“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 13
“Kamu tega, Kang Mas. Sungguh tega. Mau sampai kapan kamu selalu gila perempuan seperti ini, huuu ....”
Malam itu, di rumah besar yang dingin dan sepi, Nyai Lastri menangis tergugu di dalam kamarnya.
Ia duduk bersimpuh di hadapan meja rias, wajahnya yang semakin renta tak bisa menutupi gurat kesepian yang bertahun-tahun berakar.
Dari pantulan cermin, tampak matanya memerah, pipinya basah, dan bahunya terguncang menahan isak. Ia bisa membayangkan—dengan sangat jelas—suaminya, Juragan Karta, tengah memadu kasih dengan Arum di balik pintu kamar paviliun. Padahal, dirinya saja sudah hampir setahun tak dijamah sang suami.
Kesedihan itu menyeretnya kembali masuk ke ingatan masa dua puluh lima tahun silam, saat ia dinikahkan dengan Karta dalam sebuah perjanjian bisnis. Pernikahan itu bukan berlandaskan cinta, melainkan strategi untuk memperkuat pengaruh dua keluarga tanah penguasa ladang dan pasar. Mereka menjadi pasangan yang ditakuti, dihormati, dan disegani.
Dari luar, kehidupan rumah tangga Karta dan Lastri yang sudah berjalan sepuluh tahun, selalu tampak harmonis nan sempurna. Namun, di belakang layar, tak ada yang tau bahwa kedua pasangan itu kerap bertengkar. Perihalnya hanya satu, tak juga diberi keturunan.
“Wajahmu memang ayu, Lastri. Goyangan mu juga dahsyat. Tapi semua itu jadi percuma, kalau kowe tak mampu memberikan aku anak! Dasar perempuan mandul!”
Kata-kata kasar itu selalu menjadi langganan setia di kehidupan Nyai Lastri. Dan, suatu hari akhirnya Lastri memberanikan diri untuk menjawab—
“Aku berjanji, akan ku buktikan, kalau aku ndak mandul, Mas!”
Dan semenjak janji yang ia ucapkan, Lastri akhirnya mendatangi setidaknya belasan dukun kampung—dari desa bawah hingga gunung seberang. Memeriksa rahimnya, mencoba beberapa ramuan dan juga mantra. Namun, pada akhirnya—semua dukun itu mengatakan hal yang sama:
“Maaf, Nyai ... rahimmu kering seperti tanah gersang. Sampai kapanpun, Anda tak akan bisa memberikan keturunan.”
Dan Nyai Lastri, yang tak sanggup menanggung aib itu, menyelesaikan semuanya dengan caranya sendiri.
Demi menjaga marwahnya, demi menjaga aibnya—setiap dukun yang ia datangi, akhirnya selalu berakhir mati. Entah karena racun, entah luka misterius, entah lenyap begitu saja di tengah malam.
Dan sejak saat itu pula, ia bersumpah. “Jika tidak dariku, maka kau tidak boleh mendapatkan keturunan!”
Namun kini, kehadiran Arum—menggoyahkan semua.
Malam itu, dengan rambut kusut dan wajah marah, Nyai Lastri memukuli lantai kayu.
Ia memekik pelan, “Arum ... Aku bersumpah akan mengusir mu dari rumah ini. Dengan tanganku sendiri.”
...****************...
Pagi itu, di ruang makan, Juragan Karta tampak bersinar. Lebih segar dari biasanya— seperti lelaki yang baru saja menemukan kembali gairah hidupnya.
Arum duduk di sebelahnya, mengenakan kebaya sutra halus warna gading, rambutnya disanggul sederhana, namun pesonanya memabukkan. Mereka bercanda, tertawa, sesekali Arum menyuapi Juragan dengan sikap manja, sementara para pelayan hanya bisa menunduk menahan desas-desus di dada.
Juragan kemudian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku beskapnya, lalu membukanya di hadapan Arum.
Sebuah cincin kuno berhias batu kecubung ungu, ia sematkan ke jari manis Arum.
“Ini warisan ibuku—sekarang, jadi milikmu.”
Arum merenggangkan jemarinya, seolah ingin memamerkan pada para gundik yang menatap iri. Terutama pada Nyai Lastri yang duduk tenang tanpa melirik, namun wajahnya sudah memerah gelap.
“Terimakasih banyak, Kang Mas.” Ucap Arum lembut namun mendayu. Sontak membuat Nyai Lastri menoleh dengan sorot mata sinis.
Juragan Karta mengelus dagu Arum dengan telunjuknya. “Aku seneng banget dipanggil Kang Mas olehmu, jadi merasa kembali muda lagi.”
Arum mengulum senyum, mengerlingkan mata berkali-kali. “Kan, Kang Mas emang masih muda, tenaganya JOS pula.”
Juragan Karta tertawa terbahak—bangga. Ia memang selalu senang jika kejantanannya dipuja-puji. Membuat hatinya menjadi berbunga-bunga.
Namun, tawa Juragan tak bertahan lama ketika suara langkah tergesa dan teriakan dari luar mengguncang ruangan makan. Salah satu penjaga lari masuk dengan napas tersengal.
“Juragan, gudang kita dibobol! Persediaan beras, gula, biji kopi serta rempah-rempah mahal—habis! Semuanya ... hilang!”
Juragan sontak berdiri, wajahnya merah padam. “APA?!”
Penjaga lain masuk menyusul, melaporkan bahwa dua penjaga gudang ditemukan pingsan dan babak belur di belakang lumbung.
Semua mata kini mengarah pada satu nama: Nyai Lastri.
Karena sejak dulu, pengurus utama gudang penyimpanan adalah istri sah Juragan Karta sendiri. Dari pembukuan hingga pengawasan, semua lewat tangannya. Dan jika terjadi kerugian sebesar ini—Nyai Lastri lah yang harus bertanggungjawab sebagai kepala pengurus.
“Apa-apaan ini, Lastri?! Selain tak mampu memberikan aku keturunan, kau juga tak mampu mengurus tugasmu?!”
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣