Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara
ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
30
Suasana ruang tamu keluarga Baskara malam itu tegang. Lampu gantung berkilau, tapi hawa dingin menusuk sampai ke tulang.
“Pak Galih, kami kesini mau meminta maaf,” ucap Hendra akhirnya membuka suara.
Miranda terlonjak kaget. Dalam hati ia berbisik, apa aku tidak salah dengar? Hendra Sigit yang arogan itu, benar-benar datang untuk meminta maaf pada anakku?
Pikirannya melayang cepat. Kalau aku bisa membangun relasi lagi dengan keluarga Sigit, jalan rekonsiliasi terbuka. Bisnis keluarga bisa berkembang jauh lebih luas.
Laras yang duduk di sampingnya ikut tersenyum tipis. Momentum bagus, ini. Kalau hubungan dengan keluarga Sigit pulih, aku bisa memperluas jaringan bisnis. Ini kesempatan emas.
Miranda menatap Hendra penuh wibawa.
“Ini hanya kenakalan remaja, Pak Hendra. Saya kira dengan Anda datang dan minta maaf pada keluarga kami, itu sudah cukup.”
Hendra tersenyum lega. “Nyonya Baskara memang luar biasa, sangat bijaksana. Bagaimanapun keluarga kita sudah bersahabat sejak lama. Kita tidak perlu memperpanjang masalah.”
Namun sebelum suasana mencair, Galih yang sejak tadi diam mendadak angkat bicara.
“Aku tidak bisa memaafkan.”
“Galih!” bentak Miranda cepat, wajahnya merah menahan marah. “Jangan berlebihan! Pak Hendra sudah minta maaf, apa lagi yang kau mau?”
Laras ikut memperkuat.
“Ya, Mas, sudahlah. Pak Hendra sudah merendah. Lebih baik kita akhiri saja masalah ini, jangan dipanjang-panjangkan.”
Galih terdiam sebentar, lalu teringat ucapan Reza beberapa hari lalu: “Ayah harus bisa memanfaatkan masalah menjadi uang. Jangan pernah berhenti hanya di kata maaf.”
Ia menegakkan tubuhnya, menatap Hendra tajam.
“Setelah anak Anda memperlakukan anak saya, memfitnahnya, bahkan membuat dia dikeluarkan dari kampus… lalu Anda datang dan hanya bilang maaf begitu saja? Tidak semudah itu.”
Wajah Hendra menegang. “Pak Galih, saya sudah tahu rumor yang beredar. Reza bukan anak sah Anda. Kenapa Anda mati-matian membelanya?”
Laras terkejut. Kurang ajar…! Galih benar-benar mulai perhatian sama Reza. Kalau begini, dia bisa saja mengorbankan semua hanya untuk anak itu.
Galih berdiri. Suaranya menggema.
“Anda pikir hanya karena dia anak tidak sah, Anda bisa menginjak-injak harga diri saya? Bagaimanapun, Reza darah daging saya. Anda kira saya akan tinggal diam? Tidak, Pak Hendra. Saya siap bertarung. Permintaan maaf seperti ini tidak ada gunanya!”
“Galih!” bentak Hendra, sikap hormatnya lenyap. “Kamu sudah berani melawanku? Kamu pikir kamu siapa?”
Galih tidak mundur. “Kamu pikir aku lemah? Kamu pikir aku tidak bisa melawanmu? Dengar baik-baik. Aku akan melawanmu sampai akhir!”
Miranda langsung panik, hampir berdiri.
“Galih! Jangan implusif begitu! Sudah bagus Pak Hendra mau kesini minta maaf. Kenapa malah kamu yang keterlaluan?”
“Sudahlah, Bu,” ucap Galih tenang. “Biarkan aku yang mengambil tindakan. Ini urusanku.”
Hendra menatap tajam, matanya berkilat.
“Jadi kamu menyatakan perang denganku, Galih?”
Galih mengangguk mantap. “Sejak kemarin aku sudah menyatakan perang. Dan kalau sekarang kamu mau damai, bukan dengan kata maaf. Aku minta kompensasi. Bayar lima belas miliar, baru aku hentikan perang ini.”
“Berani kamu…!” Hendra berdiri sambil menunjuk wajah Galih. “Baiklah! Aku tidak akan menahan diri lagi. Aku akan menghancurkanmu sampai habis!”
Galih tak bergeming. “Kalau kamu menolak, silakan pergi. Tapi ingat, kalau kamu kembali lagi kesini, kompensasi naik jadi tiga puluh miliar.”
Laras hampir menangis mendengar ucapan suaminya.
“Mas! Kau sudah gila! Jangan main-main dengan keluarga Sigit. Mereka itu srigala. Kau hanya akan mati konyol!”
Miranda menutup wajahnya dengan tangan gemetar.
“Ya Tuhan… apa yang dipikirkan anakku ini…”
Hendra menarik napas panjang, lalu meludah ke lantai. “Kamu akan menyesal, Galih. Aku bersumpah, kau akan jatuh!”
Saat suasana semakin panas, Panji yang dari tadi diam tiba-tiba bicara.
“Pak Galih, sebaiknya Anda mengalah. Anda tahu keluarga Sigit sekarang ada di puncak kekuasaan. Jangan menantang badai. Percayalah, Anda hanya mempermalukan diri sendiri.”
Galih menoleh pelan ke arah Panji, matanya tajam menusuk.
“Oh, jadi Anda ikut bicara? Bukankah Anda yang bilang pihak kampus harus membayar kompensasi lima miliar pada saya? Itu baru awal, pak Panji. Jangan pikir saya luapa.”
Wajah Panji berubah pucat. “Pak Galih, jangan besar kepala! Keluarga Sigit saja sudah bisa menghancurkan Anda, apalagi kalau ditambah pihak kampus. Jangan sok berani!”
“Sudahlah. Kalau tidak ada kepentingan, silakan keluar,” ucap Galih dengan nada dingin, tatapannya menusuk tajam ke arah Hendra dan Panji.
“Kamu…” suara Hendra bergetar menahan amarah. “Kamu akan menyesal, Galih!”
“Pak Galih, anda akan menyesal,” Panji ikut menimpali dengan nada tinggi.
Galih tetap tenang. “Kalau tidak ada keperluan lagi, silakan pulang.”
“BRAK!” meja bergetar keras ketika tangan Hendra menghantam permukaannya. Ia berdiri dengan langkah gemetar namun penuh murka. “Kamu benar-benar cari mati, Galih! Kau akan menyesal sudah menantangku.”
Galih hanya menyeringai tipis. “Ingat baik-baik. Anda harus membayar saya tiga puluh miliar. Dan kampus—sepuluh miliar. Kalau tidak, kita lanjutkan perang.” Ucapannya datar, dingin, seperti pedang yang menusuk perlahan. Dalam kepalanya, suara Reza kembali terngiang: “Ini hanya soal gertakan saja. Jangan pernah mundur.”
Mengingat itu, Galih mengangkat dagunya sedikit, lalu tersenyum tipis penuh percaya diri.
“GALIH!!” bentak Hendra. Wajahnya memerah, matanya membelalak penuh amarah. Namun setelah itu, ia berbalik dengan kasar, melangkah besar-besar meninggalkan ruangan.
Miranda dan Laras hanya bisa saling pandang. Dada mereka berdebar keras, ngeri membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini.
Hendra berjalan cepat menuju mobilnya. Setiap langkahnya menghentak lantai seolah ingin meremukkan tanah. Baru saja ia mencapai halaman, ponselnya berdering nyaring.
“Kenapa kamu menelponku, hah?!” bentak Hendra, masih terbawa amarah.
Suara sekretarisnya terdengar gugup di seberang. “T-tuan… maaf mengganggu, tapi para investor menuntut klarifikasi segera dari keluarga Baskara. Mereka bilang citra perusahaan bapak semakin menurun drastis.”
Hendra menggeram. “Sialan! Suruh tim IT blokir semua berita itu. Bayar berapapun asal bersih!”
“Sudah, Tuan,” jawab sang sekretaris terbata. “Kami sudah menyewa tim IT terbaik. Tapi… tetap tidak bisa ditembus. Berita itu sudah viral di semua media. Jika tidak ada video klarifikasi, kita bisa kehilangan… dua ratus miliar.”
Darah Hendra terasa berhenti mengalir. Tangannya yang menggenggam ponsel bergetar. “Apa kau bilang?! Dua ratus miliar?!”
“Benar, Tuan. Investor menilai Anda tidak kompeten menangani krisis. Reputasi perusahaan dipertaruhkan.”
Keringat dingin mulai membasahi pelipis Hendra. Pandangan matanya kosong, menatap jalanan tanpa arah.
Dua ratus miliar… Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, menekan dadanya semakin kuat.
Ia menggertakkan giginya. Harga dirinya menjerit, menolak tunduk pada Galih. Namun logika bisnisnya berteriak, menuntut langkah cepat sebelum segalanya hancur.
Hendra terdiam lama di samping mobilnya. Matanya merah, rahangnya mengeras.
Pilihan di hadapannya jelas: kembali ke rumah Baskara, menyerahkan tiga puluh miliar demi menyelamatkan bisnis… atau tetap mempertahankan gengsi, lalu melihat kerajaannya runtuh di depan mata.
Dalam hati, Hendra merasa seperti binatang yang terpojok di ujung jurang—antara melompat dan mati, atau menelan racun harga diri demi bertahan hidup.