NovelToon NovelToon
Jodohku Teman Mama

Jodohku Teman Mama

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:4.2k
Nilai: 5
Nama Author: Julia And'Marian

Raisa tak pernah mengira hidupnya akan berubah drastis setelah ulang tahunnya yang ke-23. Gadis ceria itu terkejut ketika sang mama mengenalkannya pada seorang pria—bukan untuk dijodohkan dengan lelaki muda seperti biasanya, melainkan dengan teman dekat mamanya sendiri, seorang pria dewasa bernama Ardan yang berusia hampir dua kali lipat darinya.

Ardan, seorang duda mapan berwibawa, awalnya tak berniat menerima tawaran perjodohan itu. Namun, kepribadian Raisa yang hangat dan polos perlahan membuatnya goyah. Raisa pun dilanda dilema: bagaimana bisa ia jatuh hati pada seseorang yang selama ini ia kenal sebagai “Om Ardan”, sosok yang sering datang ke rumah sebagai sahabat mamanya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Julia And'Marian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Raisa duduk di tepi ranjang dengan wajah muram. Kakinya menggantung di sisi ranjang, berayun tanpa arah, sementara kedua tangannya sibuk meremas ujung bantal. Hujan di luar telah reda, tetapi gemuruh di dadanya belum juga tenang.

Suara ketukan di pintu membuatnya sedikit tersentak.

“Rai, boleh Mama masuk?”

Raisa mendengus kecil. “Masuk aja, Ma.”

Mama melangkah masuk, duduk di sebelah putrinya. Perempuan paruh baya itu tampak sama lelahnya, seperti habis menempuh perjalanan panjang meski seharian hanya berada di rumah.

“Raisa…” Mama menghela napas panjang. “Tadi itu… kagetin, ya?”

Raisa menoleh dengan tatapan tak percaya. “Kagetin? Ma, itu bukan kagetin lagi. Itu… gila! Masa Om Ardan tiba-tiba bilang mau ngelamar aku?! Om Ardan, Ma! TEMAN Mama sendiri!”

Mama mengelus pundaknya, mencoba menenangkan. “Makanya Mama langsung bilang ke dia, kita butuh waktu. Mama nggak mungkin langsung jawab iya atau nggak.”

“Tapi kok Mama nggak langsung nolak?!”

Mama terdiam. “Karena… Mama nggak mau buru-buru mutusin sesuatu yang sepenting ini.”

Raisa mendelik. “Sepenting ini? Ma… yang ngomong tadi itu teman Mama, seumuran Mama, duda pula. Lagian, dia punya anak yang usianya nggak jauh beda sama aku. Aku nggak bisa bayangin, Ma. Geli!”

Mama menahan tawa kecil, meski jelas ekspresinya campur aduk. “Ya ampun, Raisa… kamu jangan ngomong kayak gitu. Om Ardan itu orang baik. Kamu sendiri tahu kan dia seperti apa?”

“Orang baik? Iya, aku tahu. Tapi bukan berarti aku harus nikah sama dia!” Raisa berdiri, mondar-mandir di kamarnya, kedua tangannya mengepal. “Ma, please deh… Om Ardan itu udah TUA. Liat aja, rambutnya udah beruban. Aku nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba ngomong kayak gitu. Lagian… dia itu kan sahabat Mama. Apa nggak aneh kalau tiba-tiba jadi suami aku?”

Mama ikut berdiri, berusaha menenangkan. “Rai, kamu jangan cuma lihat dari usia. Om Ardan itu—”

“Justru karena aku lihat usianya, Ma!” Raisa memotong dengan suara meninggi. “Aku 23 tahun. Dia… berapa? 45? 46? Itu hampir dua kali umur aku! Aku nggak mau, Ma.”

Mama terdiam. Wajahnya terlihat bersalah sekaligus bingung.

Raisa kembali duduk di ranjang dengan wajah tertunduk. “Ma, aku tahu Mama sayang sama Om Ardan sebagai teman. Tapi jangan paksa aku buat nerima sesuatu yang… aku bahkan nggak bisa mikirin aja udah mual.”

 

Hening.

Mama akhirnya duduk di sampingnya lagi. “Rai… Mama nggak maksa. Mama cuma bilang, kasih kesempatan buat mikir. Om Ardan tadi juga nggak minta jawaban sekarang. Dia cuma minta kita mempertimbangkan.”

Raisa menoleh tajam. “Mempertimbangkan? Buat apa? Ma, aku belum siap nikah. Sama siapapun. Apalagi sama Om Ardan. No. Big no.”

Mama terdiam, menatap wajah putrinya. “Mama ngerti kamu kaget. Tapi, Rai, nikah itu nggak melulu soal umur. Kamu butuh pasangan yang bisa jaga kamu, ngerti kamu. Om Ardan—”

“Stop, Ma!” Raisa menutup telinganya sebentar. “Jangan bilangin aku soal kelebihan dia. Mau dia kaya, mapan, baik, atau apapun… aku nggak peduli. Aku nggak suka.”

Mama menghela napas panjang, kali ini lebih berat. “Rai… Mama nggak mau kamu nyesel suatu hari nanti cuma karena nutup hati duluan.”

Raisa berdiri cepat. “Nyeseeeel? Ma, yang nyesel justru nanti kalau aku nikah sama orang yang nggak aku cintai!”

 

Mereka terdiam. Kata-kata Raisa menggantung di udara.

Mama menunduk, jemarinya meremas ujung gamis. “Kamu bener… soal itu.”

Raisa melunak sedikit, suaranya lebih pelan. “Ma… aku nggak punya perasaan apa-apa ke Om Ardan. Bahkan aku… nggak bisa bayangin dia dalam hidup aku. Aku tahu dia orang baik, tapi… dia bukan buat aku.”

Mama memejamkan mata sebentar. “Ya udah. Mama nggak bakal maksa. Tapi janji sama Mama, jangan ngomong ini ke orang lain dulu. Apalagi ke teman-temanmu. Ini hal serius, jangan jadi bahan gosip.”

Raisa mengangguk. “Oke. Tapi Mama juga janji… tolong jangan bawa-bawa topik ini lagi ke aku.”

Mama menghela napas panjang. “Mama janji. Tapi cepat atau lambat… kamu harus ngomong sendiri sama Om Ardan. Supaya dia ngerti.”

 

Raisa langsung pucat. “Ngomong? Sama dia? Ma… nggak bisa. Malu banget.”

“Rai, kamu yang nolak. Harus kamu yang bilang langsung. Itu lebih sopan.”

Raisa mengerang frustrasi. “Kenapa sih hidup aku jadi serumit ini cuma gara-gara Om Ardan?”

Mama mengelus punggungnya. “Kadang orang baik datang di waktu yang nggak tepat. Tapi bukan berarti kita boleh kasar nolaknya.”

Raisa hanya mendengus.

 

Malam itu Raisa tak bisa tidur. Berkali-kali ia membolak-balikkan tubuh di ranjang, tapi matanya tetap terjaga. Kenapa harus aku? pikirnya. Dari semua perempuan yang bisa Om Ardan pilih, kenapa aku?

Ia mencoba mengingat tatapan Ardan tadi sore. Tatapan yang tenang, tapi dalam. Tatapan yang membuatnya… entah kenapa, merasa seperti dilihat sepenuhnya, bukan sebagai anak kecil, bukan sebagai putri temannya, tapi sebagai dirinya sendiri.

Raisa mendesah keras. “Ih, apa sih! Jangan mikirin dia!” gerutunya sendiri.

 

Keesokan harinya, Raisa bangun lebih pagi dari biasanya. Ia memutuskan untuk menghindari topik pembicaraan tentang Ardan dengan Mamanya. Ia juga memutuskan: begitu ada kesempatan, ia akan menemui Ardan sendiri untuk menolak secara baik-baik.

Namun, siang itu sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nomor tak dikenal.

Ardan: Raisa, ini Om Ardan. Maaf mengganggu. Om tahu kamu pasti kaget kemarin. Kalau kamu berkenan, Om ingin bicara langsung sama kamu. Bukan sebagai teman Mama, tapi sebagai pria yang serius sama kamu.

Raisa menatap layar ponselnya lama. Hatinya berdegup kencang.

 

Om Ardan itu… udah tua, Ma! pikirnya lagi. Tapi mengapa pesan itu terasa… berbeda?

Apakah ia benar-benar siap menolak secara langsung?

1
Nurminah
manusia terkadang menilai sesuatu berdasarkan sudut pandang mereka tanpa tabayun dulu sehina itu menikah beda usia tapi laki-laki yg memiliki sugarbaby dianggap wajar zina dinormalisasi pernikahan dianggap aib
Julia and'Marian: Ya kak, apalagi jaman sekarang sudah hal wajar seperti itu. miris banget.
total 1 replies
Aliya Awina
siapa yg gak sok baru datang langsung lamaran,,,
Julia and'Marian: 🤭🤭🤭,,
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!