Dewi Ayu Ningrat, gadis ningrat yang jauh dari citra ningrat, kabur dari rumah setelah tahu dirinya akan dijodohkan. Ia lari ke kota, mencari kehidupan mandiri, lalu bekerja di sebuah perusahaan besar. Dewi tidak tahu, bosnya yang dingin dan nyaris tanpa ekspresi itu adalah calon suaminya sendiri, Dewa Satria Wicaksono. Dewa menyadari siapa Dewi, tapi memilih mendekatinya dengan cara diam-diam, sambil menikmati tiap momen konyol dan keberanian gadis itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13
Pagi itu, Dewi baru saja membuka gorden di studio “Kala Kita” ketika suara Naya terdengar dari dalam. Terdengar panik.
“Dewi! Kau harus lihat ini sekarang juga!”
Dewi bergegas masuk ke ruangan tengah, tempat Naya sudah berdiri di depan layar komputer. Ia menunjuk tajuk utama dari sebuah portal berita nasional.
Celine“Putri Keturunan Ningrat Tersandung Masalah Etika: Bisnis Kecil dengan Latar Belakang Skandal?”
Celine
Di bawah judul itu, terpampang foto dirinya saat berdiri di panggung kecil saat pembukaan. Judul itu menciptakan narasi seolah-olah usaha mereka dibangun di atas ambisi pribadi dan pengaruh Dewa yang ‘keluar dari garis’ keluarga besar Wicaksono.
Dewi membaca isi artikel itu hingga selesai. Ia menggigit bibir, menahan emosi yang mulai naik ke permukaan.
“Siapa yang menyebarkan ini?” tanya Naya, marah.
Dewa masuk tak lama kemudian. Ia membawa koran versi cetaknya, yang juga memuat berita yang sama.
“Aku baru saja dapat kabar,” ujar Dewa sambil meletakkan koran itu di meja. “Media ini milik cabang keluarga ayahku. Artikel ini jelas dibuat untuk menyerang kita secara tidak langsung.”
“Kenapa harus seperti ini?” ujar Dewi pelan. “Kalau memang mereka tidak suka padaku, mengapa tidak datang langsung dan bicara baik-baik?”
“Mereka tidak akan melakukannya, Dewi. Karena mereka tahu kau tidak akan tunduk.”
Naya mengepalkan tangan. “Kita harus laporkan ini! Ini pencemaran nama baik!”
Dewi mengangkat tangannya, menenangkan sahabatnya. “Tenang, Nay. Kita tidak akan bermain dengan cara yang sama seperti mereka.”
“Lalu apa yang akan kita lakukan?” tanya Dewa.
Dewi menarik napas panjang. “Kita akan balas... bukan dengan serangan, tapi dengan keberhasilan.”
---
Beberapa hari kemudian...
Dewi duduk bersama tim kecilnya di meja besar studio. Di hadapan mereka, tertumpuk proposal kerja sama dari beberapa UMKM yang ikut dalam acara pembukaan. Antusiasme masyarakat semakin besar sejak kampanye “Berani Memulai Lagi” sukses di media sosial.
“Satu hal yang mereka tidak bisa kendalikan,” ujar Dewi pada timnya, “adalah suara orang-orang yang sudah melihat sendiri apa yang kami bangun di sini.”
Dewa menambahkan, “Mereka bisa menyebarkan fitnah, tapi mereka tidak bisa menghapus kepercayaan yang sudah tumbuh.”
“Apakah ini artinya kita lanjut dengan kerja sama yang lebih besar?” tanya salah satu anggota tim.
“Betul,” jawab Dewi tegas. “Dan kita akan mengundang media untuk meliputnya. Bukan media dari keluarga Dewa. Tapi media independen yang benar-benar melihat realitas, bukan sensasi.”
---
Hari peluncuran proyek kolaborasi baru...
Wartawan dari beberapa media datang ke studio “Kala Kita”. Mereka melihat sendiri bagaimana produk-produk lokal ditampilkan, bagaimana anak muda berkarya, dan bagaimana komunitas tumbuh tanpa bantuan korporasi besar.
Salah seorang wartawan mendekati Dewi untuk wawancara.
“Bu Dewi, bagaimana tanggapan Anda terkait artikel yang sempat viral minggu lalu?”
Dewi menatapnya tenang, lalu menjawab dengan suara jelas, “Saya tidak merasa perlu membela diri untuk hal yang tidak saya lakukan. Yang saya lakukan adalah membangun. Dan saya percaya, hasil kerja yang nyata akan berbicara lebih lantang daripada opini siapa pun.”
Wartawan itu terdiam. Kemudian mengangguk pelan. Ia tahu, perempuan di hadapannya bukan perempuan yang mudah dijatuhkan.
---
Malam harinya...
Dewi dan Dewa duduk di bangku kayu depan ruko, ditemani segelas teh dan udara malam.
“Terima kasih,” kata Dewa tiba-tiba.
“Untuk apa?” tanya Dewi.
“Untuk tidak menyerah. Untuk tetap berdiri meski difitnah. Dan untuk tidak menyalahkanku, meski semua ini datang dari keluargaku.”
Dewi tersenyum tipis. “Aku tidak menikah dengan keluargamu. Aku memilih kamu, Dewa. Dan aku tahu, kamu tidak seperti mereka.”
Dewa memandangnya dalam-dalam. “Apa kamu yakin masih ingin bersamaku setelah semua ini?”
Dewi mengangguk tanpa ragu. “Aku tidak pernah memilih jalan mudah. Tapi aku selalu memilih jalan yang benar. Dan kamu, adalah salah satu keputusan paling benar yang pernah aku buat.”
Malam itu, tanpa harus ada janji atau cincin, keduanya tahu—mereka bukan lagi hanya dua orang yang melarikan diri dari masa lalu. Tapi dua orang yang memilih masa depan... dengan keberanian dan keyakinan.
---
Dan di buku hariannya, Dewi menulis:
> Orang bisa saja mencoreng namamu dengan lumpur fitnah.
Tapi jika kau berdiri dengan kepala tegak dan hati jernih, maka waktu akan mencuci semua itu.
Dan orang akan tahu... siapa yang benar-benar punya harga, bukan sekadar nama.
BERSAMBUNG
---