah.
"Hati-hati kalian!" Begitu kata Gato yang mengantar kami sampai teras depan.
aaaaaaa aku tak sanggup menungguuuu