NovelToon NovelToon
BOUND BY A NAME, NOT BY BLOOD

BOUND BY A NAME, NOT BY BLOOD

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Cinta setelah menikah / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:816
Nilai: 5
Nama Author: Lina Hwang

Xandrian Elvaro, pria berusia 30 tahun, dikenal sebagai pewaris dingin dan kejam dari keluarga Elvaro Group. Sepeninggal ayahnya, ia dihadapkan pada permintaan terakhir yang mengejutkan: menikahi adik tirinya sendiri, Nadiara Elvano, demi menyelamatkan reputasi keluarga dari skandal berdarah.

Nadiara, 20 tahun, gadis rapuh yang terpaksa kembali dari London karena surat wasiat itu. Ia menyimpan luka masa lalu bukan hanya karena ditinggal ibunya, tetapi karena Xandrian sendiri pernah menolaknya mentah-mentah saat ia masih remaja.

Pernikahan mereka dingin, dipenuhi benteng emosi yang rapuh. Tapi kebersamaan memaksa mereka membuka luka demi luka, hingga ketertarikan tak terbendung meledak dalam hubungan yang salah namun mengikat. Ketika cinta mulai tumbuh dari keterpaksaan, rahasia kelam masa lalu mulai terkuak termasuk kenyataan bahwa Nadiara bukan hanya adik tiri biasa

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lina Hwang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kenapa Kamu Peduli?

Pagi itu, Nadiara duduk di balkon kamarnya, menggenggam secangkir kopi yang sudah lama dingin. Aroma robusta masih tercium samar, tapi tak mampu menenangkan pikiran yang penuh kekacauan. Di hadapannya, langit menyuguhkan rona abu-abu yang tak memihak tidak mendung, tidak juga cerah. Seperti dirinya.

Ia memutar-mutar cangkir itu dengan jari gemetar. Di dasar kopi, ia mencari jawaban. Atau mungkin, hanya alasan untuk bertahan.

Langkah pelan terdengar dari dalam. Xandrian muncul, mengenakan kemeja putih bersih dan jam tangan hitam di pergelangan tangan kiri tanda bahwa pagi ini seharusnya ia bersiap menghadapi rapat penting. Tapi kali ini, tak ada kesibukan tergambar di wajahnya. Tidak juga ketegasan seperti biasanya. Yang terlihat hanyalah lelah bukan karena kerja, tapi karena perasaan.

Ia berdiri di ambang pintu balkon, menatap Nadiara yang bahkan tidak menyadari kehadirannya.

“Kamu tidak tidur semalaman?” tanyanya dengan suara pelan.

Nadiara tidak menoleh. Ia hanya mengangguk kecil, masih menatap hampa ke luar. Matanya sayu, penuh kantung gelap. Tapi entah kenapa, ia terlihat lebih jujur dari sebelumnya.

“Aku ingin kita bicara,” kata Xandrian lagi, mencoba mendekat.

“Aku lelah bicara,” sahut Nadiara datar. “Kamu selalu menang dengan diam.”

Xandrian menarik kursi dan duduk di sampingnya. Keheningan menyusul, tapi bukan keheningan yang nyaman. Ini adalah jeda sebelum pertarungan batin dimulai.

“Aku tak berniat menang,” ucapnya akhirnya. “Aku hanya tak tahu bagaimana mengatakannya.”

Nadiara menoleh pelan. Matanya menatap lurus padanya. “Kenapa kamu peduli, Xandrian? Setelah semua yang terjadi, kenapa baru sekarang?”

Pertanyaan itu tidak diucapkan dengan nada tinggi, tidak juga dengan amarah. Tapi justru itulah yang membuatnya menyakitkan. Tenang, tapi menohok. Mengiris perlahan.

Xandrian menunduk, menatap tangannya sendiri yang kini menggenggam cangkir kosong. Ia tidak menjawab seketika. Seperti sedang memikirkan apakah jawaban yang akan ia ucapkan cukup jujur untuk menebus semua diam selama ini.

“Karena aku bodoh,” katanya akhirnya. “Karena aku pikir jika aku menjaga jarak aku akan tetap kuat. Padahal setiap kali kamu menangis, aku hancur sedikit demi sedikit. Tapi aku tidak tahu cara menyentuh luka tanpa membuatnya makin parah.”

Nadiara mengernyit. “Kamu selalu membuatku merasa seperti beban, Xandrian. Seperti masalah yang kamu tak tahu harus diapakan.”

“Tidak” sahutnya cepat, menatapnya penuh kesungguhan. “Kamu bukan beban. Kamu... satu-satunya alasan aku ingin berubah. Tapi aku tak tahu caranya menjadi pria yang pantas untukmu.”

“Lalu kenapa kamu tidak pernah mencoba?” suara Nadiara gemetar, tapi tegas. “Kenapa selalu diam? Kenapa menunggu sampai aku ingin pergi baru kamu mengatakan semuanya?”

Xandrian mengusap wajahnya. “Karena aku takut,” ujarnya jujur. “Takut saat aku mulai mencintaimu, kamu justru memilih pergi. Jadi aku membangun benteng. Aku pikir jika aku tak menunjukkannya, aku bisa tetap menyelamatkan diriku sendiri.”

“Tapi kamu tidak menyelamatkan siapa-siapa, Xandrian. Kamu hanya menyakitiku. Dan dirimu sendiri.”

Kata-kata itu menghantam, tapi ia menerimanya. Mungkin untuk pertama kalinya, ia benar-benar mendengar tanpa membela diri. Ia mengangguk pelan.

Air mata Nadiara jatuh, tapi kali ini bukan karena luka semata. Melainkan karena harapan yang muncul perlahan. Karena meski menyakitkan, semua yang ia ingin dengar akhirnya dikatakan.

“Kamu mencintaiku?” bisiknya.

Xandrian menatap dalam ke matanya. “Dengan cara yang mungkin tak layak. Tapi itu satu-satunya cinta yang kupunya. Cinta yang takut. Cinta yang kasar. Tapi nyata.”

Hening kembali turun. Tapi bukan hening yang dingin. Ada sesuatu yang mulai menghangat di antara mereka bukan semata karena sinar mentari yang menyusup di balik tirai awan.

Nadiara menggenggam tangannya. Lembut, tapi mantap. “Kalau begitu ajari aku cara percaya lagi.”

Xandrian menarik napas, seolah baru saja diberi kesempatan hidup untuk kedua kalinya. “Aku juga perlu belajar. Kita bisa mulai dari satu hal kecil. Seperti berkata jujur setiap pagi. Bahkan jika itu menyakitkan.”

Mereka saling menatap. Tidak ada pelukan. Tidak ada ciuman. Tapi pagi itu terasa lebih hangat dari sinar mentari mana pun. Karena untuk pertama kalinya, mereka bicara dari hati ke hati. Tidak lagi saling menebak. Tidak lagi saling menahan.

Xandrian bangkit, lalu mengambil kopi Nadiara yang sudah dingin. Ia kembali beberapa menit kemudian membawa dua cangkir baru. Uap hangat mengepul pelan, mengisi udara yang tadi penuh kekosongan.

“Kopi baru untuk pagi yang baru,” katanya singkat, duduk kembali di samping Nadiara.

Nadiara tersenyum kecil. Tipis, tapi tulus. Senyum pertama yang keluar tanpa dipaksa dalam beberapa hari terakhir.

“Aku tidak tahu kita akan ke mana setelah ini,” ujarnya sambil menatap ke luar. “Tapi setidaknya pagi ini kita tidak pura-pura baik-baik saja.”

Xandrian mengangguk. “Itu cukup untuk hari ini.”

Dan mereka pun duduk di sana. Menikmati kopi. Menikmati keheningan yang berbeda. Bukan lagi keheningan yang menekan, tapi yang memberi ruang untuk bernapas.

Untuk satu hari lagi, mereka bertahan.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!