Nagendra akankah mencair dan luluh hatinya pada Cathesa? Bagaimana kisah selanjutnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erika Ponpon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13
Langit di atas Alejandro Corp mendung sore itu, seolah ikut menyiratkan suasana hati Cathesa yang makin hari makin penuh tekanan.
Baru saja ia selesai membereskan laporan keuangan dan berniat menuju pantry, ketika seorang staf keamanan memanggilnya.
“Mbak Cathesa, ada tamu di lobi utama. Ibu itu bilang sudah pernah bertemu dan ingin bicara sebentar.”
Cathesa mengerutkan dahi. “Siapa namanya?”
“Ibu Anneliese.”
Jantung Cathesa mencelos. Lagi?
⸻
Di lobi, Nyonya Anneliese berdiri dengan anggun dan aura elegan khas wanita terpandang. Setelan warna gading dan bros berlian di dada kiri menambah kesan otoritas yang tak bisa dibantah.
Cathesa berjalan mendekat, menahan gelisah di dadanya.
“Selamat sore, Ibu. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan sopan.
Anneliese menatap Cathesa dengan mata tajam namun penuh kendali.
“Kita sudah pernah bicara, Cathesa. Dan saya ingat kamu mengangguk… mengatakan ‘mengerti’. Tapi tampaknya kamu hanya mengerti di mulut, tidak di sikap.”
Cathesa terdiam.
“Saya tidak bermaksud melewati batas, Bu.”
“Tapi kamu sudah melewatinya.”
Nada suara Nyonya Anneliese tetap tenang, tapi penuh tekanan.
“Berjalan di samping Nagendra, membawa bekal, tersenyum padanya, dan dia tampak… tidak terganggu dengan kehadiranmu.”
Matanya menyipit.
“Itu yang membuat saya terganggu.”
Cathesa berusaha menjaga nada suaranya.
“Saya hanya menjalankan pekerjaan saya sebagai sekretarisnya, Bu. Tidak ada yang lebih.”
“Sayangnya, orang di luar tidak melihatnya seperti itu. Apalagi Adeline. Kau membuat tunangan anak saya merasa terancam.”
Anneliese mendekat selangkah, suaranya menurun namun semakin menusuk.
“Saya tidak peduli seberapa rajin atau cerdasnya kamu. Tapi kamu bukan untuk Nagendra. Kamu bukan dari dunia kami.”
“Saya tidak pernah berniat mengambil—”
“Bukan tentang berniat. Tapi tentang bagaimana kamu mulai dianggap ada.”
Anneliese menghela napas pendek.
“Bersikaplah sewajarnya. Diam, patuh, profesional. Dan jangan terlalu sering muncul di sisi anak saya.”
Selesai berkata demikian, Anneliese melangkah pergi. Suara hak tingginya bergema tenang, namun menusuk.
Cathesa tetap berdiri di tempat, tak tahu harus marah, sedih, atau menertawakan dirinya sendiri.
“Jadi sekarang, senyumku pun dianggap mengancam?”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Cathesa kembali ke ruang kerjanya dengan langkah pelan. Meski sepatu haknya tak berdetak keras, rasa sakit di dadanya bergema jauh lebih bising.
Setelah duduk, ia menghela napas panjang dan memejamkan mata. Pikirannya berulang-ulang memutar ucapan Nyonya Anneliese tadi di lobi.
“Bersikaplah sewajarnya. Diam, patuh, profesional. Dan jangan terlalu sering muncul di sisi anak saya.”
Tangannya mengusap wajah, berharap bisa menghapus jejak perasaan yang mulai tak bisa dikendalikan.
Kenapa ini terasa menyakitkan, padahal dia memang bukan siapa-siapa?
Ia membuka laptop, mencoba kembali bekerja, tapi pandangannya kosong menatap layar. Semua kata di dokumen tampak mengabur.
“Aku bahkan belum pernah menyentuh dia. Belum pernah berharap lebih. Tapi kenapa semua orang memperlakukanku seolah aku salah?”
Tak lama kemudian, suara ketukan di pintu ruangannya membuyarkan lamunan.
Tok. Tok.
“Masuk…” katanya pelan.
Pintu terbuka—dan yang muncul adalah Nagendra.
Cathesa refleks berdiri.
“Pak Nagendra… ada yang bisa saya bantu?”
Nagendra masuk tanpa bicara sejenak, lalu duduk di kursi depan mejanya.
“Tadi saya lihat ibu saya keluar dari lobi. Dia datang ke sini menemuimu lagi?”
Cathesa menunduk sedikit. “Iya, Pak. Hanya sebentar.”
Nagendra menyipitkan mata, menatapnya lebih tajam.
“Apa dia mengatakan sesuatu yang membuatmu tidak nyaman?”
“Nggak… saya baik-baik saja, Pak.”
“Cathesa.”
Nada suaranya kali ini lebih dalam. “Jangan bohong.”
Mata Cathesa berkaca-kaca, tapi ia cepat-cepat mengalihkan pandangan ke sisi meja.
“Saya hanya sekretaris, Pak. Saya tahu tempat saya. Tapi sepertinya orang-orang menganggap saya lebih dari yang seharusnya.”
Nagendra diam. Lama. Lalu berkata pelan:
“Itu bukan salahmu. Kalau ada yang salah… mungkin karena aku mulai membiarkanmu terlalu dekat.”
Cathesa menatapnya sejenak, bibirnya terbuka tapi tak ada kata yang keluar.
“Mulai besok…” Nagendra berdiri.
“…kalau ada yang memperlakukanmu tidak sopan, bahkan ibuku sekalipun, bilang ke saya.”
“Tapi, Pak—”
“Saya yang mempekerjakanmu. Saya yang akan pasang badan.”
⸻
Cathesa hanya bisa menatap punggung Nagendra yang perlahan menghilang di balik pintu. Dingin, cuek… dan barusan, melindunginya?
Seketika dadanya makin sesak.
“Jangan begini, Cathesa… jangan baper. Jangan jatuh…”
Tapi hatinya, pelan-pelan, sudah lebih dulu jatuh.
Sore mulai berganti malam ketika suara gaduh dan tawa pecah di lantai parkiran basement Alejandro Corp.
Security yang menjaga sampai ikut menoleh. Pintu mobil sport berwarna merah menyala terbuka, dan keluarlah tiga pria dengan aura mencolok yang langsung menyita perhatian siapa pun yang melihat.
Sahabat Nagendra sejak SMA.
• Kenzo — tinggi besar, berkepala plontos, hobi bercanda tidak jelas dan suka bikin onar dengan jokes garing.
• Ilham — si kurus kacamataan dengan suara cempreng tapi punya energi seperti 10 orang. Suka iseng, hobi niru gaya presenter TV.
• Ravel — pria ganteng berkulit eksotis dengan senyum maut, si casanova sejati yang dikenal tukang ganti pasangan tiap dua minggu.
Ketiganya melenggang masuk ke lobi dengan gaya percaya diri macam selebriti dadakan.
“ALEJAAAANDROOO!” teriak Kenzo begitu masuk.
Cathesa yang sedang membawa map dari divisi HR, refleks hampir menjatuhkan mapnya karena suara itu.
Dari balik ruangan kaca, Nagendra muncul dengan wajah lempeng.
“Kalian bikin rusuh lagi,” gumamnya datar, tapi ada sedikit senyum di ujung bibirnya yang jarang muncul.
“Brooo, udah lama banget! Masa pewaris Alejandro Group gak punya waktu buat sahabat SMA-nya?” kata Ravel, langsung menjabat tangan Nagendra dengan gaya sok akrab.
“Kangen banget, sumpah. Gue sampe mimpi lo jadi robot beneran, nggak punya hati,” timpal Ilham, lengkap dengan gaya drama-nya.
Nagendra melirik mereka satu per satu, lalu berkata,
“Sebenarnya itu cukup akurat.”
Tawa mereka pecah.
Cathesa yang berdiri tak jauh, berusaha menyelinap pelan agar tak menarik perhatian. Tapi justru Ilham yang pertama kali melihatnya.
“Eh, eh, siapa ini? Cantik bener. Karyawan sini?”
Mata Ilham membulat.
“Gue suka gaya lo, mbak. Simpel tapi nancep.”
“Jangan mulai,” sahut Nagendra cepat.
Kenzo ikut menoleh. “Wih… ini yang jadi sekretaris lo itu, ya?”
Cathesa terpaksa tersenyum sopan.
“Saya permisi dulu, Pak Nagendra.”
Tapi sebelum melangkah, Ravel sudah berdiri di hadapannya, menahan langkahnya dengan senyum khas pria yang tahu dirinya menarik.
“Nama lo siapa, cantik?”
“Cathesa.”
“Cathesa…” Ravel mencicipi namanya.
“Lo udah punya pacar?”
Nagendra langsung berdiri tegak.
“Ravel.”
Ravel hanya terkekeh, mengangkat tangan tanda damai.
“Oke, oke, gue cuma nanya. Bukan melamar.”
Nagendra menatapnya tajam.
“Dia bukan untuk jadi bahan bercanda.”
Seketika suasana jadi agak kaku. Tapi Kenzo cepat-cepat menertawakan kekakuan itu.
“Wah, wah… Nagendra kita mulai berubah, nih. Dulu cuek, sekarang… protektif?”
Cathesa buru-buru pamit lagi, tapi wajahnya memerah. Bukan karena malu, tapi karena ada sesuatu dalam nada suara Nagendra tadi yang… tidak biasa.
Ravel menoleh pelan ke arah Nagendra, lalu menyeringai.
“Bro… jangan bilang lo lagi suka sama sekretaris sendiri?”
Nagendra tidak menjawab. Ia hanya mengambil botol air di meja, lalu berkata datar.
“Jangan bodoh.”
Tapi sayangnya, bahkan keheningan pun bisa terdengar jujur—dan sahabat-sahabatnya menangkap lebih dari sekadar jawaban kosong.