"Menikahi Istri Cacat"
Di hari pernikahannya yang mewah dan nyaris sempurna, Kian Ardhana—pria tampan, kaya raya, dan dijuluki bujangan paling diidamkan—baru saja mengucapkan ijab kabul. Tangannya masih menjabat tangan penghulu, seluruh ruangan menahan napas menunggu kata sakral:
“Sah.”
Namun sebelum suara itu terdengar…
“Tidak sah! Dia sudah menjadi suamiku!”
Teriakan dari seorang wanita bercadar yang jalannya pincang mengguncang segalanya.
Suasana khidmat berubah jadi kekacauan.
Siapa dia?
Istri sah yang selama ini disembunyikan?
Mantan kekasih yang belum move on?
Atau sekadar wanita misterius yang ingin menghancurkan segalanya?
Satu kalimat dari bibir wanita bercadar itu membuka pintu ke masa lalu kelam yang selama ini Kian pendam rapat-rapat.
Akankah pesta pernikahan itu berubah jadi ajang pengakuan dosa… atau awal dari kehancuran hidup Kian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Membekas
Sejenak, udara di antara mereka terasa penuh keharuan dan rasa syukur. Tak ada yang bicara, tapi tatapan mata mereka saling menyampaikan kehangatan dan penghargaan yang dalam.
Lalu, suara lembut Kyai Zubair memecah keheningan.
“Kalau begitu, kami pamit kembali ke pondok,” ujarnya sopan, menoleh pada Keynan dan Aisyah.
“Oh ya,” sahut Keynan, “Kanya juga ingin pulang ke pondok. Katanya masih harus membereskan barang-barangnya. Tapi ia menolak diantar kami karena akan tinggal beberapa hari di sana untuk mengurus beberapa hal.”
Ia menghela napas sebentar, lalu menambahkan, “Sebenarnya tadi Kian yang hendak mengantar, tapi tiba-tiba muncul masalah mendesak di perusahaan yang harus segera ditangani. Jadi, Kian tidak bisa mengantar.”
Keynan menyisipkan penjelasan itu dengan tenang. Ia tahu, Kian belum sepenuhnya pulih dari konflik batin yang terjadi. Namun sebagai ayah, ia ingin tetap menjaga nama baik putranya di hadapan Kyai dan Umi—orang-orang yang telah menjaga dan menyayangi Kanya seolah putri mereka sendiri.
Baginya, itu bukan sekadar bentuk penghormatan, tapi juga cara untuk menjaga kepercayaan. Kepercayaan bahwa keluarga ini sedang berproses—berusaha memulihkan luka, dan membangun kembali rumah tangga yang sempat goyah.
Kyai Zubair mengangguk tenang.
“Insya Allah, kami merasa terhormat kalian mempercayakan Kanya pada kami. Jangan khawatir… kami akan membawanya sampai ke pondok dengan selamat.”
“Terima kasih banyak, Kyai… Umi,” ujar Aisyah tulus. “Dan mohon maaf kalau merepotkan.”
Umi Farida tersenyum hangat di balik cadarnya. “Tidak merepotkan sama sekali. Justru kami senang bisa bersama Kanya lebih lama.”
Keynan berbalik menatap putri menantunya.
“Nak, kalau kamu butuh bantuan apa pun, jangan sungkan hubungi kami. Dan kalau nanti sudah siap untuk pulang… kabari ya. Biar Kian sendiri yang menjemputmu.”
Kanya mengangguk pelan.
“Iya, Pa,” jawabnya lembut. “Terima kasih.”
Ia menyalami dan mencium punggung tangan kedua mertuanya dengan takzim, penuh hormat dan rasa haru yang tertahan di dadanya.
Lalu mereka pun berpisah di area lobby hotel yang sepi dan teduh. Beberapa pelayan hotel menyapa dengan senyum ramah dan sopan.
Aisyah memeluk Kanya sejenak, membisikkan doa pelindung dalam pelukannya. Keynan menepuk pelan kepala menantunya, lalu Kyai dan Umi bersama Kanya menuju kendaraan mereka.
Langit masih cerah. Tapi hari itu, hati semua orang seolah telah diberi awan peneduh—dari kekecewaan, dari keraguan, dan dari luka lama.
Mereka melangkah pergi, dengan satu harapan: semoga rumah tangga yang hampir karam… bisa mulai belajar berlayar kembali.
Di dalam mobil yang melaju tenang menuju pondok, suasana terasa damai. Kyai Zubair duduk di sebelah sopir, sementara Umi Farida dan Kanya duduk di kursi penumpang bagian belakang.
Sesekali, suara angin dari luar menyusup lembut melalui celah kecil jendela yang terbuka. Mobil melaju di bawah langit biru, melintasi jalanan yang teduh oleh rindangnya pepohonan.
Umi menoleh pada Kanya, senyum lembut terlihat dari balik cadarnya.
“Kamu benar-benar beruntung, Nak,” ucapnya pelan. “Punya mertua seperti Pak Keynan dan Bu Aisyah… itu nikmat yang tak semua orang bisa dapat.”
Kanya menunduk, menahan haru.
“Alhamdulillah, Umi…” bisiknya lirih. “Saya juga merasa sangat beruntung. Awalnya saya takut mereka akan menolak atau tak menerima saya. Tapi ternyata… Allah berikan saya lebih dari yang saya bayangkan.”
Dalam hati, Kanya membatin penuh syukur. Ia tak menyangka akan dipertemukan dengan mertua yang bukan hanya sabar dan lembut, tapi juga tulus menyayanginya. Bahkan saat luka lama masih belum benar-benar sembuh.
Umi mengangguk perlahan. “Semoga Allah selalu menjaga hubungan kalian.”
"Aamiin," sahut Kanya dengan senyum tipis di balik cadarnya.
Lalu, dengan suara hangat, Umi bertanya, “Kamu akan pindah kuliah ke kota ini, Nak?”
Kanya menggeleng pelan. “Belum tahu, Umi. Suami saya masih mencari apartemen yang cocok. Jadi, untuk sementara saya tinggal dulu di rumah mertua.”
“Masya Allah,” gumam Umi. “Berarti kamu masih harus menyesuaikan diri, ya.”
“Iya, Umi,” jawab Kanya pelan.
Tak lama kemudian, Umi kembali bertanya, “Lalu… kamu masih ingin tetap bekerja sama dengan butik pondok?”
Kanya tersenyum di balik cadarnya. “Iya, insyaallah. Selama Umi berkenan, saya tetap ingin menitipkan desain-desain saya di butik pondok. Walaupun tak banyak, setidaknya itu bisa sedikit membantu kegiatan di sana.”
Umi menatap Kanya penuh haru. “Alhamdulillah… Umi senang sekali. Kamu tahu sendiri betapa butik itu sangat kami jaga karena hasilnya langsung untuk keperluan anak-anak pondok.”
Dari kursi depan, Kyai Zubair menyahut, “Itu sangat membantu pondok kami, Nak. Kami sangat bersyukur kamu masih ingin terus terlibat.”
“Insyaallah, Kyai,” sahut Kanya lembut.
Sang sopir, pria paruh baya dengan sorot mata bijak, hanya diam mendengar. Fokusnya pada jalanan, tapi dari raut wajahnya, ia seperti menyerap percakapan penuh kebaikan yang mengalun tenang di dalam mobil itu.
Mobil terus melaju, membawa mereka pulang. Bukan hanya ke pondok yang menjadi tempat tinggal… tapi juga pada niat dan awal baru yang dituntun oleh takdir dan keberkahan.
***
Malam hari di rumah Keynan.
Langit di luar jendela telah menghitam pekat, hanya diterangi lampu taman dan sisa pantulan lampu jalanan. Suasana rumah sunyi. Lampu-lampu sebagian telah dipadamkan. Hanya beberapa cahaya temaram yang tersisa di koridor dan ruang tengah.
Pintu utama terbuka pelan.
Kian masuk dengan langkah malas. Jasnya sudah terbuka, dasinya longgar tergantung di leher. Ia berjalan menuju kamar tanpa semangat.
Begitu masuk ke kamar, Kian terdiam sejenak di ambang pintu. Matanya menyapu ruangan yang sunyi, entah mengapa terasa hampa dan asing meski itu ruang pribadinya.
"Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya lirih.
Dengan gerakan malas, ia melempar tas kerjanya ke sofa. Napasnya terhela pelan, lalu tangan kanannya terangkat dan melepaskan dasi di lehernya dengan kasar—seakan ingin membuang segala penat yang melekat di tubuhnya.
Tiba-tiba, sosok Kanya terlintas.
Gadis bercadar itu. Ia pamit dengan tenang pagi tadi, namun meninggalkan kekosongan yang aneh dalam dirinya.
Kian memejamkan mata, mencoba mengusir bayangan itu.
Namun semakin ia menepis, semakin kuat ingatan itu menyeruak—terutama momen ketika ia menyuruh Kanya melepaskan pakaiannya. Bukan karena nafsu, tapi karena ego. Karena marah. Karena bingung.
“Sial...” gumamnya pelan, mengusap wajah. “Kenapa aku malah teringat padanya sekarang?”
Ia masuk ke kamar mandi. Air dingin menyiram tubuhnya, tapi tak juga menyapu kekacauan di kepalanya.
Saat keluar dari kamar mandi, ia menyeka rambutnya dengan handuk. Matanya terhenti pada sudut ranjang.
Kosong.
Tapi dalam benaknya, ia melihat Kanya berdiri di sana… tengah menyiapkan pakaiannya dengan rapi, tanpa suara. Tanpa keluhan.
Satu malam. Hanya satu malam tidur bersama dalam kamar ini.
Selama pernikahan mereka, Kanya selalu menjaga jarak.
Sebelum malam kemarin, satu-satunya momen mereka berada dalam satu kamar hanyalah saat di rumah sakit—itu pun ia tidur di sofa, sementara Kanya di ranjang.
Tapi malam itu berbeda.
Untuk pertama kalinya… mereka benar-benar tidur di ranjang yang sama.
Tak banyak kata yang terucap, namun kehadiran Kanya terasa begitu nyata. .
Dan entah kenapa, begitu membekas.
Kian menghela napas berat, kasar. Ia duduk di tepi ranjang, menunduk, mencoba memahami pikirannya sendiri. Tapi bayangan lain menyeruak.
Friska.
Ia memejamkan mata lebih keras.
“Aku bahkan belum sempat minta maaf padanya…” gumamnya pelan. “Tapi ayahnya sudah menjatuhkan palu. Membuat semuanya berantakan.”
Lalu muncul tanya yang menyesakkan dada.
Apa aku harus menemuinya? Friska?
Dan berkata… jika Kanya menyerah, aku ingin kembali?
Tapi… apa Friska belum berpaling ke lain hati? Apa dia masih menunggu?
Dan ayahnya… setelah semua ini, apa dia akan membiarkan kami bersatu lagi?
Kian berdiri cepat. Pikirannya terlalu riuh. Ia butuh jeda.
Langkahnya membawanya ke dapur. Ia membuka kulkas dan menarik satu botol air dingin. Meneguk setengah isinya dalam satu tarikan panjang, seakan ingin mendinginkan kepalanya yang terasa panas, membakar dari dalam.
Saat hendak kembali ke kamar, suara langkah pelan terdengar dari arah koridor.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Waktu menolong Friska - Kian masih mengaku kekasihnya - w a d u h.
Kian - baru sadar - kenapa pergi menjemput Friska. Baru ingat kata-kata papa Keynan. Dinding yang tak tahu apa-apa kau tinju - kasihan.
Ee...eehh menyalahkan Kanya - gara-gara Kanya - orang kamu juga salah.
Kian - jangan mempermainkan ikatan suci yang namanya - perkawinan. Belajarlah kembali mencoba menerima kehidupan yang bukan pilihanmu - dan nyatanya saat dihadapan ayah Hasan - kau telah memilih jalanmu. Perlakukan Kanya dengan layak sebagai seorang istri - kalau Kanya sudah nyaman - wajahnya pasti dipersebahkan untukmu - Kian...wkwkwk.
Tinggal kamunya saja yang masih besarin EGO - gimana.
Makanan kampung sangat cocok dimulut bodel Kayden.
Dibedakin mukanya juga tidak protes sampai bikin ngakak ayah Xander - juga readers pastinya - donat...donat bertoping gula lembut /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
kanya aja sdh menyanggupi akan memberikan Hak nya kalau kamu sanggup mencintai nya Dan hidup selamanya bersamanya ..kamu aja yg plin plan mas kian
seharusnya kamu juga mikir setiap pernikahan Siri pihak yg paling di rugikan itu wanita, kalau bisa buat kanya menjadi istri sah secara agama Dan negara dulu.baru minta hakmu kian
Papa Keynan dan Mama Aisyahkah..kalo iya bagus dong biar Kian di kasih wewejang lagi dari Papa Keynan yang telah melanggar untuk menemui Friska bahkan memeluknya....
jika kamu ingin mendapatkan hakmu terimalah dulu Kanya dengan baik dan tulus saling nenerima walapun belum sepenuhnya,,minimal kamu bersikap baiklah pada Kanya jangan terlalu datar dan coba untuk mencintai Kanya...
kamu juga blum mengenal Kanya,
sebagai suami apa yang kamu ketahui tentang Kanya???
coba kamu mulai terima Kanya,jadikan dia prioritas mu, cintai dia setulus hati mu.
jangan hanya Friska doank yang kamu simpan dihati mu.
lagian kamu belum mengenal Kanya
merasa dikhianati padahal kamu dan Kian pasangan pengkhianat sebenarnya
untung Kanya wanita bijak dan taat agama,klo gak mungkin Friska udah viral karena mengambil suami orang...
Bagaimana Kian ????
Oooo....ternyata noda lipstik dan aroma parfum Friska yang mabuk di tolong Kian.
Kelakuan sang mantan yang hatinya sedang retak - di bawa mabuk rupanya.