Riyani Seraphina, gadis yang baru saja menginjak 24 tahun. Tinggal di kampung menjadikan usia sebagai patokan seorang gadis untuk menikah.
Sama halnya dengan Riyani, gadis itu berulang kali mendapat pertanyaan hingga menjadi sebuah beban di dalam pikirannya.
Di tengah penantiannya, semesta menghadirkan sosok laki-laki yang merubah pandangannya tentang cinta setelah mendapat perlakuan yang tidak adil dari cinta di masa lalunya.
"Mana ada laki-laki yang menyukai gadis gendut dan jelek kayak kamu!" pungkas seseorang di hadapan banyak orang.
Akankah kisah romansanya berjalan dengan baik?
Akankah penantiannya selama ini berbuah hasil?
Simak kisahnya di cerita ini yaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chocoday, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berakhir Ke Kantor Polisi
Laki-laki itu membawaku ke depan ruang pemeriksaan—dimana anggota keluarga dan juga petugas kepolisian sudah ada di sana. Aku menoleh pada laki-laki itu dengan sedikit ketakutan.
Petugas kepolisian itu menghadap ku, "ibu yang menemukan korban bukan?" tanyanya.
Aku menghela napas mendengarnya, "saya belum ibu-ibu ya Pak!" protesku membuat laki-laki yang berdiri di sampingku menahan senyumannya.
"Ya sudah saya minta maaf. Apa teteh tadi ada di toilet sama dokternya?" tanya petugasnya membuatku menoleh pada laki-laki yang ditunjuk.
"Enggak ya!!" protes kita berdua berbarengan.
"Dia tadi tarik saya, Pak. Katanya tadi mau minta tolong, makanya saya masuk ke toilet wanita. Karena emang gak ada yang lewat juga, kebetulan toilet itu emang posisinya agak belakang," jelasnya disusul dengan anggukan ku.
"Berarti teteh sama pak dokter jadi saksi atas kejadian ini ya? Bersedia ikut saya ke kantor polisi?" tanyanya.
"Harus banget ya Pak?" tanyaku langsung dianggukinya.
Aku menghela napas setelahnya, lalu mendelik pada laki-laki yang membawaku tadi.
Kita berdua ikut dengan petugas kepolisian untuk menjadi saksi atas penganiayaan yang terjadi.
Berulang kali aku melirik ponselnya—melihat jam yang terus bertambah.
Jadwal konsulnya kelewat deh!!
Langsung pulang aja lah nanti. Males banget kalau harus ngantri lagi, apalagi balik sama cowok nyebelin ini.
Kalau dia gak seret aku tadi, aku gak bakal jadi saksi gak jelas begini.
Setibanya di kantor polisi, kita berdua duduk berhadapan dengan petugas kepolisian dan juga komputernya. Ia memintaku untuk menjelaskan lebih awal tentang kejadian tadi.
"Saya gak tau jelasnya gimana Pak, yang saya tau waktu itu emang ada suara pukulan, terus tangisan kecil sama suara minta tolong pas sebelum saya keluar dari toilet, makanya saya minta tolong sama dia," jelasku sembari menunjuk laki-laki yang kini duduk di sampingku.
"Lalu keterangan dari Pak Dokter?" tanya petugas kepolisian.
"Sebelumnya panggil saya Hanif aja, Pak. Saya bukan dokter juga," pintanya dengan senyuman.
Oh!!! Namanya Hanif. Ganteng juga namanya.
Laki-laki itu menjelaskannya secara rinci dengan senyuman ramahnya.
Kayaknya dia ramah banget sama orang. Keliatan dari senyumannya bukan yang pura-pura gitu.
Ia menoleh padaku yang sejak tadi memperhatikannya, "kenapa liatin saya segitunya? ganteng ya saya?"
Aku menyunggingkan bibir setelahnya pamit karena prosedur sudah selesai. Lagipula kita berdua memang tidak ada kaitannya dengan korban ataupun kasusnya. Kita berdua hanya menjadi saksi yang tidak sengaja melintas saja.
Aku memutuskan untuk pulang ke rumah abangku yang sudah menikah dan menetap di kota. Apalagi memang hari sudah mulai gelap, bapak juga tidak akan mengizinkan aku pulang seorang diri ke kampung.
Sedangkan laki-laki itu, kembali ke rumah sakit untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda tadi.
"Assalamualaikum!!"
"Waalaikumsalam, masuk aja Neng. Gak abang kunci!" jawabnya sembari berteriak.
Aku masuk ke rumah abang yang baru saja dibelinya beberapa bulan lalu.
Aku menghela napas berat sembari menjatuhkan tubuhku pada sofa ruang tengah.
"Kamu habis darimana emangnya? Kok kayaknya barusan naik grab," tanyanya.
"Tadinya mau konsul ke dokter, neng pengen kurus. Cuman gak jadi," jawabku.
"Kenapa? Duitnya kurang?"
Aku menggelengkan kepala.
"Terus?"
"Tadi ke kantor polisi," jawabku.
"HAH??..... Kok bisa? Kamu gak ngehajar dokternya kan?" tanyanya.
Aku mendelik mendengarnya, "emang aku sejahat itu ya? Adik abang ini terlihat preman banget gitu?" tanyaku.
"Hahaha!!!!"
Aku mendelik mendengarnya, apalagi ketika ia terus tertawa dengan cerita yang aku bicarakan setelahnya.
"Teteh kemana, kok gak ada?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
Dengan kekehannya ia menjawab, "teteh kamu bagian kerja malam. Kamar kamu udah diberesin kok, lagian gak pernah dipake juga karena jarang ada tamu. Cuman kamu doang yang numpang," jawabnya.
Aku menyunggingkan bibir mendengarnya, "awas aja kalau nyuruh nginep lagi kalau abang ada kegiatan ke luar kota ya!"
"Jangan pundung begitu dong adik geulis!! Kan abang cuman becanda," ucapnya sembari menggodaku—mencolek dagu dengan senyuman rayunya.
Aku menepis tangannya, "hidihhh giliran ada perlu aja so manis begitu."
"Udah ah, neng mau ke kamar aja. Capek!" ucapku sembari beranjak ke kamar depan.
Aku memang sudah biasa menginap di rumah abang. Apalagi ketika abang pergi ke luar kota untuk urusan kerjanya, aku yang menginap menemani teteh selama beberapa malam.
Sebenarnya teteh tidak pernah meminta, ia juga terbiasa tinggal seorang diri sejak kerja di kota. Tapi abang yang suka berlebihan, katanya selalu kepikiran jika meninggalkan teteh seorang diri selama beberapa hari.
Di sisi Hanif,
Laki-laki itu baru saja selesai dengan pekerjaannya setelah mengurus gizi dan mengolah data beberapa pasien.
Bahunya ditepuk seseorang dari belakang sambil berkata, "gw nanti pulang nebeng Lo ya!"
Hanif menoleh dengan delikannya, "motor lo kenapa lagi?"
"Biasalah. Tadi dipake sepupu gw, katanya dia mau balikin tapi malah masuk bengkel akhirnya," jawab rekan kerja sekaligus sahabatnya sejak kecil—namanya Adri Setiawan.
"Ya udah ayo! Gw gak mau nungguin ya kalau lama," ucap Hanif langsung beranjak dari ruangan kerjanya.
Kembali ke sisi Riyani,
Keesokan paginya, aku sudah berganti pakaian untuk pulang pagi-pagi ke rumah orangtuaku. Apalagi memang tidak banyak pakaian yang ada di rumah abang karena setiap menginap aku hanya meninggalkan sepasang atau 2 pasang baju saja.
Abang sudah pamit pagi-pagi untuk bekerja, sedangkan istrinya belum kembali setelah bekerja di shift malam.
Aku juga mengunci pintu rumahnya, lalu pergi setelah menyimpan kunci rumahnya dibalik pot bunga.
Berhubung cukup lama untuk mendapatkan ojek online, aku memilih berjalan ke depan gang sebentar lalu menaiki transportasi lain.
Beli kopi dulu gak sih?
Aku tersenyum melihat minimarket di samping gang rumah abang. Setelahnya memutuskan untuk membeli kopi tanpa gula seperti yang biasa ku minum di setiap pagi jika di rumah.
Aku sedikit bersantai dulu pada tempat duduk yang disediakan. Namun tiba-tiba seseorang datang, "saya boleh ikut duduk bu?" tanyanya.
Aku mendongak padanya, "kamu lagi!!!" protesku.
Dari sekian banyaknya laki-laki, kenapa harus ketemu dia terus sih?
"Saya boleh ikut duduk Teh?" tanyanya lagi.
"Duduk aja," jawabku sedikit lebih santai karena dia mengganti panggilannya.
Di tengah rasa canggung, laki-laki itu membuka obrolannya.
"Saya minta maaf karena udah manggil ibu tadi sama kemarin juga," ungkapnya.
Aku mengangguk, "gak apa-apa. Saya udah biasa dipanggil ibu karena tubuh saya yang gemuk, muka kusam dan jerawat dimana-mana. Tapi kadang suka kesel aja karena usia saya aja belum seberapa tapi udah dipanggil ibu."
"Sebenernya bukan karena gemuk, dan bahkan kusam sama jerawat itu bukan termasuk kriteria liat umur menurut saya," timpalnya.
"Muka teteh tuh keliatan dewasa, makanya saya awalnya mengira kalau usia teteh di atas saya," sambungnya.
"Lagipula emang kalau gemuk keliatan kayak ibu-ibu?" tanyanya lagi.